"Jadi, kita ke mana sekarang, Dav?"
"Kita ke klinik. Dokter Jun gadungan itu ada di sana, aku yakin. Kita harus cepat menghentikan dia."
"Aku masih nggak tahu apa sebenarnya tujuan dokter itu membunuh orang-orang. Bisa kamu jelasin nggak, Dav?"
Dava berhenti melangkah, begitu juga dengan Lisa dan Roni. Sejenak ia tertunduk, mengambil napas panjang.
"Dulu, terowongan ini adalah tempat pembuangan mayat orang-orang suku Sasak Lombok. Selain sebagai tempat pembuangan, dokter itu dan para tentara Jepang melakukan percobaan kejam pada tubuh manusia. Percobaan nggak berprikemanusiaan yang hanya dilakukan oleh iblis. Selain dari mempekerjakan orang-orang dari Lombok tanpa diberi makan dan upah, pada malamnya, ada ratusan orang yang mati sia-sia."
"Tapi, percobaannya untuk apa? Apa tujuan mereka melakukan percobaan?"
"Aku pernah mendapat penglihatan di masa-masa itu. Sepengetahuanku, mereka berusaha menciptakan alat pembunuh massal demi kebutuhan perang militer Jepang. Berbagai senjata dicoba pada tubuh manusia. Granat, pistol, racun, zat mematikan dan lainnya. Mereka menciptakan semuanya dengan melalui percobaan secara langsung.” Dava diam sejenak, lantas melanjutkan, “Satu percobaan yang bikin aku benar-benar merinding kalau mengingatnya, Ron."
Mata Dava berkaca-kaca. Mungkin ia begitu ingat dengan para manusia yang dibunuh di terowongan, hanya dijadikan sebagai bahan percobaan orang-orang berhati iblis.
"Seorang perempuan malang. Aku melihat dia dioperasi, granat ditanam dalam tubuhnya. Setelah sadar, orang-orang biadab itu mengontrol granat dan meledakkan ...”
Tak kuasa, Dava menghentikan penuturannya. Dibekapnya mulut menahan suara tangis yang kian tak terbendung.
"Aku ngerti perasaan kamu, Dav." Lisa mengelus pundak Dava demi melegakan perasaan lelaki itu.
"Iya, aku nggak apa-apa. Nggak apa-apa. Aku cuma terbawa suasana. Sedih melihat orang-orang, saudara-saudara kita di masa lalu disiksa, diinjak-injak. Kita jadi babu di rumah sendiri."
Hening menyapa sekeliling. Roni bahkan tak mampu angkat bicara lagi. Sebab, ia tahu bahwa hati dan perasaan sahabatnya itu memang rentan pilu. Dava mudah sekali tersentuh hatinya. Roni tahu itu.
Tak berselang lama, suasana yang tadinya hening berubah mencekam setelah bunyi berdebam baru saja menggema dan terdengar di telinga ketiganya.
Mereka celingukan hingga saling tatap, menyembunyikan tanya di angan.
Roni yang saling menatap dengan Lisa, menggedikkan bahu sebagai jawaban atas tatapan Lisa yang memancarkan tanya.
"Periksa, dong, Ron," pinta Lisa.
"Aku lagi? Ih, nggak berani aku. Ngeri," jawab Roni menggeleng-geleng.
"Gimana kalau kamu yang periksa, Dav?"
Sebelum angkat komentar, Dava menyeka air mata di pipi. "Penakut banget kamu, Ron," sesalnya lantas mendengkus pasrah.
Ujung-ujungnya, Dava juga yang jadi depan. Ah, sebenarnya mereka bertiga jadi depan sebab Roni ikut-ikutan lagi mepet di sebelah kiri Dava seperti yang dilakukan oleh Lisa.
"Kayaknya, asal suara itu dari tangga, deh," komentar Roni.