“Mau cerita kemana Danis sehingga dia gak bisa jemput kamu di stasiun?” tanya Khaibar. Tangannya memutar setir lalu menginjak pedal gas.
“Dia masih di klinik.” aku memandangi jalanan di luar jendela. “Lagipula kalau Danis yang menjemputku, aku tidak mungkin menelpon kamu dan kita bisa bertemu lagi.”
Khaibar mengangkat bahunya, “Alasan klise. Bilang saja kalau kamu memang ingin bertemu dengan aku. Semua mantan aku selalu mengatakan rindu dan mengajakku untuk bertemu.”
Kutatap Khaibar dengan sinis. “Kamu lupa ya yang ngajak ketemuan tadi siapa?!” seruku emosi.
Khaibar hanya tertawa.
“Sorry, sorry, aku cuma bercanda. Udah berapa minggu gak lihat kamu marah. Senang aja.” tukas Khaibar mencoba meredakanku.
“Kalau kamu juga mau mengajak aku untuk berdebat, lebih baik aku turun.” ancamku.
“Iya maaf.” katanya menyentuh punggung tanganku. Namun, kutarik tanganku perlahan dari genggamannya.
Aku meliriknya, “You can’t show off like that to me.”
Khaibar mengernyit.
“Menunjukkan apa?”
“Semua mantan kamu. Tolong digaris bawahi ya. Jangan pamer!” tandasku.
Khaibar tertawa. “Kamu aja pamer cincin pertunangan kamu. Masa aku gak boleh?” telunjuknya menunjuk cincin yang tersemat di jari manisku.
Edan!
Buru-buru kututupi cincin itu dengan tangan lain.
Memang gila si Khaibar. Pria itu kini cekikikan di sebelahku. Menganggap semuanya tanpa beban. Aku hanya menggelengkan kepala melihat tingkahnya.
“Kamu sadar gak kalau kamu sekarang lagi jalan sama tunangan orang?” tanyaku. Memandang jalanan di depan.
“Seratus persen sadar. Memangnya ada masalah? Kita kan teman.” jawabnya dengan tenang.
Di hatiku aku tertawa. Teman tapi mesra menurut kamu, Khai?
“Jadi, hal apa yang mau kamu bicarakan denganku? Sebegitu pentingnya harus ketemu malam ini juga?” cecarku ingin tahu.
“Nanti saja kukatakannya. Di tempat bakso Pak Teguh. Kamu masih ingat tukang bakso yang mangkal di belakang sekolah kita kan?” tanyanya.
Otakku kembali berfungsi. Membongkar kotak-kotak penyimpanan tentang masa-masa sekolah. “Antara lupa dan ingat. Bukannya kamu yang sering makan bakso Pak Teguh? Bakso kan makanan favorit kamu, Khai.”
Khaibar tampak terharu, “Absolutely, yes! Gak salah kalau kamu juga mantan favorit aku, Na.” katanya dibalas dengan jitakan kecil dariku.
“Ngawur!” pekikku.
Khaibar menyengir.
Tak lama mobil Khaibar sudah terparkir di depan kios bakso. Seratus meter dari sini terlihat gedung sekolahku yang tampak kokoh. Banyak kendaraan yang lalu lalang di depannya.
“Loh, ada Mas Khaibar, toh!” seru seorang bapak tua yang dapat kuingat sebagai Pak Teguh.
“Iya, Pak. Bapak apa kabar?” tanya Khaibar.
“Alhamdulillah sehat, Mas.” Pak Teguh menepuk pundak Khaibar lalu melirikku, “Pantas sudah lama tak ke sini ternyata sudah menikah toh! Sampeyan kok ndak mengundang saya.”
Langsung saja Khaibar tertawa. Aku menggelengkan kepala. Tanganku berkibar menjawab bukan. Sudah dua kali kami disangka sudah menikah.
“Bapak sepertinya salah paham. Saya dan Khaibar hanya berteman. Dulu kami satu SMA, Pak.”