Sebuah palu, linggis, dan beberapa alat lain yang mungkin berguna dimasukkan dengan cepat ke dalam tas hitam. Sementara Roni sibuk memastikan alat-alat tersebut, Dava dan Lisa membentangkan peta yang ditemukan Dava beberapa waktu lalu di atas meja, memeriksanya dengan saksama.
“Berarti tanda silang ini menunjukkan lokasi sebelum pintu masuk ke terowongan. Tapi aneh, apa ada pintu menuju ke sana?” Lisa berkomentar, sedikit bingung.
Dava menyandarkan siku di meja dan menatap peta dengan serius. “Hmm. Dari yang aku lihat, seharusnya pintu itu ada di tanah.” Dava menunjuk tanda silang pada peta, mengonfirmasi dugaan awalnya.
“Maksudmu pintu masuknya ada di tanah? Begitu?” Lisa bertanya, masih mencoba memahami maksud Dava.
“Iya, begitu. Coba deh perhatikan lagi. Kalau pintu masuknya ada di dekat pintu masuk terowongan yang biasa, tanda silang ini nggak mungkin ada di sini,” jelas Dava, menunjukkan ketegasan.
“Kalau gitu kita memang butuh linggis dan palu. Siapa tahu aja pintunya susah dibuka,” komentar Roni, yang sejak tadi mengamati peta dan peralatan di tangannya.
“Betul.” Dava mengangguk, menyetujui pendapat Roni.
Jam menunjukkan pukul 12.00 malam, dan ketiga sahabat itu mulai bergerak menuju Gunung Trawang sesuai rencana mereka. Keheningan malam menyelimuti, hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar.
“Eh, kamu lihat-lihat jalan, deh. Aku takutnya ada orang lewat dan nyangka kita lagi ngelakuin hal aneh.” Dava memberi perintah pada Roni sambil mengeluarkan linggis kecil dari dalam tas hitam.
“Oke, deh,” jawab Roni dengan cepat, melirik sekelilingnya dengan hati-hati.
“Lisa, kamu ikut aku,” lanjut Dava, yang segera melangkah mendekati area sekitar pintu masuk terowongan. Ia mulai memeriksa tanah dengan saksama, mencari tanda-tanda yang mungkin terlewatkan.
“Gimana kalau di sini? Tepat di sebelah sini,” kata Lisa, menunjuk tanah yang tampak sedikit berbeda.
Tanpa ragu, Dava mengangkat linggis tinggi-tinggi dan mulai bekerja. Dengan gerakan hati-hati, tapi penuh kekuatan, ia melunakkan tanah di sekitar area tersebut, menggali lubang kotak setengah meter kali setengah meter, dengan kedalaman sekitar 20 sentimeter. Proses itu berlangsung dengan perlahan, meskipun kegelisahan semakin menggelayuti ketiganya seiring berjalannya waktu.
“Gimana, Dav?” tanya Lisa, suaranya penuh ketegangan.
“Kayaknya bukan di sini,” jawab Dava sambil terengah-engah, keringat menetes dari keningnya.
“Oke. Gimana kalau di sini, tepat di tempat pijakan kakiku ini?” saran Lisa, menunjuk sebuah titik di tanah yang tampaknya sedikit berbeda.
Tanpa menutup lubang yang sudah digali, Dava bergeser ke posisi yang ditunjuk Lisa dan mengayunkan linggis ke tanah. Begitu linggis itu mengenai titik yang dimaksud, suara yang dihasilkan bukanlah suara tanah atau pasir. Sebaliknya, suara keras yang terdengar menandakan sesuatu yang lebih keras.
“Kayaknya emang di sini,” ujar Dava dengan penuh keyakinan.
Dia semakin cepat menggali, dan akhirnya menemukan pintu persegi tersembunyi, menuju lorong bawah tanah. Sayangnya, pintu itu terkunci gembok logam yang sangat kokoh. Lisa segera memeriksa gembok tersebut.
“Ini sepertinya sudah sangat kuno,” ujarnya dengan cemas.
“Ron!” teriak Dava memanggil sahabatnya yang tengah berjaga di luar. “Bantuin aku, Ron!”
“Oke,” jawab Roni yang segera mengambil palu dari dalam tas dan mendekat.
Dia berharap gembok logam yang tampak seperti peninggalan sejarah itu bisa dihancurkan dengan mudah. Namun, begitu palu menghantam, yang hancur bukan gemboknya, melainkan linggis yang digunakan Dava. Linggis itu kini tampak tumpul dan tidak lagi efektif.
“Aduh, ini nggak bakal berhasil. Capek banget,” keluh Dava.
Ketiganya berhenti sejenak, menatap gembok yang masih utuh.
“Kamu kenapa?” tanya Roni, memperhatikan perubahan raut wajah Lisa yang tiba-tiba serius, seolah sedang berpikir keras.
“Dav, kamu dapetin petanya di dalam ruangan terowongan, kan?” tanya Lisa.