Kami berempat buru-buru keluar dari mobil. Siang ini bandara Soekarno Hatta terlihat ramai. Dipenuhi oleh para wisatawan lokal maupun internasional yang akan berlibur ke tujuannya masing-masing. Apalagi kami berangkat di saat libur akhir tahun. Sehingga harga tiket pesawat menanjak drastis.
Papa membawa troli berisi kopernya dan milik Mama. Di sebelahnya ada seorang wanita yang telah mendampinginya selama tiga puluh satu tahun. Bejalan di sampingnya. Mama tampak panik karena takut ketinggalan pesawat.
Di belakang mereka, Khaibar sambil mendorong troli berisi koper milik kami berdua hanya cengengesan karena melihat wajahku yang tampak kesal. Aku tidak menggubrisnya dan ikut berlari kecil menuju pintu check in. Namun, sebelum kami masuk, seorang wanita memanggil kami.
“Kalian kenapa buru-buru?” tanya Medina melihat kami yang kelelahan karena berlari.
“Loh kalian kenapa masih di sini? Bukannya pesawat take off sebentar lagi?” tanyaku pada Mas Ali dan Medina.
“Masih ada dua jam lagi untuk check in. Santai aja.” kata Mas Ali lalu menepuk bahu Khaibar. Mereka berdua berangkulan.
Mama mengernyit lalu memarahi Papa. “Papa gimana sih? Katanya kita berangkat jam satu! Mama udah capek-capek lari!”
Papa segera memakai kacamatanya. “Ya ampun, Ma. Papa salah lihat. Tadi Papa lihat 13.00 ternyata yang betul 15.00.” kata Papa menepuk jidatnya.
“Makanya kalau udah tua dipakai terus kacamatanya!” kicau Mama.
Aku masih mengatur napas. Lalu melirik ke arah Khaibar yang cekikikan.
“Jangan-jangan sebenarnya kamu udah tahu kalau Papa aku salah? Makanya daritadi kamu cuma ketawa-ketawa gak jelas?” tuduhku.
Khaibar mengangkat kedua jarinya. Membentuk simbol damai.
“Abis lucu aja lihatnya. Aku udah jelasin ke Papa kalau kita masih punya cukup banyak waktu untuk ke bandara. Sampai aku disuruh untuk segera meninggalkan acara photoshoot klien di studio. Jadi aku minta ke asistenku, Emil, untuk menggantikanku sebagai fotografer sementara.” kata Khaibar yang kini berprofesi sebagai pemilik studio foto BarBar yang sudah berjalan setengah tahun ini. Setelah Khaibar menikah denganku, ia memutuskan untuk berhenti menjadi Dewan Komisaris di perusahaan ayahnya dan merintis usahanya sendiri di bidang fotografi.
Papa menatap menantunya yang jail. Tidak mau disalahkan sepenuhnya ke Papa.
“Kalau bukan karena ada pertandingan bola di sana, Papa juga gak mau ikut ke Inggris. Mending tidur aja di rumah.”
“Yakin Papa gak mau berkunjung ke markas Chelsea? Teman saya ada yang bekerja sebagai terapi fisik tim mereka loh. Jadi saya punya kesempatan untuk bertemu dengan beberapa pemain Chelsea melalui teman saya itu.” goda Khaibar yang ia yakini mampu meluluhkan mertuanya. Ia tahu betul mertuanya penggemar klub Chelsea.
Mata Papa berbinar, “Bisa ketemu Kurt Zouma dkk?” tanyanya.
Khaibar mengangguk mantap. “Bisa dong!”
Papa berjalan mendekati Khaibar dan merubah nada suaranya.