"Ampuni kami, Tuan. Kami mohon." Suara parau pria paruh baya itu terdengar putus asa.
"Mengampuni kalian? Hah! Seenaknya saja meminta ampun," balas tentara Jepang dengan wajah tirus dan sorot mata dingin yang menandakan tak ada rasa belas kasihan sedikit pun.
"Tuan, kaki saya sakit. Saya belum makan sejak kemarin. Beri saya istirahat sebentar saja …." Suara pria itu bergetar, penuh rasa sakit. Namun, kalimatnya terpotong oleh tendangan keras yang mendarat di perutnya.
"Kurang ajar!" bentak si tentara sembari melangkah maju, memandang pria itu yang kini tersungkur ke tanah, memuntahkan cairan kental bercampur darah dari mulutnya. "Kamu berani-beraninya minta makan? Bekerja saja tidak becus, malah mengeluh?!" Suaranya menggema, penuh amarah.
Tendangan kedua menyusul, kali ini mengarah ke kepala pria itu yang kini meringkuk lemah. Dengan tubuh kurus yang hanya berbalut sarung lusuh, dia terlihat begitu rapuh, tapi tetap berusaha menahan rasa sakit.
"Ini makanan untukmu!" Tentara itu mendengkus, meraih sepiring nasi yang sudah basi, penuh jamur, dan dihiasi ulat-ulat kecil yang menggeliat di atasnya.
"Tuan, makanan itu sudah busuk ...." Pria itu merintih, wajahnya penuh ketakutan dan rasa jijik. Perutnya yang kosong sejak kemarin semakin terasa perih saat aroma busuk nasi itu menyengat hidungnya.
"Cepat, makan ini!" Tentara Jepang itu meraih kepala pria malang itu, memaksanya membuka mulut. Nasi basi itu dipaksa masuk, tumpah berserakan di tanah. Ulat-ulat yang bergerak membuat pemandangan itu semakin menjijikkan.
"Tidak, Tuan! Tolong, saya mohon ... ampuni saya …." Pria itu menangis, suaranya bercampur dengan isak tertahan. Namun, permohonannya hanya menjadi bahan tawa bagi tentara kejam itu.
"Cengeng sekali," ejek si tentara, lalu menendang tubuh pria itu berkali-kali. "Kalau kau tidak mau makan, mungkin kau ingin mati saja?"
Pria itu hanya menggigil, tak lagi punya tenaga untuk melawan.
Dengan seringai mengerikan, si tentara melangkah ke meja kayu kecil di sudut ruangan. Ia meraih sebuah palu besar seberat satu kilogram. Palu itu tampak berat di tangannya, tapi ia mengayunkannya dengan mudah.
"Kalau kau tidak makan, aku punya cara lain untuk membuatmu diam!" katanya dingin. Mata pria paruh baya itu membelalak, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk melarikan diri. Yang tersisa hanyalah rasa putus asa dan ketakutan yang membekukan.
"Kalau kau tidak mau makan, berarti kau ingin mati," ucap tentara itu dingin, disertai seringai yang memancarkan kebengisan.
"Tuan, tidak! Saya akan memakannya, Tuan. Ampuni saya, tolong," rintih pria itu dengan suara gemetar.
Dengan tangan gemetar, pria paruh baya itu mengambil nasi basi yang berserakan di tanah. Tanpa memedulikan ulat-ulat kecil yang merayap di antara butiran nasi, ia menyuapkan makanan busuk itu ke mulutnya. Rasanya mengerikan—pahit, asam, dan menjijikkan, seolah menelan kotoran. Tapi ia memakannya dengan lahap, seperti seekor anjing kelaparan yang berjuang demi bertahan hidup.
Tentara Jepang itu hanya mengawasi dari samping, senyumannya makin lebar melihat penderitaan yang tergambar jelas di wajah pria malang itu. "Bagus. Makan seperti itu. Tapi sayang, aku sudah kehilangan kesabaran."
Tanpa peringatan, tentara itu mengangkat palu berat di tangannya, mengayunkannya tinggi ke udara. Dalam sekejap, kepala pria yang tengah bersujud memakan nasi itu dihantam dengan keras. Suara "duak!" yang memekakkan telinga terdengar, seolah udara di ruangan itu membeku seketika.
Pria itu tak sempat bersuara. Tubuhnya langsung bergeming, dan kepala yang dihantam mulai retak. Kulitnya sobek, dan darah memancar deras, menggenangi tanah tempat ia sebelumnya makan. Matanya membelalak, mulutnya terbuka tanpa sepatah kata keluar, hanya diam membeku.
Beberapa saat kemudian, tubuhnya mulai kejang, getarannya perlahan mereda hingga akhirnya berhenti sepenuhnya. Pria itu mati di tempat, meninggalkan keheningan yang menyesakkan.
Tentara Jepang itu hanya mendengkus puas, melempar palu ke tanah dengan bunyi berat, sebelum berbalik melangkah pergi tanpa rasa bersalah sedikit pun.
-II-
Pada hari kedua setelah tragedi di Kafe Papaya, Dava kembali terbangun dari tidurnya. Napasnya tersengal, keringat membasahi wajah dan lehernya. Ia terduduk di ranjang, pandangannya kosong menatap dinding kamar yang temaram. Di kepalanya, bayangan mimpi mengerikan itu terus terulang—sebuah penglihatan tentang terowongan di bawah Gunung Trawang yang menjadi saksi bisu kekejaman.
Pintu kamar berderit, dan Roni masuk dengan raut wajah cemas. "Kamu kenapa?" tanyanya, mendekat lalu duduk di pinggir ranjang. "Mimpi tentang terowongan itu lagi?" lanjutnya.
Dava mengangguk pelan, mencoba mengatur napas yang masih tersengal. "Aku selalu melihat hal yang sama. Orang-orang disiksa dengan cara yang nggak manusiawi. Mereka ditawan di terowongan itu ..., tentara Jepang. Aku yakin mereka pelakunya," ucapnya lirih, wajahnya masih dirundung ketakutan.
Roni menghela napas, tatapannya serius. "Sudah waktunya, Dav. Malam ini kita harus mengungkap misteri gunung itu. Kita harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sejak kita tiba di pulau ini dua tahun lalu, kabar tentang orang-orang yang mati dengan cara nggak wajar selalu muncul. Kalau kita diam saja, hal ini nggak akan pernah selesai."
Perkataan Roni masuk akal. Dalam beberapa bulan terakhir, setidaknya lebih dari sepuluh nyawa melayang di Pulau Trawangan, semuanya dengan cara yang tidak masuk akal. Salah satu korban bahkan seorang tamu asal Amerika yang sebelumnya menertawakan cerita tentang hantu dan mitos lokal. Kejadian-kejadian ini terlalu aneh untuk dianggap kebetulan.
Malam itu, sesuai rencana, Dava dan Roni berangkat ke Gunung Trawang tepat pukul 10 malam. Jalan setapak menuju gunung terasa lengang dan sunyi, hanya diiringi embusan angin malam yang dingin menusuk tulang. Semilir angin pelan membawa aroma lembap dedaunan, menambah suasana semakin mencekam.