Hari itu, Dava dan Roni tiba di klinik dengan perasaan memuncak. Dava langsung mendekati Dokter Jun dengan langkah cepat, wajahnya merah karena amarah yang belum reda. Tanpa ampun, ia meremas kerah kemeja putih sang dokter, membuat Jun terkejut. Pria berotot itu tak memberinya kesempatan bicara.
“Bagaimana bisa saya pergi ke Gunung Trawang, sementara saya baru saja kembali dari pelatihan di Jakarta?” ujar Dokter Jun terbata-bata, mencoba menghindari tatapan tajam Dava yang penuh tuduhan. “Dava, saya tidak berbohong. Saya baru saja sampai hari ini, dan langsung ke klinik.”
Dava semakin emosi. “Dok, apa Anda kira kami bodoh? Kami jelas melihat Anda di Gunung Trawang, melihat Anda diam saja saat seseorang terbunuh di depan mata kami?!” Suaranya meninggi, tangannya masih erat pada kerah dokter itu.
Roni yang berdiri di samping Dava mencoba menenangkan keadaan. “Dav, udah. Jangan emosi begitu. Beri kesempatan pada Dokter Jun untuk menjelaskan,” kata Roni dengan suara pelan, berusaha menenangkan sahabatnya yang hampir kehilangan kendali.
Setelah beberapa saat, Dava akhirnya melepaskan cengkeramannya dari kerah dokter, meskipun wajahnya masih penuh amarah. “Jelaskan! Saya butuh penjelasan yang masuk akal!” tuntut Dava dengan nada tegas, matanya menatap Dokter Jun penuh harap dan curiga.
“Baik, akan saya jelaskan,” ujar Dokter Jun, merapikan kemejanya yang kusut akibat cengkeraman keras Dava. “Beberapa minggu yang lalu, saya pergi pelatihan ke Jakarta, dan hari ini saya baru saja pulang—”
“Bohong!” Dava membentak dengan suara keras, mengepalkan tangan dan menggebrak meja dengan penuh emosi. “Beberapa minggu yang lalu? Bahkan beberapa hari lalu Anda ada di sini, Dok! Jangan bohongi saya! Saya meminta penjelasan yang logis, bukan—”
“Maaf, Dava. Baik, akan saya jelaskan,” potong Jun dengan suara tenang, meskipun wajahnya tampak sedikit cemas. Ia mencoba tetap tenang dan menghela napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Saya akhir-akhir ini merasa mengalami keanehan pada diri saya sendiri. Saya merasa seperti dipengaruhi halusinasi yang sangat kuat. Dalam dunia kedokteran, itu dinamakan Skizofrenia. Saya sering merasa berada di tempat berbeda, tetapi tiba-tiba saya lupa apa yang telah saya lakukan. Bahkan, saya pernah merasa melompati waktu tanpa menyadarinya,” jelas Jun terlihat penuh penyesalan.
“Lalu, apa hubungannya penjelasan Anda ini dengan apa yang kami lihat di Gunung Trawang waktu itu, hm?” Dava bertanya dengan tatapan tajam, masih merasa tak puas dengan penjelasan dokter itu.
“Jadi, maksud Anda ini semacam penyakit lupa pada hal-hal tertentu, ya, Dok? Atau bagaimana?” Roni ikut berbicara, mulai tertarik dengan penjelasan sang dokter.
“Penyakit mental seperti ini bisa menyebabkan penderita berperilaku menyimpang, bahkan bisa menciptakan kepribadian baru dalam diri mereka,” kata Jun, nadanya berat. “Jika memang benar apa yang kalian lihat di Gunung Trawang itu saya, maka saya merasa sangat ....”
Dokter Jun terdiam, suaranya serak. Ia tak bisa menahan air matanya, dan dengan cepat, bulir-bulir air mata itu mulai mengalir deras membasahi wajahnya. Dava merasa cemas, seakan emosinya yang meluap-luap tadi mulai berbalik jadi rasa bersalah.
Ketiganya terdiam dalam hening, Roni dan Dava tidak lagi bisa berkata-kata. Jun masih terlihat terisak, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Ia merasa sangat sedih, khawatir jika penyakit mental yang ia alami telah merugikan orang lain—bahkan sampai membiarkan seseorang terluka di depan matanya sendiri. Namun, benarkah ia yang melakukannya? Atau ada hal lain yang mempengaruhi semua ini? Pertanyaan itu menggantung di udara, tak terjawab.
-II-
Di dalam kegelapan, terdengar suara gemerincing yang memekakkan telinga, seolah-olah ada besi yang saling bertabrakan dengan kekuatan yang tak terhitung. Di sebuah ruangan lain, jeritan memilukan terdengar, disertai tangisan yang mengiris hati. Suara itu tak henti-henti berteriak, diselingi permohonan maaf yang terdengar begitu tulus.