Sore hari ketika mentari sejengkal lagi menenggelamkan diri di ujung cakrawala, Dava mencoba mengunjungi klinik untuk bertemu dengan Dokter Jun. Kali ini, ia tidak bersama Roni, melainkan bersama perempuan berhidung lancip, Lisa. Namun, saat sampai di klinik, mereka tidak menemukan Dokter Jun. Kata salah seorang pekerja—asisten dokter itu—Jun izin untuk tidak masuk karena alasan mendesak yang tidak bisa ia ceritakan kepada siapa pun.
Hal itu menyeret Dava dan Lisa menuju terowongan di Gunung Trawang. Untuk kedua kalinya, Dava menelusuri terowongan. Lisa menyalakan senter dan menyorotkannya ke sekeliling sambil terus berjalan. Keduanya sampai di jalan bercabang yang membentuk huruf “Y”. Sebelumnya, Dava pernah mengambil jalan ke arah kanan, tetapi kini ia memutuskan mengambil jalan ke kiri.
“Kenapa harus ke kiri? Kenapa enggak ngambil jalan ke kanan?” tanya Lisa sambil memperhatikan langkahnya.
“Sebelumnya aku pernah mengambil jalan ke kanan sama Roni. Aku penasaran dengan jalan ini, kayaknya bau bangkai yang menyengat berasal dari sini,” jelas Dava.
Lisa hanya mengangguk mengerti. Beberapa waktu kemudian, ia menemukan sebuah lubang pada dinding terowongan di sebelah kanan. Ia menyenteri, menatapnya dengan teliti.
Dava yang sudah melangkah lebih jauh, lantas menyadari Lisa yang berhenti mengikuti di belakangnya. Ia membalikkan badan. “Ada apa?”
Lisa tidak menjawab, lalu memasukkan tangannya ke lubang sambil meraba-raba. Ketika merasa ada sesuatu di dalamnya, perempuan berwajah tirus itu bersitatap dengan Dava. Di dalamnya ada semacam benda. Ia mencoba menekan benda itu. Lisa pun tahu bahwa benda yang ia rasakan di dalam lubang adalah sebuah tombol.
Lisa berhasil menekan tombol, sehingga sebuah pintu merapat di bawah kaki Dava terbuka. Pasir-pasir yang menutupi pintu logam berjatuhan ke sebuah kotak yang mirip dengan lift. Mata Dava menatap ke bawah dengan lamat. Belum sempat menghindar, lelaki itu terjerumus ke benda kotak di bawahnya.
“Dav! Dava!” Lisa berlari demi mencoba mengeluarkan Dava. Akan tetapi, pintunya segera tertutup. Lift pun akhirnya membawa Dava ke suatu tempat yang luas. Sebuah ruangan di dalam terowongan.
Dava beranjak bangun, keluar dari lift. Matanya mengedar ke sekeliling. Di ruangan itu ada sebuah meja, lengkap dengan dua laci. Kemudian ada sebuah tali yang menggantung dari sebuah kayu di atas. Bercak noda darah menempel di sekitar dinding. Tangan Dava meraba noda darah yang belum sepenuhnya kering, hingga memutuskan untuk menciumnya.
Tidak hanya itu. Ada sebuah pintu yang terbuat dari logam di sebelah timur dekat dengan meja, yang menimbulkan rasa penasaran di benak lelaki itu.
“Pintu?”
Ia mulai menjejakkan langkah mendekat ke pintu. Digenggamnya kenop, perlahan ia putar. Pintu terbuka dengan pelan dan menghasilkan bunyi “ngeek”. Jelas sudah bahwa bau anyir yang menyengat berasal dari ruangan yang luasnya hanya 6x7 meter.
Dada Dava berontak serta napasnya terengah-engah. Ia gugup dan takut melihat apa sebenarnya yang ada dalam ruangan. Namun, demi mengobati rasa penasarannya yang sudah memaksa sejak tadi, maka ia siap membuka pintu lebar-lebar. Apa yang ada di dalamnya?
Bangkai manusia berserakan. Lebih buruknya lagi, ribuan ulat belatung telah menyerbu bangkai-bangkai itu. Lalat-lalat berpesta pora menikmati santapan lezatnya. Justru menjijikkan bagi Dava hingga lelaki itu muntah di tempat. Bangkai para manusia. Kepala mereka terpisah dari tubuh. Perut yang dibedah sehingga usus pun berserakan.
Kepala lelaki berbadan kekar itu mulai terasa berat dan sakit. Bayangan-bayangan mengerikan mulai hadir pada imaji.