Mereka terbelalak seketika saat melihat isi peti yang baru saja mereka keluarkan. Di dalamnya, tergeletak seonggok bangkai manusia, atau lebih tepatnya mayat yang sudah mengering. Kulitnya hampir seluruhnya habis dimakan serangga, sementara beberapa tulangnya tampak menyembul keluar, tak lagi berada pada posisinya. Kain putih yang membalut tubuhnya sudah lusuh, hampir tak ada sisa, seolah termakan rayap.
Bangkai yang ditemukan Dava dan teman-temannya itu tampak sudah berusia ratusan tahun. Namun, anehnya tidak ada bau yang tercium. Sebuah keheningan aneh menyelimuti mereka, seolah waktu berhenti sejenak di sekitar peti itu.
“Apa ini? Mayat siapa?” desis Dava, suaranya gemetar. Tiba-tiba, rasa sakit yang tajam menyerang kepalanya. Seketika bayangan-bayangan masa lalu bermunculan dengan cepat dalam pikirannya. Semua ingatan itu terfokus pada satu sosok—seorang dokter yang bekerja sama dengan militer Jepang di masa penjajahan.
Dokter itu sangat mirip dengan sosok Jun, sosok mengerikan, yang melakukan eksperimen tak manusiawi pada tubuh manusia, seolah-olah nyawa bisa dibeli dengan harga murah.
Dava menjerit kesakitan sambil memegangi kepalanya yang terasa nyeri luar biasa. Pandangannya mulai kabur.
“Dava! Kamu kenapa?” tanya Lisa dan Roni bersamaan, cemas. Mereka segera menghampiri dan berusaha memegangi tubuh Dava yang hampir roboh.
Namun, ingatan Dava tentang masa penjajahan itu terhenti seketika dan digantikan gambar lain yang lebih jelas. Ia mengenali tempat itu—sebuah ruangan di klinik. Di sana, seorang pria diperlakukan sangat kejam. Tubuhnya terikat dengan tali, dan seorang dokter, wajahnya samar, tampak sedang mencambuknya tanpa ampun.
Dava menggumam pelan, penuh amarah, “Sialan ….” Matanya berkilat tajam, api emosi yang membara tiba-tiba muncul dalam benaknya.
-II-
Dokter yang tingginya sekitar 170 sentimeter itu tiba-tiba menghentikan gerakan tangannya yang semula dengan keras menghardik pria yang tergantung di depannya. Tatapannya tajam dan senyum mencuat di wajahnya, seperti menandakan bahwa ia tahu sudah ketahuan.
“Oh, aku sudah ketahuan, rupanya,” pikirnya dalam hati.
Dengan santai, sang dokter mengambil katana dari atas meja. Ia menarik pedang khas Jepang itu dari sarung hitam melengkungnya. Sebelum melangkah mendekati pria yang telah habis diperlakukan kasar, ia menjilati ujung pedangnya dengan tatapan mengerikan.
Suasana di dalam ruangan itu seketika berubah lebih mencekam. Angin sepoi-sepoi berembus melalui ventilasi, menyingkap tirai kelam yang menggantung, menambah kesan angker yang menyelimuti ruangan itu.
Pria yang dihardik itu perlahan sadar dari pingsannya. Matanya yang sebelumnya tertutup kain kini meraba-raba mencari cahaya, tapi tak ada yang ia temukan. Ketika matanya mulai menyesuaikan diri dengan kegelapan, ia melihat sosok dokter yang sangat mirip dengannya, memegang pedang mengilap di tangan. Ketakutan kembali menghampirinya. Tangannya sudah hilang, dan kini apa lagi yang akan direnggut oleh dokter gadungan itu?
“Tidak! Apa yang akan kamu lakukan?! Siapa kamu sebenarnya?!” jerit Dokter Jun, kepanikan menghiasi wajahnya, matanya membelalak penuh ketakutan.
Dokter itu mengangkat pedang dengan senyum mengerikan. "Kau akan mati, Dokter Sialan!"
“Kenapa? Apa salahku padamu? Apa yang salah dengan diriku?” tanya Jun, mencoba mencari alasan.
"Karena kau sudah hidup di dunia ini," jawab dokter itu dingin. "Aku akan menggantikanmu sebagai dokter di klinik ini. Hahahaha."