TRAWANG

Marion D'rossi
Chapter #11

Kecurigaan

Dengan langkah terburu-buru, Dava memasuki klinik dan tanpa ragu membuka pintu ruangan Dokter Jun. Sesaat, ia terkejut menemukan dokter itu berada di dalam, tampak sedang sibuk dengan beberapa berkas di atas meja. Ketika suara pintu dibuka paksa, Jun terkejut dan langsung bertanya, “Ada apa ini?”

Tanpa pikir panjang, Dava melangkah maju, meraih kerah kemeja Jun, dan meremasnya dengan kuat. Ia menariknya hingga kepala Jun hampir menempel dengan meja. “Jangan banyak omong, Dok! Saya sudah muak dengan semua sikap Anda yang seakan-akan nggak tahu apa-apa soal Gunung Trawang,” ujar Dava, suaranya bergetar penuh amarah.

Jun terlihat bingung, sementara alisnya berkerut. Ia mencoba mencerna kata-kata Dava, tetapi kebingungannya semakin menjadi, sehingga ia bertanya lagi, “Apa maksud kamu, Dava?”

“Maksud saya, apa yang Anda lakukan dengan mayat orang-orang yang mati di tangan makhluk-makhluk itu?” Dava semakin memperkuat cengkeramannya pada kerah kemeja Jun, hampir membuatnya sobek.

“D-Dav, sabar ....” Roni yang sejak tadi mengikuti langkah Dava akhirnya angkat bicara. Ia merasa cemas melihat amarah sahabatnya yang meluap-luap, tampak seperti gunung berapi yang siap meletus. “Sabar, Dav,” ucapnya dengan suara yang sedikit gemetar.

“Diam, Ron. Kamu lihat aja dan jadi saksi,” jawab Dava dengan tegas, tidak mengalihkan pandangannya dari Jun.

Jun menggelengkan kepala, wajahnya terlihat semakin kebingungan. “Sebentar. Saya nggak mengerti apa yang kamu maksud, Dava. Mayat? Makhluk? Saya bahkan nggak pernah berkeliaran di pulau ini,” jawabnya, berusaha meyakinkan Dava.

“Jangan anggap kami bodoh, Dok!” Dava menggeram. “Jangan coba permainkan kami. Jelas-jelas Anda menyeret mayat pria itu. Malam itu, kami lihat dengan mata kepala kami sendiri. Anda menyeretnya masuk ke terowongan di Gunung Trawang.”

“S-Saya benar-benar ....” Mencoba mempertahankan pembelaannya, tetapi kata-kata Jun terhenti.

“Mengaku aja, Dok!” Dava semakin mendesak. “Saya sudah melihatnya berkali-kali. Saya tahu yang saya lihat. Itu memang Anda!”

Roni tampaknya mulai sadar akan sesuatu. Dia berbisik pelan, “Aneh, Dav. Dokter Jun nggak mungkin bohong kalau dia nggak tahu apa-apa. Lihat aja wajahnya, ketakutan banget sama kamu.”

Dava menatap Jun dengan saksama. Raut wajah dokter itu benar-benar menunjukkan ketakutan yang tulus—keringat dingin mengalir di leher dan keningnya. Jika memang benar dia terlibat dalam semua itu, seharusnya wajahnya tidak menunjukkan ketakutan seperti itu. Atau mungkin, ketakutan ini hanya cara Jun menyembunyikan kenyataan bahwa dialah sebenarnya otak dari segala peristiwa aneh yang terjadi di Gunung Trawang.

Semakin lama Dava menatap Jun, semakin ia merasakan empati. Dalam sekejap, amarahnya mulai mereda, dan perlahan ia melepaskan cengkeramannya dari kerah kemeja Jun. Ia masih belum tahu apa yang sebenarnya terjadi, tetapi hatinya yang semula penuh kebencian kini mulai diliputi rasa kasihan yang sulit dihindari.

Jun menghela napas berkali-kali, dan di embusan terakhirnya, terdengar jelas rasa lega yang ia coba sembunyikan.

“Maaf, saya terbawa emosi,” kata Dava pelan, kemudian duduk di kursi yang ada di dekat meja. Ia merasa sedikit menyesal karena sudah membiarkan amarahnya menguasai.

Jun berdeham, merapikan pakaian dan dasinya dengan tenang. "Baik, Dava. Bisa jelaskan maksud tuduhan kamu tadi?" tanyanya, suaranya datar, tapi terdengar serius.

Roni yang sejak tadi berdiri di samping Dava, akhirnya duduk di sebelahnya. Ia merasa sedikit cemas, tapi lebih memilih membiarkan Dava bicara. Namun, sebelum Dava sempat membuka mulut, Roni lebih dulu mengambil alih. "Beberapa minggu lalu, kami melihat seseorang yang sangat mirip dengan Anda menyeret mayat ke dalam terowongan di Gunung Trawang, Dok," ucapnya dengan tenang.

Dava ikut menjelaskan dengan rinci mengenai apa yang telah mereka lihat dan rasakan, serta tuduhan yang mereka bawa kepada Jun. Mereka menceritakan kejadian-kejadian yang tampaknya tak bisa dijelaskan begitu saja. Namun, Jun tetap tenang dan mendengarkan dengan saksama, meskipun perasaan cemas terlihat di wajahnya.

 

Sementara itu, di tempat yang jauh dari sana, tepatnya di sebuah kos sederhana, Lisa duduk termenung. Pikirannya penuh dengan potongan-potongan gambaran yang pernah ia dapatkan dalam penerawangan. Semua itu seperti puzzle yang tak kunjung tersusun rapi. Ia mencoba menghubungkan semua kejadian itu, mencari titik temu yang bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

“Dokter. Surat kuno. Jepang. Masa penjajahan. Peneliti … an?” gumam Lisa pelan, menyusun pemikiran yang terpecah-pecah. Tiba-tiba ia terdiam. Semua potongan itu seolah mengarah pada satu hal yang sama: sesuatu yang terjadi di masa lalu, yang menyangkut penelitian—penelitian yang melibatkan manusia sebagai objeknya.

Lisa merenung lebih dalam, merasa bahwa penerawangan yang didapatkan Dava seharusnya berkaitan dengan satu hal utama. Mengapa orang-orang dijadikan tawanan? Kalau hanya untuk dijajah atau dipaksa bekerja, kenapa akhirnya kepala mereka dipenggal? Lalu, di terowongan itu, bangkai-bangkai manusia berserakan, begitu banyaknya. Apa makna semua ini?

Lihat selengkapnya