Dengan langkah tergesa, Dava memasuki klinik dan membuka pintu ruangan Dokter Jun. Tangkapan bagus bahwa dokter itu ternyata ada di dalam ruangan. Ia terkejut mendengar suara pintu didobrak paksa oleh Dava, lantas bertanya, “Ada apa ini?”
Dengan segera dan tanpa pikir panjang, Dava meraih kerah kemeja Jun, meremasnya dengan keras serta menariknya hingga kepala Jun mepet dengan meja. “Jangan banyak bacot, Dok! Saya sudah muak dengan tingkah Anda yang seakan nggak tahu soal Gunung Trawang.”
Jun bingung dan mengernyitkan dahi. Ia mencoba mencerna kata-kata Dava, tetapi tentu saja ia sama sekali tidak mengerti dan bertanya kembali. “Apa maksud kamu, Dava?”
“Maksud saya, apa yang Anda lakukan dengan mayat orang-orang yang mati oleh makhluk-makhluk itu?” Dava semakin keras meremas kerah kemeja Jun hingga sedikit sobek.
“D-Dav. Sabar, Dav.” Roni mulai angkat bicara yang sedari tadi mengikuti saja di belakang Dava. Ia takut betul melihat amarah sahabatnya itu meluap-luap bagai gunung merapi yang siap meletus.
“Diam, Ron. Kamu lihat aja dan jadi saksi.”
“Sebentar. Saya tidak mengerti apa yang kamu maksud, Dava. Mayat? Makhluk? Saya bahkan tidak pernah berkeliaran di pulau ini.”
“Anda pikir kami buta, Dok? Jangan permainkan kami. Jelas-jelas Anda menyeret mayat pria itu. Malam itu, kami saksikan dengan mata kepala kami sendiri. Anda menyeretnya masuk ke terowongan di Gunung Trawang.”
“S-Saya benar-benar tidak ...”
“Mengaku aja, Dok! Saya sudah membuktikannya beberapa kali bahwa yang saya lihat benar-benar Anda.”
“Dav!” bisik Roni yang tampaknya menyadari sesuatu. “Aneh, Dav. Dokter Jun nggak mungkin bohong kalau dia nggak tahu apa-apa. Lihat aja mukanya, ketakutan banget sama kamu.”
Dava memperhatikan raut wajah Jun yang menahan takut. Keringat dingin membasahi leher dan keningnya. Jika memang benar ia yang melakukannya, pasti tidak akan menunjukkan wajah seperti itu terhadap Dava. Atau mungkin raut wajahnya ia buat-buat saja untuk menyembunyikan fakta bahwa dialah dalang dari serangkaian peristiwa aneh di Gunung Trawang.
Semakin lamat Dava memperhatikan wajah Jun, semakin kasihan ia dan semakin luluh hatinya hingga akhir melepaskan cengkeramannya dari kerah kemeja sang dokter.
Jun menghela napas berkali-kali, hingga yang terakhir kali adalah embusan lega.
“Maaf, saya terbawa emosi,” kata Dava dengan pelan, kemudian duduk pada kursi.
Jun berdeham, merapikan pakaian dan dasinya. “Baik. Apa bisa kamu jelaskan kepada saya maksud dari tuduhan kamu tadi?”
Roni duduk di sebelah Dava. Sementara Dava mempersiapkan diri, Roni mendahului. “Beberapa minggu yang lalu, kami memang melihat seseorang yang sangat persis seperti Anda menyeret mayat ke terowongan di Gunung Trawang, Dok.”
Dava dan Roni menjelaskan dengan rinci tuduhannya kepada Jun yang tentu saja memiliki alasan kuat selama ini.
Akan tetapi, di lain tempat, tepatnya di sebuah kos sederhana, Lisa menunduk sambil merenungi potongan-potongan gambaran yang pernah ia dapatkan. Ia mencoba menghubungkannya dengan semua penerawangan yang didapatkan oleh Dava.
“Dokter. Surat kuno. Jepang. Masa penjajahan. Peneliti … an?”