"Ah! Hentikan, Tuan! Ah! Jangan siksa saya lagi, Tuan!" Suara pria tua itu terdengar penuh penderitaan, menembus kesunyian yang menyesakkan. Tubuhnya yang kurus renta terkulai di salib, rambut dan janggutnya yang beruban kini dicemari darah. Cambukan rantai besi berkarat terus menghunjam tubuhnya, meninggalkan luka-luka yang tak terhitung banyaknya. Penyiksaan itu telah berlangsung berjam-jam, tapi pasukan militer Jepang yang mengawasi tidak menunjukkan tanda-tanda untuk berhenti. Mereka tampak tak terganggu oleh penderitaan yang sedang terjadi di depan mata mereka.
Di sebelah salib pria tua itu, ada seorang lelaki yang usianya mungkin sekitar tiga puluh tahun, tubuhnya terikat di kursi dengan keadaan yang tak lebih baik. Seorang tentara Jepang dengan kejam mencabuti kuku-kuku tangannya, lalu kakinya, sambil tertawa kecil, menikmati setiap jeritan yang keluar dari pria yang tak berdaya itu. Tentara lainnya duduk santai, menonton dengan senyum sinis, meneguk arak dan sesekali menyesap rokok seperti sedang menyaksikan sebuah pertunjukan.
"Hei! Lebih keras lagi! Teriakan kalian masih kurang terdengar menderita," kata tentara yang sedang duduk, tertawa renyah sambil mengepulkan asap rokok dari mulutnya.
"Hei, Pak Tua! Siapa namamu?" teriak tentara yang memegang rantai besi, menatap pria tua yang sudah hampir kehilangan kesadaran.
"R-Robi ...." Suara pria tua itu terucap lemah, napasnya terengah-engah karena pukulan dan cambukan yang terus mendera tubuhnya.
"Kau dengan berani mencoba melarikan diri dari terowongan ini? Inilah yang kau dapatkan sekarang. Kau pantas tersiksa sebelum mati!" Tentara itu menambahkan, suaranya keras, penuh amarah.
"B-bunuh saya, Tuan. Daripada harus tersiksa seperti ini, saya lebih baik bertemu Tuhan saya!" Robi berkata, matanya memandang tentara yang menghadapinya, penuh penyerahan dan keputusasaan. Ia tahu ini mungkin akhir dari segala penderitaannya.
"Kau menantang kami, Pak Tua?" Tentara itu tersenyum jahat, lalu rantai kembali melayang, menghunjam tubuh Robi dengan kekuatan yang tak terbayangkan.
Setiap malam, terowongan ini selalu dipenuhi jeritan para tawanan, suara yang menggema, memecah keheningan yang tebal. Sudah lebih dari seratus nyawa yang terenggut di tempat ini, semua karena membangkang terhadap peraturan tentara Jepang. Namun, lebih dari itu, para tentara ini tidak pantas disebut manusia. Mereka lebih mirip iblis—makhluk yang hanya tahu merusak dan merenggut kehidupan orang-orang tak bersalah.
"Hei, kau masih bisa berteriak?" tanya tentara yang memegang capit besi, sembari menjambak rambut lelaki yang terikat di kursi. Wajah lelaki itu penuh peluh dan darah, sementara lima jemari tangannya yang sudah kehilangan kuku mengeluarkan darah yang mengucur deras, membasahi lantai di bawahnya.
Lelaki itu terengah dengan mulut terbuka, tapi tak mampu mengeluarkan suara. Napasnya terengah-engah, tak sanggup lagi bersuara.
"Kalau begitu," ujar tentara itu dengan senyum mengerikan, mengganti capit dengan palu besar yang berkilau di bawah cahaya redup, "ini sepertinya bisa membuatmu berteriak lagi," lanjutnya, penuh kegembiraan jahat.
"T-Tidak ...." Suara lelaki itu serak dan parau, hampir tak terdengar di tengah kesakitan luar biasa.
Tentara itu tersenyum lebar, giginya yang putih kontras dengan wajahnya yang kotor dan penuh kebencian. Dengan kasar, ia memegangi kepala lelaki itu, menahannya agar tak bisa bergerak. Lelaki itu berontak sekuat tenaga, tubuhnya menegang dan matanya penuh ketakutan, tapi tak ada yang bisa dia lakukan untuk menghentikan tindakan tentara itu.
"J-Jangan!" teriak lelaki itu, matanya memohon.
Palu terangkat tinggi di udara, dan dengan gerakan yang sangat cepat, palu itu menghantam jemarinya yang sudah terluka parah. Darah memercik ke segala arah. Satu teriakan panjang dan penuh penderitaan keluar dari mulutnya, menggaung memenuhi terowongan gelap yang sepi.
"Hentikan, Tuan. Hentikan ….” Suara lelaki itu serak, penuh isak tangis, tapi tak ada belas kasihan dari tentara yang berdiri di atas penderitaannya. Semua yang ada di matanya adalah kegembiraan, seolah hiburan yang tiada habisnya.
-II-
Beberapa hari setelah Dava menyelamatkan Lisa, mereka jadi teman dekat yang sering bertemu untuk membicarakan hal-hal yang mengganggu pikiran mereka—terutama tentang Gunung Trawang. Meski pertemuan mereka semula tak lebih dari sekadar berbagi cerita. Semakin mereka mendalami misteri yang meliputi pulau itu, semakin jelas ada sesuatu yang mengikat mereka dengan masa lalu kelam terowongan di bawah gunung. Dengan kerja sama, mereka berharap bisa memecahkan teka-teki yang menghantui.