"Ampuni kami, Tuan."
"Apa? Mengampuni kalian? Enak saja."
"Tuan, kaki saya sakit. Saya juga belum makan dari kemarin. Berikan saya istirahat se—"
Tentara Jepang yang wajahnya tirus langsung menendang perut seorang pria paruh baya, yang kemudian tersungkur memuntahkan cairan kental dari mulut.
"Kurang ajar! Kamu minta apa dari saya? Kamu mau makan? Bekerja saja kamu tidak becus, lalu minta makan?!"
Lagi, sebuah tendangan mendarat di kepala pria berjanggut dengan ikat kepala khas Pulau Lombok itu. Si pria tidak mengenakan baju, hanya sarung lusuh yang dikenakan.
"Ini, kamu makan makanan ini!"
Si tentara kemudian mengambil sepiring nasi tanpa lauk yang sudah didiamkan berhari-hari. Menjamur dan digerogoti ulat.
"Itu makanan sudah basi, Tuan." Pria itu meronta sembari menahan perut yang teramat perih.
Bagaimana tidak? Ia tidak makan apa-apa dari kemarin, bahkan sekarang perutnya ditendang sekuat tenaga oleh tentara picik itu. Untuk kesekian kali, ia disuguhi makanan sisa yang sudah basi, bercampur dengan ulat di dalamnya.
"Cepat, makan itu!"
Tentara meraih kepala si pria, lalu memaksanya untuk memakan nasi basi dan busuk yang kini telah tumpah berserakan di tanah.
"Tidak, Tuan, tidak. Ampuni saya, Tuan," rintih pria itu, terus menangis dan memohon ampun. Akan tetapi, prajurit militer Jepang menambah rasa sakit si pria dengan kembali menendangnya berkali-kali.
"Kalau begitu, kamu pasti ingin mati, ya." Begitu ucap si tentara, yang kemudian mengambil sebuah hammer seberat satu kilo di atas meja persegi kecil.
"Kalau kamu tidak mau makan, berarti kamu ingin mati." Seringainya tampak jahat.
"Tuan, tidak. Saya akan memakannya, Tuan. Ampuni saya." Pria itu dengan lugas memakan nasi busuk yang tergerai di tanah seperti anjing kelaparan. Meskipun rasanya seperti tahi binatang yang paling buruk, ia tetap lahap demi keselamatan diri.
Tak lama kemudian, tanpa sepengetahuannya, kepala pria paruh baya itu dihantam hammer oleh tentara. Alhasil, si pria bergeming. Kulit dan tengkoraknya retak hingga bersimbah darah yang mengalir tanpa henti. Matanya melotot dan melongo. Ia tidak bersuara. Bahkan kemudian kejang-kejang dan mati di tempat.
--xxx--
Hari kedua setelah tragedi Kafe Papaya, Dava kembali mendapatkan penglihatan mengerikan yang terjadi di terowongan bawah Gunung Trawang. Ia kembali bangun dari tidur dengan bercucur keringat dan napas tak beraturan. Melongo dan meratapi.
"Kamu kenapa?" tanya Roni yang kemudian masuk ke kamar Dava di dekat bangunan hotel. "Mimpi tentang terowongan itu lagi?" tambah Roni, kemudian duduk di ranjang.
"Aku selalu melihat tragedi mengerikan. Orang-orang disiksa dengan cara yang nggak wajar. Dan aku yakin, yang ada di dalam mimpi itu, para tentara Jepang. Mereka menyiksa dan menjadikan tawanan penduduk sekitar," tutur Dava dengan napas yang mulai teratur.
"Malam ini, sudah saatnya kita membongkar misteri gunung itu, Dav. Kita harus mencari tahu misteri apa di balik semuanya. Semenjak kedatangan kita di pulau ini dua tahun lalu, selalu saja ada kabar orang-orang yang mati dengan nggak wajar."
Memang benar apa yang dituturkan oleh Roni. Setidaknya, lebih dari sepuluh jiwa sudah melayang dalam beberapa bulan terakhir di pulau Trawangan. Bahkan salah satu dari korban adalah tamu dari Amerika yang tidak percaya dengan adanya hantu dan mitos lain.
Sesuai yang telah direncanakan, dua insan itu berkunjung ke Gunung Trawang, tepat pada pukul 10:00 malam. Suasana di jalan ini begitu sepi dan menyeramkan. Semilir angin pelan menambah suasana semakin mengerikan. Beberapa kali bulu tengkuk keduanya berdiri ketika mulai masuk ke pekarangan gunung yang tingginya tidak lebih dari dua puluh meter itu.
Padahal, di beberapa titik sudah terpasang lampu yang cukup terang. Namun, tetap saja suasana mencekam itu tidak terbantahkan.