Sosok hantu bocah dengan mata keluar dan menggantung hingga dagu itu melayang-layang. Roni yang tengah melihat sosok itu pun bergeming cukup lama.
Sedangkan, Dava masih bersimpuh dan merasakan sakit di kepala yang teramat. Ia merasa tidak dapat mengendalikan semua penglihatan tentang tragedi kelam di dalam terowongan.
"Aaah, nggak! Ah, sialan!" Begitulah pekik Dava seperti manusia laknat yang tengah kesurupan.
"Tolong saya, Om."
Namun, lebih mengerikan lagi ditambah rintihan tolong dari sosok bocah yang melayang di udara. Berjarak hingga tiga meter di atas Roni sambil menahan matanya agar tidak jatuh.
Sebab tak dapat menahan rasa takut, Roni akhirnya pingsan di tempat. Kini, yang tersisa hanya Dava dengan rasa sakit yang tak tertahankan. Beberapa kali lelaki berambut gondrong itu membenturkan kepala pada dinding terowongan. Tangan kanan yang tadi ia gunakan untuk memijit kening, lantas memijak pada tanah demi menahan diri agar tidak tergeletak.
Namun, Dava merasakan sebuah benda yang disentuh tangannya secara tidak sengaja. Ia lalu mengambil benda itu dengan terus memejamkan mata akibat sakit.
Sebuah senter. Sepertinya senter yang beberapa waktu lalu mereka cari. Ia pun menyalakan benda itu. Cahayanya menyebar. Kepala Dava perlahan mulai membaik. Napasnya tersengal. Matanya mengedar ke sekeliling, tetapi tidak ada apa pun. Sosok bocah itu juga tampak telah menghilang.
"Ron! Roni! Bangun, Ron!" Dava berusaha membangunkan kawannya. Ditepuk kedua pipi Roni beberapa kali.
Lelaki kurus kering itu akhirnya membuka mata. Ia bangkit kemudian. Tahu-tahu sudah terang. "Dav? Mana hantu itu?" Roni mengedarkan pandangan dengan wajah pucat pasi.
"Hantu apaan?" Dava bertanya kembali.
"Loh, kok nggak ada? Dan dari mana kamu dapat senter?" Roni menginterogasi.
"Kamu mungkin tanpa sadar menjatuhkan senter sewaktu kita masuk ke sini. Aku tadi nggak sengaja nemuin ini di sini."
"Lah, kok bisa? Kalaupun jatuh, aku pasti menyadari, Dav. Tapi, kok—"
"Sudah, sudah!" sela Dava. "Ayo, kita lanjut masuk."
"Kamu mau lanjut masuk ke terowongan ini?" Sontak Roni terhenyak. "Nggak, nggak. Aku mau pulang aja. Bocah tadi serem, Dav. Matanya keluar dan bermandikan darah. Takut, ah. Ih, merinding aku."
"Jadi, kamu nggak mau? Kalau begitu, kamu balik sendirian aja. Aku tambah penasaran sama terowongan ini."
"Dava, besok aja, deh. Gimana? Masalahnya aku lapar sekarang, nih. Pas jalan kamu nggak ngasih aku makan." Roni membalas dengan ketus, bersikeras untuk kembali ke hotel.
"Tapi—"
"Sudah, ayo. Yang penting kita sudah tahu kalau terowongan ini ternyata ada dan berhantu. Kita mesti atur rencana dan bawa perbekalan yang cukup."
"Ah, ya, udahlah."
--xxx--
"Hei, tambah minumannya!"
"Baik, Tuan. Tunggu sebentar."
"Ayo, ayo, ayo. Nikmati uangku, Para Pelacur Sialan! Hahaha."