TRAWANG

Marion D'rossi
Chapter #13

Angin Misterius

Dava yang sempat pingsan akhirnya membuka mata, sadar setelah beberapa kali Roni menepuk wajahnya dengan lembut. Ia mengerang pelan, lalu perlahan bangkit sambil memegangi kepalanya yang masih terasa nyut-nyutan akibat jatuh dari tangga. Pandangannya menyapu ke sekeliling, mencoba menyesuaikan diri dengan kegelapan yang hanya diterangi cahaya senter di kepala mereka bertiga. Suasana terasa begitu sunyi dan mencekam.

“Dav, kamu nggak apa-apa?” tanya Lisa, nadanya penuh kecemasan. Ia menatap lelaki berambut panjang itu dengan raut khawatir.

“Iya, nggak apa-apa. Kepalaku cuma sedikit pusing,” jawab Dava, meskipun nada suaranya terdengar lemah.

“Sebaiknya kita cepat. Perasaanku nggak enak,” sahut Roni, sambil mengusap lengan yang berkali-kali merinding. Ia melirik ke sekeliling dengan gelisah.

“Ini tinggal lurus aja, kan? Nggak ada jalan bercabang?” tanya Dava, memastikan arah yang harus mereka ambil.

“Sepertinya begitu,” balas Lisa, meskipun wajahnya menunjukkan sedikit keraguan.

Dava merogoh saku celana jinsnya dan mengeluarkan peta yang mereka temukan sebelumnya. Ia membentangkannya dengan hati-hati agar Lisa dan Roni bisa ikut melihat.

“Benar, nih. Kita tinggal lurus aja ke depan. Menurut peta ini, nanti kita akan menemukan pintu yang menuju tempat tujuan,” kata Lisa, mencoba memperjelas arah.

Ketiganya mulai melangkah perlahan, membiarkan suara langkah mereka menggema di lorong bawah tanah yang panjang dan sempit. Keputusan ini bukan hanya tentang menyelesaikan misteri, tetapi juga membuktikan apa yang sebenarnya terjadi di Gunung Trawang—apakah ini ulah hantu atau sesuatu yang jauh lebih mengerikan.

Di sepanjang lorong, pemandangan yang mereka temui semakin membuat bulu kuduk berdiri. Bangkai manusia bertebaran di sana-sini, tubuh-tubuh yang sudah habis dimangsa belatung dan serangga pemakan bangkai. Bau busuk menyeruak tanpa ampun, menyengat lubang hidung mereka hingga terpaksa menutupinya dengan kain seadanya.

“Di sana … lihat itu. Sepertinya mayat perempuan,” ujar Roni dengan suara gemetar, senter di tangannya mengarah pada sosok mengerikan di pojok lorong.

Cahaya senter menyorot tengkorak yang telah terkelupas, tulang belulangnya digerogoti berbagai serangga kecil yang merayap di sekitarnya. Roni menelan ludah dengan susah payah, sementara Lisa memalingkan wajah, berusaha menahan mual.

“Semakin kita ke depan, semakin parah,” gumam Dava, matanya tidak lepas dari lorong gelap yang terus membentang di depan mereka. Ada rasa takut, tapi juga tekad untuk tidak berhenti. Apa pun yang ada di ujung lorong ini, mereka harus mengetahuinya.

“Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Kalau mayat-mayat ini masih ada, berarti kejadiannya belum terlalu lama. Namun, ulah siapa sebenarnya ini?” gumam Dava, nadanya penuh tanda tanya.

Pertanyaan itu menggantung di udara tanpa jawaban. Lisa dan Roni hanya terdiam, sama-sama terjebak dalam kebingungan dan rasa penasaran yang membebani pikiran mereka. Misteri yang mereka hadapi terlalu gelap untuk dijelaskan, tapi mereka tahu ada sesuatu yang mengerikan terjadi di tempat ini.

Beberapa meter dari tangga, mereka mendapati jeruji besi yang terpasang di dinding-dinding terowongan. Di balik jeruji itu, terlihat tumpukan tengkorak dan tulang belulang yang berserakan. Rambut panjang yang kusut dan sebagian sudah rontok tampak melilit tengkorak-tengkorak itu, memberi kesan bahwa mereka mungkin perempuan. Dari ukuran beberapa tengkorak yang lebih kecil, Dava menduga itu adalah anak-anak. Mungkin seorang ibu dan anak perempuannya.

“Sepertinya ini ... keluarga,” bisik Dava, lebih kepada dirinya sendiri, mencoba menyusun potongan-potongan yang tidak utuh dari pemandangan menyeramkan itu.

Ketiganya melangkah dengan lebih hati-hati, memindai setiap sudut lorong dengan senter. Tiba-tiba, suara sayup-sayup terdengar, seperti bisikan yang datang dari segala arah. Suara itu membuat mereka membeku sejenak, jantung berdebar lebih cepat. Secara refleks, mereka menyorotkan cahaya senter ke sekeliling, tapi tidak ada apa-apa.

“Dav … aku dengar sesuatu,” bisik Lisa, suaranya hampir tidak terdengar.

“Tenang. Mungkin itu hanya gema suara kita sendiri,” jawab Dava mencoba menenangkan, meski dirinya sendiri tidak yakin.

Namun, tubuh Lisa mulai gemetar. Dia tampak sudah berada di ambang batas. Perlahan-lahan, ia mendekatkan diri ke Dava, matanya penuh rasa takut. Tanpa pikir panjang, ia meraih bahu Dava, mencoba mencari perlindungan.

“Kamu kenapa?” tanya Dava, menoleh dengan heran.

Lihat selengkapnya