Hari itu, Dava dan Roni menemui Dokter Jun di klinik. Saking emosinya, ia meremas kerah kemeja putih sang dokter. Jun pun kaget karena setibanya ia di klinik, langsung disambut dengan dugaan pembunuhan oleh lelaki berdada bidang itu. Jun akhirnya mencoba menjelaskan.
“Bagaimana bisa saya pergi ke Gunung Trawang, sedangkan saya baru saja kembali dari pelatihan di Jakarta, Dava,” sanggahnya seraya cemas jika saja lelaki itu tiba-tiba berbuat kasar padanya, “Dava, saya tidak berbohong. Saya betul-betul baru tiba hari ini dari Jakarta dan langsung ke klinik.”
“Dok, apa Anda pikir kami bodoh, hah?! Kami dengan nyata melihat Anda di Gunung Trawang dan diam saja melihat seseorang terbunuh di depan mata. Bagaimana Anda menjelaskan semua itu, Dok?!” bentak Dava dengan emosi yang masih memuncak serta tangannya erat meremas kerah sang dokter.
“Dav, sudah. Ayo, kita redakan emosi dulu. Biarkan Dokter Jun menjelaskan semuanya,” ucap Roni coba menenangkan.
Setelah mempertimbangkan, Dava pun melepaskan cengkeramannya dari kerah kemeja sang dokter. “Jelaskan! Saya ingin penjelasan yang logis!”
“Baik, akan saya jelaskan.” Jun merapikan kemejanya yang lecek akibat cengkeraman keras Dava. “Beberapa minggu yang lalu, saya pergi pelatihan ke Jakarta, dan hari ini saya baru saja pulang—“
“Bohong!” Dava membentak dan menggebrak meja dengan penuh emosi. “Beberapa minggu yang lalu Anda bilang? Bahkan beberapa hari lalu Anda ada di sini, Dok! Jangan bohongi saya! Saya meminta penjelasan yang logis, bukan seper—“
“Maaf, Dava. Baik, akan saya jelaskan saja. Saya rasa ini ada kaitannya dengan dugaan kamu.” Jun tetap tenang dan mencoba menghela santai secara teratur. “Saya akhir-akhir ini merasa mengalami keanehan pada diri saya sendiri. Saya seperti dipengaruhi oleh halusinasi yang kuat. Dalam dunia kedokteran, itu dinamakan Skizofrenia. Sebelumnya, saya merasa ada di suatu tempat, tetapi tiba-tiba saya lupa dengan apa saja yang sudah saya lakukan. Bahkan, saya pernah merasa melompati waktu saking lupanya saya terhadap segala hal,” jelasnya dengan wajah menahan sedih.
“Lalu, apa hubungannya penjelasan Anda ini dengan Anda yang kami lihat di Gunung Trawang waktu itu? Hm?” Dava semakin menatap tajam mata Jun yang beberapa waktu lalu telah berpaling.
“Jadi, maksud Anda, ini semacam penyakit lupa pada hal-hal tertentu, ya, Dok? Atau bagaimana?” Roni angkat bicara sebab mulai tertarik dengan penjelasan sang dokter.
“Penyakit mental yang satu ini kadang membuat penderitanya punya perilaku yang menyimpang. Pun membuat sebuah kepribadian baru di dalam diri penderita. Kalau memang benar yang kamu lihat itu adalah saya, maka saya sangat merasa ….”
Dokter Jun tak melanjutkan, ia tidak bisa menahan bulir-bulir air mata sehingga bersimbah membasahi wajahnya. Dava pun merasa bersalah dengan keadaan yang ia ciptakan. Emosinya semakin mereda.
Roni dan Dava tidak lagi dapat berkata-kata, sedang Jun masih sibuk menghabiskan air mata yang mengalir deras. Ia sedih jika saja penyakit mental yang dialaminya itu betul-betul merugikan orang lain, sampai-sampai tidak menolong orang yang coba dibunuh di depan mata. Namun, benarkah Jun yang melakukannya? Atau justru sesuatu yang lain? Entahlah.
-ooOoo-