TRAWANG

Marion D'rossi
Chapter #2

Pembunuhan Pertama

"Na na na na na na. Sebentar lagi aku akan jadi orang kaya. Yuhu, yo yo yo yo. Na na na na."

Seorang pria paruh baya tengah bersenandung ria sembari berjalan terhuyung sebab mabuk. Tangan kanan memegang sebotol miras yang tersisa setengah botol.

"HEI! BESOK AKU AKAN JADI ORANG KAYA!" teriak pria itu. Kepalanya mendongak ke langit malam yang mendung. Tiba-tiba halilintar memercik nan silau. Guntur bergemuruh memekakkan telinga. Namun, pria itu melanjutkan langkahnya untuk kembali ke penginapan melewati Gunung Trawang.

Tepat ketika kedua kakinya memijak tanah di sekitar Gunung Trawang, pria paruh baya dengan jenggot rimbun itu terhenti sebab melihat sesuatu yang asing.

"Eh?" Matanya melebar. Kepalanya mendongak, tetapi tetap saja pandangan kabur karena terlalu banyak minum alkohol.

"Ah, perasaanku saja." Pria itu melanjutkan langkah, terhuyung.

Akan tetapi, ia terhenti lagi. Ia merasakan ada sesuatu yang menyentuh bahu. Tangannya terpaksa harus meraba demi memastikan.

Kening pria itu lantas mengerut dan berkata, "Tangan? Siapa?"

Tak lama kemudian, kerutan di dahinya kembali normal. Bibirnya tersungging girang. "Aku tahu. Naya, ini pasti kamu. Kamu merindukan aku. Siapa suruh menolak untuk aku tiduri tadi," batinnya, tersenyum lebar.

Si pria berjenggot putih akhirnya memutuskan untuk memutar badan sembari terus memegang tangan yang dirasakannya adalah milik Naya—gadis malam yang menolak untuk tidur bersama.

"Aku tahu kamu pasti menyesal karena menolakku, ‘kan? Hayo, ngaku. Nay—"

Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, pria itu bergeming bak batu karang di lautan. Selang beberapa detik, ia membelalak. Ingin menjerit, sayangnya bungkam. Pita suaranya seakan-akan tidak lagi mengikuti perintah. Bahkan untuk menelan ludah pun tampak sulit, apalagi bernapas.

Botol dalam genggaman jatuh ke tanah. Ia gelagapan dengan suara tertahan.

Seseorang yang ia anggap Naya itu hanya sesosok hantu tanpa kepala. Di ujung lehernya yang berdarah dipenuhi oleh belatung sebesar jari-jari tangan. Menguar aroma busuk, menyengat, dan anyir. Sedangkan tangan yang tadinya mulus berubah keriput. Tumbuhlah kuku-kuku panjang dari jemari sosok mengerikan dengan pakaian putih lusuh itu.

Tak menunggu lama, kuku-kuku itu akhirnya tertancap di perut si pria hingga ia memuntahkan darah segar sembari mata melotot. Batuk pun tidak. Alhasil, ia rubuh dan tergeletak di tanah.

Sosok hantu pergi, melayang, dan melesat dengan cepat ke arah Gunung Trawang. Jadilah pria itu korban sosok tak kasat mata. Entah korban keberapa. Akhirnya, ia menutup mata selamanya. Harapan untuk menyambut kekayaan esok hari, hilanglah sudah.

--xxx--

"Dava! Woy, Dava! Bangun, woy!" Roni berusaha membangunkan Dava yang belum juga bangun saat jarum jam sudah menunjukkan pukul 07:00 pagi.

"Kita harus menyiapkan sarapan untuk tamu-tamu kita, Dav. Bangun!" 

Karena sangat susah membangunkan Dava, akhirnya Roni mencubit ibu jari kaki pemilik hotel itu.

"Aduh, aw! Sakit sial!" umpat Dava, mencoba menepis cubitan keras Roni dan beranjak bangun.

"Kamu, sih, dibangunkan lama. Sudah jam tujuh, tamu-tamu sudah pada lapar, tuh," ucap Roni.

"Ah, iya. Ayo, cepat!" Dava bersegera ke kamar mandi dan mencuci wajahnya yang kusut sehabis tidur.

Lihat selengkapnya