Di Sekolah Menengah Atas, Dava terpisah dari keluarganya. Setelah lulus dari SMP, ia memutuskan untuk tinggal di asrama dan meneruskan hidup secara mandiri. Sejak memasuki SMA pun, Dava sudah bisa melihat berbagai makhluk tak kasat mata. Namun, ia hanya belum sadar bahwa dirinya termasuk dalam golongan orang indigo. Padahal sewaktu kecil dulu, ia sering bermain dengan hantu, yang ia kira manusia yang tinggal di sebelah asrama tempat ia tinggal.
Roni yang juga merupakan temannya semasa SMA, berpikir bahwa Dava adalah orang yang aneh. Roni sering kali melihat Dava berbicara seorang diri. Bahkan tertawa seorang diri. Namun, setelah menduduki bangku kelas 2 SMA, barulah Roni berani untuk bertanya kepada Dava.
“Eh, Dav. Aku boleh tanya sesuatu nggak sama kamu? Tapi … kamu jangan marah atau tersinggung, ya,” ucap Roni yang kemudian duduk di samping Dava pada balkon asrama.
“Loh, kok aneh? Belum nanya tapi udah bilang jangan marah. Gimana, sih, kamu, Ron?”
“Ya, intinya gitu, deh.”
“Oke. Emangnya apa yang mau kamu tanya sama aku?” Dava mengerutkan dahi. Ia sudah mulai penasaran dengan apa yang ingin ditanyakan oleh sahabatnya itu.
“Jadi, gini. Sejak tinggal di asrama ini, aku sering banget lihat atau dengar kamu ngomong sendiri. Emangnya … kamu ngomong sama siapa, ya?” Roni agak ragu, tetapi ia tanyakan juga sesuatu yang aneh menurutnya dari Dava.
“Oh, yang itu. Dia Silvia, Ron. Dia anak perempuan usia 15 tahun. Masih SMP. Rumahnya di samping asrama kita ini,” cetus Dava.
Roni mengerutkan dahi bingung. Ya, jelas saja lelaki tersebut dibuat bingung oleh Dava. Pasalnya, tidak ada rumah yang berdiri di samping asrama tempat mereka tinggal. Yang ada, hanya lahan perkebunan yang penuh dengan semak-semak. Bahkan, orang-orang yang tinggal di sekitar asrama kadang takut melewati kebun tersebut.
“Anak p-perempuan, Dav? M-Maksud kamu apaan? Dan bukannya nggak ada rumah, ya, di samping ...”
“Ada, Ron. Sini, deh, aku tunjukin ke kamu rumahnya.”
Dava lantas melangkah, keluar dari gerbang asrama. Sementara itu, Roni agak ragu mengikuti Dava karena tiba-tiba lelaki tersebut membuat bulu kuduknya berdiri. Meski begitu, ia memberanikan diri dan menghampiri Dava yang tengah berdiri di depan gerbang.
“Lihat, Ron. Itu rumahnya. Bagus, ‘kan? Jadi, waktu aku baru tinggal di asrama ini, aku lihat Silvia sedang terluka karena jatuh kesandung batu. Terus, aku obatin lukanya dia. Dari kejadian itulah aku akrab sama dia,” jelas Dava.
Tidak beres. Benar saja, Roni bahkan tidak melihat adanya rumah seperti yang dikatakan oleh Dava. Yang ia lihat, hanya perkebunan yang terkesan begitu angker.
“J-Jadi … gitu ...”
“Nah, itu dia Silvia.”
Roni tak berani melihat ke arah pandang Dava. Pasalnya, hari sudah gelap. Mentari telah berganti dengan cahaya rembulan. Angin yang sepoi menambah suasana menyeramkan di sekitarnya. Roni berkeringat dingin. Ia sungguh tidak ingin melihat apa yang Dava lihat.
“Dari mana kamu, Sil?” tanya Dava pada sesosok perempuan.
Roni masih bergeming. Jantungnya memompa dua kali lebih cepat dari biasa. Aliran darahnya terasa mengalir dengan jelas.
“Ron. Kenalin, nih. Dia Silvia. Teman yang aku ceritain ke kamu.”