Setelah lagu ketiga, aku menyelinap keluar dan mencari restoran. Aku masuk ke My Favorite Cafe yang berada di basement Asian Food Mall. Lalu kupesan semangkuk mie dan segelas teh tarik. Aku memberikan beberapa lembar dollar Singapura pada si penjual. Kucari tempat duduk yang berada di samping jendela.
Kurogoh ponselku dari dalam tas. Memeriksa pesan. Terdapat pesan WhatsApp bertubi-tubi dari Medina.
Medina : Ren, ngapain ke Singapore secara tiba-tiba?! Sendirian lagi. Keliatan banget jomblonya.
Medina : Mau cari jodoh jauh-jauh amat pakai ke Singapore segala.
Medina : Si Olwin baru pulang ke Indonesua. Dia nanyain lo mulu tuh. Pusing gue jawabnya. Apa perlu gue kasih tau dia kalau lo lagi di Singapore?
Membaca pertanyaan terakhir dari Medina membuatku langsung menelponnya. Sedetik kemudian wanita itu mengangkatnya.
“Akhirnya nelpon gue juga.” sindir Medina.
“Ayolah, Med. Jangan kasih tau Olwin kalau gue lagi di Singapore. Sengaja gue kabur ke sini supaya menghindar dari dia.” kataku kesal.
Kudengar Medina tertawa.
“Orang si Olwin mau ngajak lo nikah. Lo malah kabur.”
“Duh gue takut sama profesinya yang pilot itu. Gue bakal ditinggal terus nanti. Apalagi si Olwin suka ngebandingin gue sama mantannya karena nama dan kepribadian kita yang hampir mirip.” keluhku.
“You dont have to take it too seriously.” kata Medina.
Aku menghela napas.
Ingatanku berputar kembali mengingat kejadian itu. Seminggu setelah pernikahan Medina dan Mas Ali, aku tidak tahu bagaimana si Olwin dapat menghubungiku. Yang pasti saat itu dia mengajakku untuk berkencan. Akhirnya kami memutuskan untuk menonton film di bioskop. Olwin memilih sebuah film action yang diperankan oleh Daniel Craig karena katanya aktor tersebut adalah aktor favorit mantannya, Iriana. Hari itu Olwin menceritakan semua hal yang disuka oleh mantannya. Membuatku muak dan ingin menghilang dari hadapannya.
Kemudian ketika Olwin menceritakan tentang pekerjaannya yang lebih banyak menghabiskan waktu di udara dan pastinya akan bertemu dengan wanita-wanita cantik, kuputuskan diriku yang lebih baik mundur. Karena aku tidak butuh laki-laki yang banyak uang, tetapi tidak ada waktu untukku.
Medina berdecak. “Ingat umur, Ceu. Tahun ini umur lo 29. Lo mau nyari yang seperti apa lagi sih? Mantan tunangan lo aja baru mengumumkan kelahiran anak pertamanya. Masa lo gak mau pamerin calon baru lo?” tanya Medina gemas.
Aku mengunyah makananku dengan pelan. Tersenyum mendengar kata-kata Medina yang khawatir kalau aku akan menjadi perawan tua.
“I just don’t feel like it.” aku membatin.
“Apa lo masih menunggu Khaibar?” tanya Medina terbata.
“Menunggu yang kedua kali ya, Med?” Aku tertawa menyadarinya. “Gue seperti sedang berjalan, menghitung langkah, lalu lupa sudah sampai hitungan berapa. Tapi ada sedikit keyakinan, kalau gue dan dia akan bertemu lagi. Mungkin di sini.” kataku asal sambil mengunyah makananku lagi.
Medina tertawa.
“I wish it happens to you, babe.” balas Medina mengejek sebelum mengakhiri pembicaraan.
“Bye, see you in Jakarta soon.” seruku.
Setelah menghabiskan makananku. Aku berniat untuk pergi ke Singapore Art Museum dengan menggunakan kereta bawah tanah. Sore ini stasiun Orchard cukup ramai. Kuambil EZ Link card dari saku sisi tasku sambil menuruni anak-anak tangga. Tersisa tiga jam lagi untuk berkunjung ke museum tersebut.
Banyak penumpang yang menunggu di peron. Sambil menunggu aku menatap jalur kereta yang harus kupilih. Aku mesti melewati empat stasiun sampai akhirnya berhenti di stasiun Bras Basah. Lalu berjalan kaki sebentar untuk sampai di Singapore Art Museum.
Tak lama keretaku pun datang. Dipersilahkan dahulu penumpang yang hendak keluar setelah itu baru kami masuk kereta. Salahnya aku naik kereta di jam pulang kerja orang Singapura sehingga di dalam sini aku harus berdesakan bersama mereka. Aku berdiri di samping laki-laki berbadan tinggi. Wajahnya selalu menunduk. Laki-laki itu memakai sebuah topi berwarna merah yang bertuliskan Stanford.
Mungkin dia temannya Maudy Ayunda. Pikirku.
Aku tidak tahu kalau kereta di Singapura juga mengalami guncangan. Sehingga mau tidak mau kami harus menahan beban ke samping. Sialnya, laki-laki yang berdiri di sebelahku menginjak kaki kiriku. Tak sengaja kuhirup aroma parfumnya yang bagiku similiar dengan seseorang.