TRAWANG

Marion D'rossi
Chapter #23

Terjebak

Dava dan kedua temannya masih terjebak di dalam terowongan yang gelap, meski sudah berjam-jam mereka berjalan mencari jalan keluar. Ketegangan di antara mereka semakin terasa, terutama setelah dokter itu menantang mereka untuk mencari keberadaannya. Dava merasakan amarahnya kian memuncak setelah perlakuan sang dokter yang sepertinya sengaja mempermainkan mereka. Dava bisa merasakan betapa kental perasaan dendam dalam hatinya.

Jika akhirnya dipertemukan dengan sang dokter, Dava sudah membuat keputusan bulat—ia akan membunuh Rio demi menghentikan kejahatan yang sudah mencabut banyak nyawa di pulau ini, bahkan menyebabkan kematian yang sia-sia. Ia tak bisa lagi membiarkan hal ini berlanjut.

Mereka melanjutkan perjalanan melalui terowongan, mencoba keluar dari kegelapan yang semakin menyesakkan. Dava semakin yakin bahwa dokter itu dan Rio pasti berada di klinik Dokter Jun, tempat yang selama ini jadi pusat kejahatan mereka. Namun, jalan keluar tak semudah yang dibayangkan.

Ketika mereka semakin dalam menyusuri terowongan, masalah baru muncul. Tengkorak-tengkorak yang mereka lihat sebelumnya, yang sempat membuat mereka merinding, kini tiba-tiba menghilang begitu saja. Seolah-olah hilang ditelan bumi. Dava merasa aneh dengan kejadian itu. Ke mana perginya tengkorak-tengkorak itu? Mayat-mayat yang sebelumnya ada, mengapa bisa menghilang begitu saja?

“Ini tidak beres. Ke mana tengkorak-tengkorak itu hilang?” Dava berhenti sejenak, merenung dan berpikir keras untuk menemukan jawaban atas pertanyaan yang mengusiknya. Namun, jawabannya masih terasa kabur.

“Eh, iya juga, ya. Ke mana mereka pergi?” Roni juga terdiam sejenak, kebingungannya mulai tercermin di wajahnya. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru terowongan yang gelap, mencari petunjuk yang mungkin terlewat.

Sementara itu, Lisa yang sudah lebih berani berkat senter yang dipasang di kepalanya, mulai mendekati dinding terowongan. Ia jongkok dan matanya tertuju pada benda mencurigakan—rambut panjang yang terlihat lusuh. Rambut itu tampak milik seorang perempuan, dan entah kenapa, Lisa merasa seolah-olah itu bukan sesuatu yang biasa saja. Di tempat yang sama, beberapa waktu lalu, mereka sempat melihat tengkorak-tengkorak yang seukuran orang dewasa dan satu tengkorak kecil.

Dengan perasaan was-was, Lisa memberanikan diri mengambil rambut lusuh itu, berharap menemukan jawaban atau setidaknya petunjuk lebih lanjut. “Perasaanku nggak enak,” katanya pelan, merasakan ketegangan yang semakin mencekam.

“Aku juga.” Dava setuju, matanya tetap mengawasi sekeliling dengan waspada. Mereka semakin merasa bahwa semuanya semakin sulit dipahami, dan semakin dekat pada sesuatu yang lebih menyeramkan.

Namun, ketiganya tak membiarkan ketakutan menghalangi mereka. Mereka tetap melanjutkan perjalanan, meskipun kegelisahan semakin menguasai. Ketika mereka melangkah lebih jauh, tiba-tiba di depan muncul cabang jalan. Dava berhenti sejenak, matanya terfokus pada dua arah yang terbuka di depan mereka. Sejak kapan ada jalan bercabang di terowongan ini? Dava merasa bingung—terowongan ini sangat berbeda dari terowongan yang ia kenal di tubuh gunung. Apakah ini hanya sebuah ilusi yang dibuat oleh sesuatu yang lebih besar? Pertanyaan itu menghantui pikirannya, tapi mereka tak punya banyak waktu untuk berpikir.

Ketiganya merasa dada berdegup kencang, napas mereka berkejaran seiring detakan jam yang tak bisa mereka lihat. Apa yang ada di depan sana? Apa yang menunggu mereka? Dava mencoba fokus, memancarkan cahaya senter ke depan dengan harapan bisa melihat lebih jelas. Namun, tiba-tiba, senter itu mati. Bukan hanya miliknya, tapi juga milik Roni dan Lisa. Kegelapan menyelubungi mereka dengan cepat, membuat suasana semakin menakutkan.

“Sial! Ada apa lagi ini?!” Dava mengutuk keras, marah karena keadaan semakin sulit dipahami.

“Dav?” suara Roni terdengar gemetar. Dalam ketakutannya, Roni mundur beberapa langkah. Dia mencoba mencari tangan Dava, berharap bisa merasakan kehadiran temannya. Lisa juga terkejut, dan tanpa sadar, ia memeluk Dava erat-erat, mencari sedikit kenyamanan di tengah kegelapan yang mencekam.

“Ayo, kita jalan aja!” Dava akhirnya berkata, meskipun suaranya dipenuhi rasa cemas yang mendalam.

Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, mereka melihat sesuatu di depan yang membuat darah mereka beku. Di ujung jalan terowongan, sesosok putih tampak melayang perlahan. Sosok itu tidak berjalan, tetapi melayang, dan rambut panjang yang lusuh menutupi wajahnya, sementara pakaiannya juga tampak kotor dan compang-camping. Ketiganya terdiam, matanya terfokus pada makhluk itu, tubuh mereka kaku seperti terhenti.

Lihat selengkapnya