Di Sekolah Menengah Atas, Dava terpisah dari keluarganya. Setelah lulus dari SMP, ia memilih tinggal di asrama dan menjalani hidup secara mandiri. Sejak saat itu, dunia Dava mulai berubah. Di SMA, ia mulai menyadari ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan dengan logika. Ia mulai melihat berbagai makhluk tak kasatmata, meskipun pada awalnya ia tidak tahu bahwa dirinya termasuk golongan orang indigo. Dulu, sewaktu kecil, ia sering bermain dengan hantu yang ia kira hanya teman-teman manusia yang tinggal di sebelah asrama tempat ia menginap.
Roni, sahabat Dava yang juga seangkatan di SMA, sering merasa heran dengan kebiasaan Dava yang tampak aneh. Ia sering melihat Dava berbicara seorang diri, tertawa-tawa tanpa alasan yang jelas. Penasaran, Roni akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, meskipun ia merasa canggung.
“Eh, Dav, aku boleh tanya sesuatu nggak sama kamu? Tapi … kamu jangan marah atau tersinggung, ya,” ucap Roni, duduk di samping Dava di balkon asrama.
Dava mengangkat alis dan tersenyum bingung. “Loh, kok aneh? Belum tanya kok udah bilang jangan marah. Gimana sih kamu, Ron?”
“Ya, intinya gitu, deh,” jawab Roni, sambil sedikit gugup.
“Oke. Emangnya apa yang mau kamu tanya?” Dava mengerutkan dahi.
Roni menatapnya sejenak, seolah mencari-cari kata-kata yang tepat. “Jadi, gini. Sejak tinggal di asrama ini, aku sering banget lihat atau dengar kamu ngomong sendiri. Emangnya … kamu ngomong sama siapa, ya?” Roni sedikit ragu, tapi akhirnya memberanikan diri untuk bertanya tentang hal yang terasa aneh baginya.
Dava terdiam sejenak sebelum tersenyum lebar. “Oh, yang itu. Dia Silvia, Ron. Anak perempuan usia 15 tahun. Masih SMP. Rumahnya di samping asrama kita ini.”
Roni langsung mendelik. “Apa? Silvia? Anak perempuan?” Ia tampak bingung, mencoba mencerna kata-kata Dava. “Tapi ... bukannya nggak ada rumah di samping asrama kita, ya? Cuma lahan perkebunan dengan semak-semak. Orang-orang yang lewat sana aja kadang takut, lho.”
Dava tertawa kecil mendengar kebingungannya. “Ada, Ron. Sini, deh, aku tunjukin rumahnya.” Dava berdiri dan mengajak Roni mengikuti langkahnya. Namun, Roni tetap merasa bingung. Kalau memang ada rumah di sana, kenapa ia tidak pernah melihatnya?
Dava melangkah keluar dari gerbang asrama dengan langkah yang mantap, sementara Roni berdiri ragu di tempatnya. Sesuatu dalam diri Roni membuat bulu kuduknya meremang, merasakan ada yang tidak beres. Namun, dengan tekad yang mulai tumbuh, ia memberanikan diri mengikuti Dava yang sudah berjalan lebih dulu.
“Lihat, Ron. Itu rumahnya. Bagus, kan?” Dava menunjuk ke arah yang tampaknya kosong bagi Roni. “Jadi, waktu aku baru tinggal di asrama ini, aku lihat Silvia sedang terluka karena jatuh kesandung batu. Terus, aku obatin lukanya dia. Dari kejadian itulah aku akrab sama dia,” jelas Dava dengan santai.
Roni menatap dengan bingung, tapi matanya tidak menangkap apa pun di tempat yang Dava tunjukkan. Hanya hamparan perkebunan yang kelihatan suram dan angker di depannya. “J-Jadi … gitu ….” Roni mencoba menenangkan dirinya, merasa ada yang janggal dengan apa yang Dava katakan.
“Nah, itu dia Silvia.” Dava berkata sambil melirik sosok yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka.
Roni, yang sudah mulai merasa tidak nyaman, tidak berani menatap arah yang Dava tunjukkan. Hari sudah beranjak malam, cahaya rembulan menggantikan sinar matahari, dan angin sepoi-sepoi membuat suasana semakin mencekam. Roni merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya, dan detak jantungnya berdegup semakin kencang. Ia merasa seperti ada sesuatu yang mengintai.
Dava melanjutkan dengan ramah, “Dari mana kamu, Sil?”
Roni tak bergerak, tubuhnya seakan kaku. Ia hanya bisa mendengar suara angin dan langkah Dava yang melangkah lebih dekat ke sosok yang disebut Silvia. Roni merasa tubuhnya terperangkap, tak mampu bergerak meskipun ingin lari.
Dava tersenyum pada sosok itu, memperkenalkan, “Ron, kenalin nih. Dia Silvia. Teman yang aku ceritain ke kamu.”
Hati Roni berdegup sangat kencang, hampir tak bisa bernapas. Dengan perlahan, ia menoleh ke arah Dava dan mengarahkan pandangannya ke sosok di depannya. Perlahan ia membuka matanya, dan apa yang dilihatnya membuat darahnya seperti membeku.