Sosok bocah itu terus melayang-layang di udara. Aura mencekam memenuhi terowongan, membuat setiap napas terasa berat. Roni berdiri kaku, matanya terpaku pada sosok itu, seperti terhipnotis pemandangan yang tidak masuk akal. Tubuhnya gemetar hebat, tetapi ia tak mampu bergerak atau bersuara.
Di sisi lain, Dava masih tersungkur di lantai. Kepalanya berdenyut hebat, seolah ada palu besar yang menghantam tengkoraknya tanpa henti. Penglihatan mengerikan tentang tragedi masa lalu di terowongan itu berputar kembali di pikirannya, membuatnya merasa seakan-akan berada di tengah kejadian tersebut.
"Ah, nggak! Aaah, sialan!" jerit Dava sambil mencengkeram rambutnya. Wajahnya memerah karena rasa sakit yang menyiksa.
"Tolong saya, Om," rintih suara kecil.
Roni membelalakkan mata. Itu suara bocah melayang di hadapannya. Suaranya parau, penuh kesedihan, seolah berasal dari lubuk penderitaan terdalam. Sosok itu perlahan mendekat, matanya yang menggantung terlihat semakin jelas. Darah terus menetes ke lantai terowongan, membentuk pola-pola yang mengerikan.
Roni tidak tahan lagi. Tubuhnya lunglai, jatuh ke lantai dengan suara tubuh yang terbentur keras. Ia pingsan di tempat.
Kini hanya Dava yang tersisa, berjuang melawan sakit yang merobek kepalanya. Ia merangkak perlahan, tangannya memegang dinding terowongan sebagai penopang. Dalam kondisi setengah sadar, ia mencoba bertahan agar tidak kehilangan akal sepenuhnya.
Tangan kanannya, yang meraba lantai untuk mencari pegangan, tiba-tiba menyentuh sesuatu yang dingin dan keras. Ia berhenti merintih, mencoba memahami apa yang baru saja disentuhnya. Dengan sisa tenaganya, ia mengambil benda itu.
Sebuah senter.
Dava menyalakannya. Cahaya terang segera menyebar di sekitarnya, membelah pekat kegelapan. Seiring dengan nyala senter, rasa sakit di kepalanya perlahan mereda. Napasnya yang tersengal mulai kembali normal, meski tubuhnya masih lemah. Ia melirik ke sekeliling, memeriksa setiap sudut terowongan dengan senter di tangannya.
Tidak ada siapa pun. Sosok bocah itu sudah lenyap. Hanya dinding batu yang kosong dan sunyi.
"Ron! Roni!" Dava memanggil, suaranya parau tetapi penuh desakan. Ia merangkak ke arah Roni yang tergeletak tak sadarkan diri. Dengan tangan gemetar, ia menepuk kedua pipi sahabatnya, berusaha membangunkannya.
"Bangun, Ron! Jangan tinggalin aku sendiri di sini!" katanya dengan nada putus asa. Tepukan di pipi semakin kuat, tetapi Roni masih belum bergerak.
Roni membuka mata perlahan. Wajahnya pucat pasi, keringat dingin masih membasahi pelipisnya. Ia bangkit dengan tubuh gemetar, memandang sekeliling yang mulai disinari cahaya samar dari senter yang dipegang Dava.
"Dav? Mana hantu itu?" tanyanya panik sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Hantu apaan?" Dava menatapnya dengan alis terangkat, pura-pura tak paham.
"Loh, bocah tadi! Matanya yang keluar, darah di mana-mana. Kok tiba-tiba nggak ada?" Suara Roni bergetar, penuh kebingungan. Ia menunjuk ke arah sosok menyeramkan itu tadi melayang.
"Entahlah. Pas aku nyalain senter ini, semuanya langsung hilang," jawab Dava singkat, sambil menatap senter di tangannya.
"Lalu, dari mana kamu dapat senter itu?" Roni menginterogasi dengan nada curiga.
"Kamu mungkin tanpa sadar menjatuhkannya waktu kita masuk ke sini. Aku tadi nggak sengaja nemuin di lantai," kata Dava sambil memutar-mutar senter di tangannya.
"Lah, kalaupun jatuh, aku pasti sadar, Dav. Namun, ini rasanya aneh banget," balas Roni, menggigit bibirnya cemas.
Dava menghela napas panjang. "Sudahlah, Ron. Jangan dipikirin. Yang penting sekarang kita bisa lihat jalan lagi. Ayo, kita lanjut masuk."
Mendengar ajakan itu, Roni sontak membelalak. "Apa?! Lanjut masuk ke terowongan ini? Nggak, Dav! Aku nggak mau! Bocah itu serem banget. Matanya keluar, darah di mana-mana! Ih, merinding aku!" Roni memegangi lehernya, merasa ngeri mengingat kejadian tadi.
Dava menatap sahabatnya dengan kesal. "Kalau kamu nggak mau, balik aja sendiri. Aku tambah penasaran sama terowongan ini. Aku rasa ada sesuatu yang mesti kita temukan."
"Besok aja, Dav. Serius, deh. Aku lapar sekarang, nih. Kita tadi jalan buru-buru tanpa makan, dan perbekalan nggak ada sama sekali." Roni mengeluh, suaranya terdengar ketus.
Dava menggeleng pelan, tetapi akhirnya menyerah. "Ah, ya udahlah. Besok kita balik lagi. Namun, pastikan kamu nggak jadi pengecut lagi, ya."
Roni hanya mengangguk cepat, lalu segera berdiri. Ia mulai melangkah keluar dari terowongan, diikuti Dava yang masih merasa kecewa karena harus menghentikan eksplorasi. Sinar senter mereka jadi satu-satunya pemandu di kegelapan, menerangi jalan keluar menuju permukaan.