“Saya perintahkan kamu menghabisi tiga anak keparat itu, Damar! Kalau sampai kamu gagal, saya akan melenyapkanmu dengan mantra pemusnah setan!”
“Hahahaha. Kau ternyata sudah berani memerintahku, ya?” Damar tertawa jahat, kemudian melanjutkan, “Tapi, baiklah. Demi tercapainya harapanku selama ini, aku akan lakukan perintahmu.”
“Ingat! Jangan sampai mereka mencium keberadaan saya.”
Pria yang berdiri dengan punggung menghadap dokter itu, mengangguk pelan dan mulai melangkah pergi, meninggalkan sang dokter sendirian. Kini, hanya Damar yang tersisa—dokter yang menjadi tersangka atas pembunuhan massal di masa penjajahan—berdiri tegak dengan senyum mencurigakan di wajahnya.
Damar melangkah masuk ke ruangan gelap, yang penuh jeruji di kiri dan kanan. Di dalamnya, ada manusia-manusia yang terkurung, beberapa tampak tak sadarkan diri. Namun, di sudut ruangan, ada perempuan paruh baya yang terus berusaha melepaskan belenggu di tangannya.
Perempuan itu terbaring lemah, tubuhnya terus meronta mencoba melepaskan borgol yang membelenggunya. Kekuatan fisiknya telah habis, dan tidak ada yang bisa menghancurkan besi yang mengikat tangannya.
“Lepaskan saya!” Suaranya terdengar lemah, penuh keputusasaan.
Damar berhenti, membalikkan tubuhnya dan berjalan mendekati jeruji di urutan pertama yang baru saja ia lewati. Dengan tatapan mengejek, ia menghampiri perempuan itu.
“Apa kau lapar, Nyonya?” tanyanya dengan nada merendahkan.
“Lepaskan saya!” jawab perempuan itu lagi, suaranya lebih memohon, tapi tetap tegar.
Damar tersenyum sinis, “Butuh seribu tahun memohon seperti itu untuk kulepaskan.” Ia menatap tajam pada celurit yang tergeletak di atas nakas samping ranjang perempuan itu. Dengan tangan terulur, Damar mengambil celurit tersebut dan menggoyangkannya di depan wajah perempuan yang tampak semakin lemah.
“Nyonya, kau tahu ini apa?” tanyanya, matanya penuh licik, sambil terus menggoyangkan celurit itu di depan wajah perempuan tersebut.
Perempuan itu menunduk lemas, matanya terpejam, dan suaranya terdengar pelan. “Tidak. Ampuni saya,” katanya, suaranya hampir tak terdengar, penuh keputusasaan.
Sang dokter tertawa kecil mendengar permohonan perempuan itu. Bulir-bulir bening mengalir di wajahnya, menandakan kelelahan yang tak tertahankan. Seakan-akan perempuan itu telah menyerah pada nasibnya.
"Jika tidak ingin nasibmu sama seperti yang lain, maka kau harus diam, Nyonya," kata Damar dengan nada dingin. “Kebetulan sekali, aku punya kejutan untukmu. Ah, tapi kau harus menunggu sedikit lebih lama lagi. Akan kubawakan sesuatu yang telah kau rindukan sekian lama. Begitu baiknya aku, bukan? Berterima kasihlah.”
Damar tertawa renyah, senyum jahatnya semakin lebar. Dengan santai, ia menyelipkan celurit di pinggang dan menutupi dengan jas putihnya. Tanpa sepatah kata pun lagi, ia berbalik dan melangkah keluar dari klinik, meninggalkan perempuan itu dengan harapan yang semakin pudar.
-II-
Ketiga teman yang terjebak di dalam terowongan bawah tanah akhirnya berhasil selamat dari terjangan angin kencang yang menyerang beberapa menit sebelumnya. Namun, Lisa tampak tak sadarkan diri, tubuhnya lemas karena kelelahan yang begitu parah.
"Lisa. Bangun." Dava mencoba membangunkan Lisa yang terkulai lemah dalam pelukannya. Sementara itu, Roni berdiri di samping mereka, matanya gelisah, mengamati sekeliling dengan cemas.
Tiba-tiba, pandangan Roni tertumbuk pada sesuatu yang berkilau beberapa meter di depan, tepat di bawah sebuah tangga. Karena rasa penasaran yang menggelora, ia pun berjalan perlahan menuju benda itu, bercahaya dari sinar senter yang ia pegang.
“Apa itu, ya?” Roni bertanya pada dirinya sendiri, ragu untuk mendekat. Namun, rasa penasaran akhirnya mengalahkan keraguannya, dan ia mengambil benda itu. Setelah memeriksanya dengan saksama, ia menyadari itu sebuah kartu yang sudah kusam.
KTP? gumamnya dalam hati, terkejut melihat kondisi benda tersebut. Ia mengelap debu yang menempel pada kartu itu dengan pakaian, berharap bisa melihat informasi yang tertera.