TRAWANG

Marion D'rossi
Chapter #24

Eksekusi

“Bajingan kamu, Rio! Lepaskan aku sekarang juga! Jangan kamu jadikan kakakmu ini tumbal untuk memenuhi keinginan biadabmu itu!” teriak perempuan paruh baya itu, menggelinjang keras, mencoba memutuskan belenggu yang mengikat tangannya pada ranjang besi. Namun, usahanya sia-sia. Tangan dan kakinya terbelenggu erat, tak ada kekuatan untuk menghancurkan logam yang mengekangnya.

Rio, yang telah lama menunggu momen ini, hanya tersenyum sinis. Tak sedikit pun ia terpengaruh kemarahan kakaknya. Dengan tenang, ia melangkah membawa sang wanita ke ruangan yang cukup luas. Ruangan itu dipenuhi cahaya redup lilin yang disusun melingkar, mengelilingi sebuah peti besar yang terletak di tengah ruangan. Tak hanya sang kakak yang ia bawa ke sini, tapi juga para tawanan lainnya, yang tubuhnya tersusun rapi seperti pajangan, tak lagi bernyawa.

“RIO! Akan kamu apakan aku?!” seru sang kakak, suaranya penuh kebingungan dan ketakutan.

Namun, Rio tak menjawab. Ia tetap sibuk dengan ritualnya, menyalakan wadah berisi kemenyan dan kembang tujuh rupa yang sudah disiapkan. Asapnya mengepul ke udara, memberi suasana mistis di dalam ruangan itu.

“Kamu tahu, Kak?” Rio berbicara dengan suara rendah, tapi penuh keyakinan. “Aku sudah lama menantikan momen ini. Momen Sofia, istriku, akan kembali hidup. Kita akan hidup bahagia selamanya. Aku tidak peduli jika harus mengorbankan dirimu, Kak. Kamu tidak begitu penting bagiku sekarang.”

Perempuan itu, wajahnya penuh amarah, menatap adiknya dengan kebencian. “Rio! Bajingan kamu! Kamu pikir siapa yang merawatmu dari kecil? Saat ayah dan ibu meninggal, siapa yang memberimu makan dan menyekolahkanmu? Siapa yang mengurusmu hingga dewasa?!”

Rio mengangkat bahunya, tidak peduli perkataan sang kakak. “Sudahlah, Kak. Itu semua sudah lewat. Yang penting sekarang, kamu bantu aku menghidupkan Sofia. Jiwamu akan aku jual kepada penguasa bumi ini, agar rencana kita berjalan lancar.”

“Apa?! Bodoh sekali kamu! Kamu pikir Tuhan akan membiarkanmu mengorbankan manusia demi makhluk-makhluk busuk itu? Tidak semudah itu, Rio! Lihat saja, kamu akan diazab Tuhan karena menuhankan mereka!” amuk wanita itu, matanya berapi-api penuh kemarahan.

Rio tetap tak bergeming. Ia bahkan semakin sibuk mempersiapkan upacara itu. Puluhan nyawa yang sudah lama ia sekap, kini siap dipersembahkan kepada entitas yang ia percaya bisa menghidupkan Sofia kembali. Wajahnya yang penuh tekad menggambarkan keyakinannya bahwa semuanya akan segera terwujud.

“Sofia, kamu akan hidup kembali,” bisik Rio, matanya berbinar penuh harapan. “Aku berjanji, saat kamu hidup lagi, kita akan bahagia selamanya.”

 

-II-

 

Dava mulai merasakan kesadarannya kembali, meski tubuhnya masih terasa lelah dan kepala pusing. Perlahan, ia membuka mata, berusaha menyesuaikan diri dengan kegelapan yang menyelimuti sekelilingnya. Pandangannya terarah pada Lisa dan Roni yang terkulai lemah di dekatnya. Hal itu sedikit membingungkannya. Seharusnya mereka terpisah, tetapi kenapa mereka bisa berada di tempat yang sama sekarang?

Dava tak mau berpikir terlalu lama. Yang terpenting sekarang adalah memastikan sahabatnya baik-baik saja. Ia dengan gesit bergerak menuju Roni yang terbaring tak berdaya. "Ron! Roni!" Dava menepuk-nepuk wajah sahabatnya dengan cemas, tetapi Roni tidak memberikan respons apa-apa. "Roni!"

Hanya keheningan yang menyambut teriakannya. Dava kemudian beralih, bergerak menuju Lisa yang terbaring beberapa meter dari Roni. Ia mengangkat tubuh Lisa dengan hati-hati, lalu membaringkan kepala perempuan itu di pangkuannya.

“Lisa! Bangun, Sa! Bangun!” Dava berusaha membangunkan Lisa dengan lembut, seperti yang ia lakukan pada Roni.

Setelah beberapa detik, Lisa mulai menggeliat, perlahan membuka matanya, dan memegangi kepalanya yang terasa pusing. Saat pandangannya pertama kali jatuh pada Dava, matanya tampak samar, penuh kebingungan.

“D-Dava?” Suara Lisa terdengar pelan, hampir tak terdengar, seperti angin yang berbisik. “K-Kita di mana?”

“Kita masih di dalam terowongan. Aku nggak tahu kenapa kita bisa berkumpul di sini. Padahal tadi kita terpisah,” jelas Dava dengan nada yang sedikit tenang, berusaha meredakan kegelisahan di hati Lisa.

Lisa duduk perlahan, menahan tubuhnya yang masih lemah. Ia merapikan rambutnya yang acak-acakan dan menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Kemudian, ia menyapu pakaian yang penuh debu dan kotoran, berusaha mengembalikan sedikit kenyamanan dalam situasi yang mencekam ini.

“Roni … mana?” tanya Lisa dengan suara pelan, matanya mencari-cari sahabat mereka.

“Dia di sana,” jawab Dava sambil menunjuk Roni yang masih terbaring. “Sebentar, aku bangunkan dia dulu.”

Lihat selengkapnya