Dava beserta kedua temannya masih berada di dalam terowongan. Sementara itu, dokter tersebut menantang mereka untuk mencari keberadaannya. Dava semakin geram dengan perlakuan sang dokter tak kasat mata kepada mereka. Begitu juga dengan Om Rio. Emosi lelaki tersebut sudah tak bisa dibendung lagi. Jika pada akhirnya mereka akan dipertemukan, keputusan Dava sudah bulat untuk membunuh omnya sendiri dan menggagalkan aksi yang membuat orang-orang di pulau ini dirugikan bahkan mati sia-sia.
Mereka kembali menyusuri jalan terowongan untuk segera keluar. Dava yakin dokter itu dan sang paman berada di klinik Dokter Jun. Akan tetapi, masalah baru bermunculan. Beberapa tengkorak yang mereka lihat ketika memasuki terowongan, tiba-tiba saja lenyap bagai ditelan bumi. Jelas, hal ini sangat aneh bagi mereka. Ke mana perginya tulang-belulang, mayat-mayat tersebut? Apakah ini semacam ilusi yang dimainkan oleh dokter dari masa lalu itu? Dava tidak yakin dengan dugaannya saat ini.
“Aneh. Ke mana tengkorak-tengkorak yang kita lihat di sini beberapa waktu lalu?” Dava refleks menghentikan langkah karena menyadari hal tersebut. Ia mencoba berpikir untuk menemukan jawaban dari pertanyaannya sendiri.
“Eh, iya juga, ya. Ke mana menghilangnya mereka.” Roni ikut membantu Dava berpikir. Ia edarkan bola matanya ke sekeliling.
Sementara itu, karena dibantu oleh senter di kepala untuk menerangi jalan di sekitar terowongan, Lisa sudah tidak takut lagi. Ia mencoba mendekati ke arah dinding terowongan, kemudian menjongkok. Di sana ada rambut utuh yang tampak lusuh. Rambut panjang yang tampak milik seorang perempuan. Ia ingat sekali bahwa di tempatnya terhenti itu ada dua tengkorak seukuran orang dewasa dan tengkorak kecil saat berjalan masuk beberapa waktu lalu.
Memberanikan diri, Lisa mengambil rambut lusuh tersebut. “Perasaanku nggak enak.”
“Aku juga.” Dava menyetujui.
Akan tetapi, hal tersebut tidak menghentikan mereka. Ketiganya melanjutkan perjalanan. Namun, di depan, mereka melihat ada sebuah jalan bercabang. Oh, sejak kapan ada jalan bercabang di terowongan ini? Terowongan ini berbeda dengan terowongan yang ada di badan gunung. Lalu, apakah ini hanya ilusi semata?
Dada ketiganya berontak, napas menderu, berpacu cepat melawan detak detik jarum jam. Apa yang akan ada di depan? Dava memfokuskan cahaya senter ke arah depan. Menambah terangnya sinar yang dihasilkan benda tersebut, tetapi tiba-tiba saja senter mati. Tidak hanya milik Dava, tetapi milik ketiga orang itu.
“Sial! Ada apa lagi ini?!” Dava mengutuk.
“Dav?” Roni yang takut pada kegelapan, lantas beringsut mundur karena sedari tadi ia berada di depan. Ia coba meraih tangan Dava. Begitu pun Lisa yang sontak memeluk Dava ketika lampu senter mereka dipadamkan secara tiba-tiba.
“Ayo, kita jalan aja!”
Meski berbicara seperti itu, Dava terdiam. Ketiganya melihat sosok berwarna putih yang berjalan dari arah depan. Ah, tidak berjalan. Lebih tepatnya melayang pelan. Wajahnya ditutupi oleh rambut yang panjang hingga pinggang. Rambut lusuh, kemudian pakaian putih yang juga tampak lusuh.