Lisa duduk di tengah keramaian klub Don't Come In. Kakinya bersilang, paha kanan terangkat di atas paha kiri, sementara sebatang rokok terjepit di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Wanita itu, dengan dagu lancip yang elegan, menatap kosong pada para pengunjung yang tenggelam dalam dunia mereka, mabuk dalam kebisingan dan keriuhan. Namun, tatapannya terasa hampa, kosong, seperti dia tak lagi bagian dari semua itu.
Ketika bara api rokoknya semakin mendekat ke ujung, menyisakan sedikit abu yang jatuh perlahan, Lisa tersadar dari lamunannya. Dengan gerakan lamban, ia meraih botol bir yang tergeletak di meja dan meneguknya perlahan, seolah mencoba menyelami setiap tetesnya dengan penuh pengkhayatan, meskipun jauh di dalam, tak ada rasa yang benar-benar mengisi.
"Hei, Lisa! Bagaimana kalau kamu tidur bersamaku malam ini?" teriak seorang pria berambut ikal dari kejauhan. Suaranya berbaur dengan musik yang berdentum, tapi Lisa hanya menarik napas panjang, tidak menoleh, tetap fokus pada rokoknya yang mulai habis.
"Hei, Lisa! Temani aku malam ini!" Seruan itu kembali terdengar. Kali ini, suaranya lebih keras, lebih memaksa. Namun, tetap tidak ada reaksi dari Lisa. Ia hanya menyisakan kekosongan sebagai jawaban.
Bosan dengan kalimat-kalimat yang tak berarti, Lisa memutuskan keluar dari keramaian itu, mencari udara malam yang segar. Di dalam, ia merasa sesak, pengap. Di luar, udara terasa lebih hidup.
"Kenapa, Lisa?" Suara seorang lelaki baru saja menyapa. Dia berdiri di samping Lisa yang tengah memandang langit yang semakin gelap, dihiasi awan mendung dan percikan petir yang sesekali menyambar, seolah menyelimuti dunia dalam kesedihan.
"Nggak ada," jawab Lisa singkat, suara lembut, tapi penuh beban.
"Kamu masih mikirin soal Nina?" tanya lelaki itu, memecah keheningan.
Lisa terdiam, tak ada jawaban. Lelaki itu, meski tahu jawabannya tak akan datang, terus berbicara, "Sangat disayangkan. Wanita sebaik dan secantik Nina begitu cepat meninggalkan kita. Aku tahu kalian berteman baik."
Kata-kata itu meluncur begitu saja, tapi Lisa tetap diam. Tak ada yang bisa memahaminya. Lelaki itu, melihat tak ada respons, akhirnya memutuskan meninggalkan Lisa dengan pikirannya. "Ya udah. Istirahatlah. Jangan melayani siapa pun malam ini. Kamu butuh waktu untuk menenangkan diri."
Langkahnya menghilang ke dalam, meninggalkan Lisa sendirian di bawah langit malam yang semakin gelap.
Beberapa detik setelah lelaki itu masuk, Lisa menahan napas panjang. Tiba-tiba, bibirnya terasa begitu rapat, dan air mata yang ia tahan mulai jatuh, tak tertahankan. Ia menjongkok, menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Kenapa semua yang aku sayangi harus pergi begitu saja? Kenapa, Tuhan? Apakah ini hukuman karena aku perempuan yang hina?" batinnya, suara tangisnya samar teredam dalam angin malam yang dingin.
Kepalanya terasa berat, seperti ada beban yang semakin menekan, dan Lisa merasakannya semakin intens.
Lisa mengerang pelan, memejamkan mata, mencoba menenangkan dirinya, tapi bayangan kelam segera menyusup ke dalam pikirannya. Itu bukan kali pertama. Setiap kali rasa sakit datang, kenangan mengerikan itu selalu menghantuinya. Tragedi yang terjadi dua tahun lalu di Gunung Trawang, sebuah peristiwa yang memengaruhi hidupnya selamanya. Bayangan-bayangan itu datang begitu jelas—sadis dan mengerikan—sejak saat kekasihnya, Angga, meregang nyawa. Saat itu, mereka berlibur bersama di pulau ini. Angga hilang, dihanyutkan ombak laut malam, tenggelam tanpa jejak.
"Ah, pergi kalian dari kepalaku!" Lisa berteriak keras, tangan memukul kepalanya seakan ingin mengusir bayangan itu. Namun, itu tak berhasil. Tragedi itu tetap hidup dalam ingatannya, membekas begitu dalam.
"Lisa ...." Sebuah suara tiba-tiba merasuk ke telinganya. Lisa terdiam, matanya terbuka lebar, merasa sakit di kepalanya seolah menghilang seketika. Ia memindahkan pandangannya, mencari asal suara itu di sepanjang pesisir pantai yang gelap.
"Siapa?" desisnya, tubuhnya sudah terangkat, siap bergerak. Instingnya mendorongnya untuk mencari tahu.
"Alisa ...." Suara itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas. Tidak hanya suara manusia, ada juga gemuruh guntur yang memekakkan telinga, seolah alam semesta ikut merasakan ketegangan ini.
Rasa penasaran semakin kuat. Wanita malam yang kini berusia dua puluh lima tahun itu melangkah pesisir pantai, tubuhnya berputar, matanya menyelidik, berusaha menemukan siapa yang memanggilnya.
"Lisa. Aku di sini, Sayang." Suara itu kembali terdengar, lirih, tapi memikat.
"Angga? Apakah itu kamu? Angga?" Lisa berteriak, matanya terbelalak. Suaranya bergema di udara malam yang sunyi. Kenangan tentang Angga begitu kuat, tak pernah benar-benar hilang. Hatinya berdetak lebih cepat. Namun, apakah ini mungkin? Akankah Angga kembali padanya setelah dua tahun menghilang begitu saja?
Ternyata, suara itu begitu familiar—bariton Angga yang selalu Lisa ingat, meskipun kenangan itu sudah buram, dan rasa sakitnya semakin menyiksa. Namun, Lisa masih terjebak dalam kebingungannya. Cinta yang begitu mendalam, yang mengaburkan segala logika, membuatnya berharap yang tak mungkin.
"Angga! Kamu di mana?!" Lisa berteriak lebih keras, langkahnya semakin jauh dari kelab, menuju pesisir pantai yang sunyi.
Tiba-tiba, di sebelah timur, sosok seorang lelaki muncul di kegelapan. Lisa menoleh, matanya terbuka lebar. Namun, ada yang aneh dengan sosok itu. Tubuhnya kumal, penuh luka, dan darah mengucur dari kulit kepalanya yang robek. Itu bukan Angga yang ia kenal. Lisa tahu itu, meskipun hatinya menolak untuk menerima kenyataan. Itu bukan kekasihnya. Itu hanya bayangan dari apa yang telah hilang. Sosok itu lebih seperti sesuatu yang mengerikan, entitas yang telah menjadi hantu, entah apa yang kini merasuki tubuhnya.
Namun, perasaan cinta yang begitu kuat terus menyelimuti Lisa. Otaknya dicuci, matanya teracuni. Ia tidak bisa lagi membedakan kenyataan dan ilusi. Angga yang ia kenal sudah mati, tetapi rasa cintanya yang tak pernah mati itu membuatnya terus berharap, bahkan terhadap sosok yang sudah bukan lagi manusia.