Kerusuhan meletus di terowongan bawah tanah, menciptakan kekacauan yang tak terbendung. Para tawanan, yang sebagian besar adalah pria paruh baya, akhirnya memberontak setelah bertahun-tahun menahan derita. Emosi dan keputusasaan mereka telah mencapai puncaknya. Dengan keberanian yang muncul dari rasa putus asa, mereka menyerang para tentara Jepang. Beberapa tentara tewas di tangan mereka, sementara yang lain mencoba melawan balik.
Jeruji besi yang jadi penjara mereka dihantam keras oleh tawanan yang lain. Tangan-tangan kasar menendang dan memukul jeruji, berharap kebebasan ada di ujung usaha mereka. Namun, jeruji itu terlalu kuat, tak bisa dirobohkan.
Melihat situasi semakin tak terkendali, para tentara Jepang segera mengambil tindakan brutal. Tanpa ragu, mereka mengangkat senjata dan menembakkan peluru ke arah para tawanan yang memberontak. Suara letusan senapan menggema di seluruh terowongan, disusul jeritan dan rintihan pilu. Tubuh-tubuh para tawanan terempas ke tanah, darah mengalir membasahi lantai yang lembap. Mereka yang masih hidup di dalam jeruji mendadak terdiam, diliputi ketakutan yang mencekam.
Seorang tentara berpangkat kapten maju ke depan. Matanya menyala dengan kemarahan yang membara. Ia menatap seorang pria paruh baya yang berdiri gemetar, tubuhnya menahan ketakutan setelah menyaksikan pembantaian yang keji itu.
“Bangsat! Berani melawan, kalian?! Siapa lagi yang mau menantangku?!” teriaknya penuh amarah.
Pria paruh baya itu hanya berdiri membeku, tak sanggup berkata apa-apa. Namun, sang kapten tidak berhenti di situ. Dengan langkah cepat, ia mendekati pria itu dan menghantam perutnya dengan lutut. Pria itu terjatuh, terbatuk, dan memuntahkan darah. Tubuhnya bergeliat kesakitan, mencoba bertahan hidup meski nyawanya sudah di ujung tanduk.
Kapten itu mendekat lagi, matanya penuh kebencian. “Mati kau!” teriaknya sambil menodongkan senjata ke kepala pria tersebut. Dalam hitungan detik, peluru meluncur cepat, mengakhiri nyawa sang tawanan.
Dava menyaksikan semua itu dalam diam. Tubuhnya bergetar, dan matanya menatap kosong pada pemandangan yang ada di depan. Ia bersimpuh, merasakan penderitaan dan ketidakadilan yang menimpa para tawanan.
Namun, penglihatannya belum berakhir. Seolah diseret ke bagian lain dari terowongan, Dava kini melihat ruangan berbeda. Di dalamnya terdapat beberapa pria yang mengenakan pakaian putih dan masker, tampak seperti dokter. Tetapi apa yang mereka lakukan jauh dari tindakan medis.
Salah satu pria berseragam putih itu berdiri di dekat seorang wanita paruh baya yang tubuhnya terbaring tak berdaya. Dengan ekspresi dingin, pria itu mengangkat pisau bedah dan memotong perut wanita tersebut. Dava menyaksikan dengan ngeri saat pria itu memasukkan granat ke dalam rongga perut sang wanita.
Dava membekap mulutnya, mencegah muntah yang hampir keluar. Pemandangan itu terlalu kejam, terlalu brutal. Meski tubuhnya ingin bereaksi, ia sadar dirinya hanyalah roh yang terperangkap dalam kilasan masa lalu.
Dengan napas terengah-engah, Dava menyadari bahwa semua ini bukan sekadar penglihatan. Ini petunjuk—mungkin juga peringatan—untuk sesuatu lebih besar yang menantinya di terowongan ini.
Setelah pria-pria berseragam putih itu selesai menjahit perut sang wanita, mereka meninggalkan ruangan dengan tergesa, menutup pintu rapat-rapat dan menguncinya dari luar. Dava, yang masih terjebak sebagai saksi tak kasatmata di ruangan itu, hanya bisa menatap kebingungan.
Apa sebenarnya yang sedang mereka lakukan? pikir Dava, seraya memandangi tubuh wanita malang itu yang mulai bergerak perlahan.
Wanita itu membuka matanya perlahan, terlihat bingung, tapi masih terlalu lemah untuk bereaksi lebih jauh. Dengan tubuh gontai, ia beranjak dari ranjang dan berjalan terhuyung-huyung menuju pintu. Tetapi baru beberapa langkah, tubuhnya tiba-tiba berhenti. Wajahnya menegang seakan menyadari sesuatu yang salah.
Sekejap kemudian, tubuh wanita itu mulai bergetar hebat. Dava menatap dengan mata melebar saat tubuh sang wanita perlahan terurai—kulitnya mengelupas, dagingnya meleleh, dan cairan merah pekat memancar dari setiap pori-porinya. Matanya mencelat keluar, pecah berkeping-keping, meninggalkan ruangan itu dalam kekacauan yang menjijikkan. Bau anyir dan pemandangan mengerikan itu membuat Dava terduduk lemas, tak mampu menahan gejolak di dalam dirinya.
“Biadab!” gumamnya pelan, tapi penuh kemarahan. Tubuhnya gemetar, air matanya mengalir deras, dan tangan-tangannya terkepal erat. Amarah bercampur keputusasaan memenuhi pikirannya.
Dava tidak punya pilihan selain terus menyaksikan. Percobaan demi percobaan keji lainnya dilakukan pria-pria berseragam putih itu di bagian lain terowongan. Korban-korban manusia terus dimanipulasi, disiksa, dan dihancurkan dengan cara yang tak terbayangkan. Setiap adegan hanya menambah sesak di dada Dava. Ia ingin sekali menghentikan semua ini, tetapi ia tak berdaya.