TRAWANG

Marion D'rossi
Chapter #3

Misteri Terowongan

“Cepat, jalan! Masuk ke terowongan!” terdengar perintah tegas dari salah seorang tentara.

Sekitar sepuluh orang pasukan militer berseragam cokelat, wajah mereka keras dan penuh amarah, bertindak kejam. Mereka memborgol ratusan penduduk, mulai dari pria, wanita, hingga anak-anak. Sepertinya, penduduk asli Lombok ini diperlakukan seperti tawanan perang oleh pasukan Jepang. Pada malam hari, mereka digiring menuju terowongan gelap yang terletak di bawah Gunung Trawangan. Pagi harinya, para tawanan itu dipaksa bekerja membangun beberapa pelabuhan di pulau tersebut, tanpa belas kasihan.

"Ibu ... Ihsan takut, Bu. Kita mau ke mana, Bu?" tanya seorang bocah berusia sekitar delapan tahun, matanya penuh rasa takut dan bingung. Ibu yang ditanya hanya terdiam, bibirnya terkunci rapat karena takut akan apa yang akan terjadi pada mereka.

"Hei, bocah! Jangan berisik! Cepat, masuk ke terowongan!" teriak seorang tentara Jepang dengan suara penuh amarah. Matanya melotot tajam, memberikan peringatan yang jelas kepada bocah yang tampak kumal itu.

"Iya, Nak. Ayo, kita masuk. Jangan banyak bertanya," ucap sang ibu sambil menggenggam tangan anaknya, melangkah dengan terburu-buru, berusaha menghindari perhatian lebih dari tentara yang garang itu.

"Ibu ... di dalam gelap. Ihsan nggak mau, Ibu ...," kata bocah itu, suaranya gemetar, ketakutan.

"Bocah keparat!" teriak tentara itu, tak sabar lagi. Ia mengayunkan cambuknya dengan kasar ke punggung bocah yang bahkan tak mengenakan baju. Cambukan itu mengenai kulit tipisnya, membuat bocah itu tersungkur dan menangis.

"Jangan. Aduh, sakit! Ibu, punggung Ihsan sakit, Bu," isaknya, tubuhnya menahan rasa perih yang semakin membakar.

"Keparat! Saya bilang jangan berisik!" Tentara itu kembali mengayunkan cambuknya, kali ini lebih keras, menyasar ke punggung bocah malang itu. Darah mulai mengalir dari luka-lukanya.

Ibu bocah itu, yang matanya sudah memerah karena menahan air mata, jatuh berlutut di depan tentara. "Tuan, hentikan! Maafkan anak saya, Tuan," pinta sang wanita dengan suara penuh ketakutan, sambil menundukkan kepala, memohon belas kasihan.

"Berisik!" teriak tentara itu tanpa ampun. Ia mengayunkan cambuknya ke arah wanita itu, langsung mengenai punggungnya dengan keras. Sang ibu terjatuh, tersungkur ke tanah. Ibu dan anak itu akhirnya menangis bersama, terisak-isak dalam penderitaan yang tak terperi. Mereka, yang hanya bekerja keras tanpa upah, malah mendapat siksaan yang begitu kejam.

"Tuan, ampuni saya dan anak saya, Tuan ...," kata sang wanita, suaranya hampir hilang karena tangisan. Ia mencium kaki tentara di hadapannya, berusaha memohon dengan cara apa pun agar anaknya tidak disiksa.

Namun, jawabannya hanya kekerasan. Dengan kasar, tentara menendang wanita itu hingga terjatuh. Seketika, tubuhnya terjerembab ke tanah, dan tangisan mereka semakin keras, memecah kesunyian malam yang mencekam.

"Ibu!" teriak Ihsan, anak kecil itu meraih tubuh ibunya. Mereka berpelukan, seolah tak ingin berpisah.

Beberapa saat berlalu, suasana hening saat tawanan lain sudah berhasil dimasukkan ke dalam terowongan. Ibu dan anak itu masih berpelukan erat, seolah dunia mereka hanya terdiri dari satu sama lain. Sang ibu melirik tentara yang berdiri di samping mereka. Matanya menangkap gerakan tentara yang sedang menghunus pistol dari pinggangnya.

Wanita itu sudah bisa menebak apa yang akan terjadi dalam beberapa menit ke depan. Namun, ia tak merasa perlu lagi untuk melawan atau memohon. Berapa kali ia sudah memohon agar diberi ampun? Semua itu sia-sia. Tentara-tentara itu tak peduli pada permohonan mereka. Mereka hanya mengikuti hasrat jahat yang ada dalam hati mereka, tanpa belas kasihan.

Sang ibu menutup matanya, semakin mengeratkan pelukannya pada Ihsan. Di dalam hatinya, ia berdoa, berharap jika ada kedamaian yang lebih abadi di akhirat daripada di dunia yang penuh kekejian ini. Dunia yang telah mengubah manusia jadi makhluk tak berperasaan.

Helaan napasnya yang ringan menandakan ia sudah siap, sudah ikhlas untuk menghadapi apa yang akan datang. Mungkin, mati adalah pilihan terbaik untuk mengakhiri segala penderitaan yang telah menggelayuti tubuh dan jiwa mereka.

DOR!!!

Suara tembakan yang memecah keheningan itu mengguncang udara, dan peluru itu melesat, tepat menembus tubuh ibu dan anak itu. Rasa sakit segera mengalir dalam tubuh mereka. Sebelum mereka sempat merasakan apa-apa, tembakan kedua meledak, menghujam kepala mereka dengan sempurna, disusul tembakan ketiga yang menghantam jantung mereka.

Mereka jatuh ke tanah, tubuh tak bernyawa, tapi pelukan itu tetap utuh. Begitulah akhir mereka—tanpa ampun, tanpa belas kasih—terluka di dunia, tetapi akhirnya menemui kedamaian di dalam kehampaan yang kelam.

 

Lihat selengkapnya