TRAWANG

Marion D'rossi
Chapter #12

Terowongan Pekat

Sebuah palu, linggis, dan beberapa alat yang mungkin dapat membantu lainnya dimasukkan dalam sebuah tas hitam. Sementara Roni sibuk dengan peralatan, Dava dan Lisa membentangkan peta di atas meja.

“Berarti ini tanda silang maksudnya sebelum pintu masuk ke terowongan, Dav. Tapi aneh, apakah ada pintu menuju ke sana?” Lisa berkomentar.

“Hmm. Dari yang aku lihat, sih, ini seharusnya ada di tanah.” Dava menunjuk tanda silang pada peta.

“Maksudmu pintu masuknya ada di tanah? Begitu?”

“Iya, seperti itu. Coba deh perhatikan dengan benar. Karena kalau pintu masuknya ada di dekat pintu masuk terowongan yang biasanya, tanda silangnya nggak mungkin ada di sini.”

“Kalau gitu kita emang butuh linggis dan palu. Siapa tahu aja kan pintunya susah kebuka,” komentar Roni dan memperhatikan peta.

“Betul.”

Akhirnya, tepat pada pukul 12.00 malam ketiga insan itu menuju Gunung Trawang sesuai dengan rencana kemarin.

“Eh, kamu lihat-lihat jalan, deh. Aku takutnya ada orang lewat dan nyangka kita melakukan sesuatu yang aneh,” perintah Dava pada Roni sambil mengeluarkan linggis berukuran kecil dari dalam tas hitam sahabatnya.

“Oke, deh.”

“Lisa, kamu ikut aku,” lanjut Dava yang kemudian memeriksa tanah di sekitar pintu masuk terowongan.

“Bagaimana kalau di sini, Dav. Iya, tepat di sebelah situ.”

Dava langsung mengangkat linggis tinggi-tinggi dan melunakkan tanah di sekitarnya, membuat lubang kotak setengah meter kali setengah meter serta sedalam 20 sentimeter.

“Bagaimana, Dav?” tanya Lisa tak sabar.

“Kayaknya bukan di sini, Sa,” jawab lelaki itu sambil terengah-engah dan menyapu keringat di kening. “Kalau emang di sini, pintu itu nggak akan tertutup dalam sekali.”

“Oke. Gimana kalau di sini, tepat di tempat pijakan kakiku ini,” saran Lisa kemudian.

Tanpa menutup lubang yang sudah dibuatnya, Dava bergeser dan mengayunkan linggis tempat kaki Lisa berpijak tadi. Ternyata benar, hanya dengan sekali ayunan saja, suara linggis sudah bukan seperti mengenai tanah ataupun pasir.

“Kayaknya emang di sini.”

Dava semakin cepat membuat lubang dan menemukan pintu persegi menuju lorong bawah tanah. Sayangnya, pintu itu digembok dengan logam yang tampak sangat paten. Lisa memeriksa gembok yang bertuliskan huruf Jepang (Kanji).

“Ini sepertinya benar sudah sangat kuno.”

“Ron!” teriak Dava memanggil sahabatnya yang tengah berjaga-jaga di luar pekarangan gunung. “Bantuin aku, Ron.”

“Oke.” Roni mengambil palu dalam tas dan berpikir bahwa gembok logam peninggalan sejarah itu dapat hancur dengan mudah.

Sayang sungguh sayang, bukan gembok yang hancur, tetapi linggis yang digunakan Dava rusak dan menjadi sedikit tumpul.

“Aduh, ini nggak akan berhasil. Capek.”

Ketiganya mengambil napas sejenak seraya memperhatikan gembok yang tak kunjung hancur.

“Kamu kenapa, Sa?” tanya Roni yang melihat raut wajah Lisa tiba-tiba berubah serius. Ia tampak sedang berpikir keras akan sesuatu.

“Dav, kamu dapat petanya di dalam ruangan terowongan, kan?”

Lihat selengkapnya