“Aku gak tahu kalau kamu punya sikap like a hero juga.” kataku di mobil.
Khaibar terkekeh, “Kenapa ya orang-orang hanya memandang kita dari luarnya aja? Misal seseorang yang berpenampilan bak preman. Tubuhnya penuh tatto. Apakah dia pernah melukai orang lain? Belum tentu. Nyatanya di luar sana ada seorang pria yang tubuhnya penuh tatto, tetapi dengan hati tulusnya dia mendirikan sebuah pesantren untuk anak-anak yang tidak mampu,”
Dengan sekali tarikan napas Khaibar melanjutkan, “lalu, kita selalu mengapresiasi para pejabat berdasi menganggap kalau mereka sudah beraksi untuk negeri ini, tetapi kenyataannya banyak dari mereka yang berkorupsi. Stereotype yang seperti itu yang membuat aku muak.”
Dari tempatku duduk, aku bisa mengamati Khaibar dengan jelas. Khaibar penuh dengan kejutan. Aku menyadari tidak selamanya Khaibar bersikap santai dan cuek. Di lain sisi, dia pun memiliki hati nurani yang mampu mencerahkan kehidupan orang lain.
“Terus maksud dari pertanyaan kamu tadi kamu kira dengan penampilanku yang seperti ini selalu dianggap sebagai laki-laki bad boy? Tidak ada rasa kemanusiaan begitu?” tanyanya tersinggung.
Aku menoleh sambil tersenyum. “Itu karena sikap kamu yang selalu menganggap semuanya gampang, terkesan cuek, dan gak peduli. Tapi jujur aku terpukau dengan aksi baik kamu itu.”
“Ya, kapan lagi aku bisa berbuat baik pada orang lain kan. Dulu saat SMA sebelum pulang ke rumah, aku sering nongkrong bareng anak-anak. Dan kita makan baksonya Pak Teguh. At that time, aku punya cita-cita untuk membantu usaha beliau. Karena aku tahu Pak Teguh memiliki beban tanggung jawab yang banyak untuk keluarganya. Sampai aku punya penghasilan sendiri dan mewujudkan niatku itu.” kata kata Khaibar membuatku kagum.
Tiba-tiba aku mengingat sesuatu yang sudah lama ingin kutanyakan pada Khaibar. “Oh ya, terkait dengan pekerjaan kamu di travel, sudah berapa lama kamu bekerja dengan mereka?” tanyaku sambil memilih stasiun radio pada mobil Khaibar.
98.7 FM - Gen FM adalah pilihan yang tepat. Memutarkan lagu-lagu terkini. Lagu Lewis Capaldi, Someone You Loved, menemani perjalanan kami.
Khaibar menggaruk rambutnya, “Satu tahun. Eh sudah dua tahun!” pekiknya.
Aku mengerutkan dahi.
“Lalu kenapa kamu tidak ikut terjun usaha mendiang Papa kamu? Setahuku keluarga kalian memiliki sebuah perusahaan.” Khaibar manggut-manggut mendengar perkataanku.
“Sayangnya aku tidak tertarik.” jawabnya singkat.
Kubiarkan Khaibar meneruskan penjelasannya.
“Ada kakakku yang menggantikan posisi Papa. Mama dan kakakku mengerti kalau aku tidak suka dipaksa. Mereka membiarkanku untuk memilih jalanku sendiri.” kata Khaibar yang terkesan tak mau dikekang.
“Kamu sangat low profile.” gumamku.
Khaibar hanya melirikku dengan senyuman. “Tapi aku ingin suatu hari nanti, aku punya studio foto sendiri. Aku mau bangun bisnis fotografi.”
“Pasti kamu bisa mewujudkannya, Khai.” kataku menyemangatinya.
“Lalu apakah kamu tidak ada niat untuk membuat event pagelaran rancangan –rancangan karya kamu?” tanya Danis.
"Dulu pernah. Hanya terjadi sekali. Aku belum memikirkannya lagi. Tapi pertanyaan kamu itu membuatku tambah bersemangat.” balasku senang. Hanya Khaibar yang menanyakan hal itu. Bahkan, Danis tidak pernah ingin tahu soal usahaku.
Tak lama mobil Khaibar telah sampai di depan rumahku. Sepertinya hujan akan menemani malam kami. Terlihat rintik-rintik air membasahi jendela mobil Khaibar.
Aku melepas sabuk pengaman.
“Terima kasih ya untuk baksonya.” kuambil sekantong plastik berisi bakso di bangku belakang. Tak sengaja aku melihat sebuah map yang berisi tentang perpindahan tempat tinggal.
"Iya, sama-sama. Semoga Mama sama Papa kamu suka.” katanya.
“Map itu...” kataku menggantung.