Sore itu, saat matahari hampir tenggelam di ujung cakrawala, Dava memutuskan pergi ke klinik dan mencari Dokter Jun. Kali ini, ia tidak ditemani Roni, melainkan Lisa, perempuan berhidung lancip yang sudah cukup lama jadi temannya. Sesampainya di klinik, mereka mendapati dokter yang mereka cari tidak ada di tempat. Seorang asisten dokter memberi tahu mereka bahwa Jun tidak masuk hari itu, karena alasan mendesak yang tak bisa dijelaskan lebih lanjut.
Kegagalan mereka menemukan Jun justru membawa Dava dan Lisa lebih jauh ke dalam misteri yang belum terpecahkan. Keduanya menuju Gunung Trawang, tempat yang sudah sangat familiar bagi Dava. Dengan langkah hati-hati, mereka mulai memasuki terowongan yang pernah Dava jelajahi sebelumnya. Lisa membawa senter dan menyorotkannya ke sekeliling sambil terus berjalan, setiap langkah penuh kewaspadaan.
Di tengah perjalanan, mereka sampai di persimpangan jalan bercabang membentuk huruf “Y”. Dava mengingat jalan yang pernah ia lewati bersama Roni, yang mengarah ke kanan, tapi kali ini ia memutuskan menjelajahi jalan ke kiri.
“Kenapa harus ke kiri? Kenapa nggak ke kanan aja?” tanya Lisa sambil terus berjalan, matanya tertuju pada jalan yang mereka ambil.
“Sebelumnya aku sudah lewat jalan ke kanan sama Roni. Aku penasaran, sepertinya bau bangkai yang kita cium itu berasal dari sini,” jawab Dava, suaranya penuh rasa ingin tahu.
Lisa mengangguk pelan, menanggapi penjelasan Dava tanpa banyak kata. Mereka terus melangkah, hingga beberapa waktu kemudian, Lisa tiba-tiba berhenti dan menyinari dinding terowongan di sebelah kanan. Sebuah lubang kecil tampak di sana, menarik perhatian Lisa.
Dava yang sudah melangkah lebih jauh, merasa Lisa tidak mengikuti lagi. Ia pun membalikkan tubuhnya, penasaran. “Ada apa?” tanyanya.
Lisa tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap lubang itu sejenak sebelum memasukkan tangannya ke dalamnya, meraba-raba sesuatu di dalamnya. Ketika ia merasakan ada sesuatu yang aneh, Lisa menatap Dava dengan tatapan penuh teka-teki.
Dava mendekat dan mengamati. Lisa kemudian menekan sesuatu di dalam lubang itu, dan tak lama setelahnya, sebuah pintu logam terbuka di bawah kaki Dava. Pasir-pasir yang sebelumnya menutupi pintu itu mulai jatuh, memunculkan kotak semacam lift yang tersembunyi di bawahnya. Dava menatap kotak itu dengan saksama, tapi belum sempat menghindar, ia terperosok ke dalam kotak tersebut, terjerumus tanpa bisa berbuat apa-apa.
“Dav! Dava!” Lisa berlari dengan panik, berusaha meraih Dava, tapi pintu lift segera menutup rapat. Tak ada yang bisa ia lakukan. Lift itu pun mulai bergerak, membawa Dava ke suatu tempat. Ketika pintu lift terbuka, Dava segera bangkit, merasakan pusing, tapi tak ingin berlama-lama di dalam kotak logam itu. Ia keluar dan mulai memeriksa sekeliling ruangan yang luas.
Ruangan itu gelap dan terasa dingin. Sebuah meja terletak di tengah, lengkap dengan dua laci di sisi kiri dan kanannya. Di atasnya, sebuah tali tergantung dari kayu yang melintang di langit-langit. Dinding-dinding ruangan itu penuh bercak noda darah, beberapa di antaranya masih belum sepenuhnya kering. Dava meraba salah satu noda itu dengan jarinya, kemudian tanpa sadar menciumnya. Ada sesuatu yang aneh dengan bau itu, dan rasanya sangat familiar, meski Dava tidak tahu mengapa.
Di sebelah timur ruangan, dekat meja, sebuah pintu logam menarik perhatiannya. Tanpa pikir panjang, ia berjalan mendekat. Menggenggam kenop pintu, ia memutarnya perlahan. Pintu itu terbuka dengan suara berderit yang tajam. Begitu pintu terbuka sepenuhnya, bau busuk yang menyengat langsung menyeruak ke dalam hidung Dava. Jantungnya berdegup lebih cepat.
Dava menarik napas panjang, perasaan gugup dan takut mulai merasuki tubuhnya. Namun, rasa penasarannya yang tak tertahankan memaksanya melangkah lebih jauh, membuka pintu lebih lebar lagi. Begitu ia menatap ke dalam, ia terkejut dengan apa yang dilihatnya.
Bangkai manusia berserakan di dalam ruangan yang sempit. Lebih buruk lagi, ribuan ulat belatung telah menguasai bangkai-bangkai itu. Lalat-lalat tampak berpesta pora, tak peduli dengan kehadiran Dava. Sungguh pemandangan yang mengerikan—kepala-kepala yang terpisah dari tubuh, perut yang terbelah dengan usus-usus terurai di sana-sini. Bau anyir semakin menyengat dan membuat Dava merasa mual. Tanpa bisa menahan diri, ia terpaksa muntah di tempat.
Rasa sakit yang mendalam mulai menjalar di kepalanya. Bayangan-bayangan mengerikan mulai memenuhi pikirannya. Rasa tercekik dan kesemutan menyerang sekujur tubuhnya.
“Argh!” teriak Dava sambil memegangi kepalanya, yang kini terasa seperti tersengat listrik bertegangan tinggi.
Tiba-tiba, bayangan itu muncul di hadapannya. Dalam penerawangan yang samar, ia melihat seorang pria mengenakan jas putih bersama beberapa pekerjanya tengah melakukan operasi bedah pada tubuh manusia. Satu per satu, mereka membuka perut tawanan, mengeluarkan usus mereka dengan kejam. Seseorang mulai berteriak, mencoba melawan dengan sekuat tenaga.