Di sebuah rumah yang terletak di daerah Lombok Barat, sebuah pesta pernikahan sedang dipersiapkan penuh antusias. Rio akan menikahi Sofia, calon istrinya yang tampak berseri-seri. Kedua sejoli itu tak sabar menantikan akad nikah yang akan segera dilaksanakan.
Dava yang masih muda, dengan semangat meluap-luap, keluar dari kamarnya untuk menemui sang paman. “Kapan ini dimulai, Om? Kayaknya Om udah nggak sabar banget nih nunggu acara selesai, ya,” canda Dava, mencoba mencairkan suasana.
Rio, Sofia, dan Dava duduk bersama di ruang tamu. Rahma, tengah berbincang akrab dengan Sofia.
“Ah, kamu bisa aja, Dava. Eh, kenalan dulu, dong, sama calon bibi kamu,” ujar Rio sambil tersipu malu mendengar canda Dava.
“Oh, iya. Bi Sofia kan, ya? Bi, aku Dava, keponakannya Om Rio yang paling tampan sejagat raya,” jawab Dava dengan senyum lebar, penuh percaya diri.
Sofia tersenyum geli mendengar perkenalan manis pemuda berusia delapan belas tahun itu. “Hmm, kamu emang tampan, ya. Siapa dulu, dong, pamannya. Om Rio,” balasnya, meramaikan suasana dengan tawa ringan.
“Eh, siapa dulu, dong, ibunya,” sahut Rahma, ibu Dava, tak ingin kalah dalam perbincangan penuh canda tawa tersebut.
Tak lama setelah percakapan itu, acara pernikahan dimulai dengan kedatangan penghulu. Segala persiapan berjalan lancar, tanpa hambatan. Rio mengucapkan ijab qobul dengan tegas dan lantang, dan begitu akad selesai, kedua insan itu resmi jadi suami istri.
Hari-hari berlalu, bulan berganti tahun. Meskipun Rio dan Sofia telah menikah, mereka belum dikaruniai seorang anak. Namun, meskipun demikian, cinta Paman Rio terhadap Sofia tidak pernah berkurang sedikit pun. Setiap hari, rasa cinta itu justru semakin menggebu, penuh gairah dan harapan.
Namun, ujian besar datang menghampiri. Kecelakaan beruntun yang melibatkan sopir bus mabuk merenggut nyawa Sofia. Kabar duka itu datang melalui pihak kepolisian, tapi Rio tak bisa mempercayainya. Ia masih berharap itu hanyalah mimpi buruk.
Ketika ia melihat tubuh Sofia yang terbungkus kantong mayat, kepercayaan itu runtuh seketika. Rio terpuruk. “SOFIA!” teriaknya, sambil mencoba menggapai jenazah istrinya yang dibawa pihak rumah sakit, diiringi sekelompok polisi.
Air mata Rio tak dapat lagi dibendung. Tangisnya pecah, merobek-robek hati yang sudah hancur. Tanggul emosinya telah runtuh, dan air mata mengalir deras, menyusuri wajahnya yang penuh duka. Tidak hanya kesedihan yang hadir, tawa penuh penderitaan juga mulai terdengar, seolah mengejek kesedihan yang tiada akhir. Keadaan Rio semakin terpuruk, dan kewarasannya mulai luntur perlahan, seperti daun yang terempas angin.
-II-
Suasana di pemakaman Sofia terasa begitu hening, hanya diisi suara angin yang berdesir dan langkah kaki yang pelan. Dava dan Rahma tak bisa menahan air mata mereka. Rasa kehilangan yang mendalam menyelimuti keluarga besar itu, dan kesedihan mereka tampak jelas, menyayat hati.
“Om.” Dava memanggil dengan suara pelan, menyeka air mata yang masih bertengger di kelopak matanya. Ia melangkah mendekati Rio, berusaha memberikan sedikit kenyamanan. “Jangan nangis lagi, Om. Bibi pasti nggak akan senang melihat Om seperti ini.”
Namun, Rio tak menjawab. Ia hanya terus memeluk nisan Sofia, tampak tak mampu melepaskan rasa kehilangan yang begitu dalam. Dunia seakan runtuh di sekelilingnya.
“Rio, ayo, kita pulang.” Rahma mengajak adiknya, meski ia tahu betul betapa keras kepala Rio. “Duluan,” jawab Rio dengan suara serak, tanpa menoleh sedikit pun.
Rahma menatapnya dengan penuh belas kasihan, tahu bahwa tak ada yang bisa ia lakukan untuk mengurangi kesedihan Rio. Ia akhirnya menarik tangan Dava. “Dava, ayo kita pulang.”
Mereka berdua meninggalkan Rio di tengah kesedihan yang tak kunjung reda, melangkah pulang dengan hati yang berat.
Namun, kehilangan tak selalu membawa manusia pada pencerahan. Terkadang, itu malah jadi jembatan yang membawa seseorang pada tindakan di luar nalar. Begitu pula yang terjadi pada Rio.
Malam tiba, dan Rio masih di kuburan, memandangi makam Sofia yang kini terkubur dalam tanah. Hatinya tak lagi utuh, pikirannya kacau, dan kewarasannya pun perlahan menghilang bersama rasa duka yang semakin dalam. Rio mulai menjadi sosok berbeda—seseorang yang kini lebih mirip iblis yang tak segan menghalalkan segala cara demi mencapai tujuannya.
Dengan tangan gemetar, tapi penuh tekad, Paman Rio menggali kembali kuburan istrinya. Ia mengais tanah dengan kekuatan yang luar biasa, seakan tak peduli dengan segala hal di sekitarnya. Ia berhasil membuka makam Sofia. Tanpa rasa ragu, ia mengangkat tubuh istrinya yang telah terbungkus kain kafan dan membawanya pergi.
“Sofia, aku tahu bagaimana cara menghidupkanmu kembali,” bisiknya penuh keyakinan, seakan kata-kata itu menjadi mantra yang bisa mengubah takdir. Ia tergesa-gesa membawa mayat Sofia ke rumah kosong yang gelap dan suram, terletak jauh dari keramaian.
Begitu sampai, Rio melepaskan kain kafan yang membungkus tubuh Sofia, mengungkapkan tubuhnya yang kaku dan tak bernyawa. Dengan lembut, ia mengenakan duster bunga-bunga mawar merah yang selalu dikenakan Sofia semasa hidupnya—baju kesukaan yang membawa kenangan manis tentang sang istri.