Dava dan dua kawannya telah melewati berbagai halangan dan rintangan demi keluar dari terowongan yang gelap dan mencekam. Mereka akhirnya berhasil mencapai pintu keluar dan tanpa pikir panjang langsung berlari menuju klinik, tempat mereka harus menghadapi dokter itu dan Rio yang jahat.
Namun, meskipun sudah berjam-jam berjalan, mereka tak kunjung sampai. Setiap jalan yang mereka tempuh seperti mengulang kembali langkah-langkah sebelumnya. Mereka kembali lagi ke titik yang sama. Suasana semakin terasa aneh, dan Dava akhirnya menghentikan langkahnya, merasa ada yang tidak beres.
"Semua jadi makin aneh! Kenapa kita selalu kembali ke tempat yang sama? Perasaan, kita sudah melewati hotel ini, terus kita kembali lagi ke gunung ini. Sialan! Kayaknya kita sedang dikerjain sama hantu dokter itu!" Dava menggertakkan giginya. Tangannya mengepal kuat, menunjukkan betapa frustrasinya dia.
"Iya, aku juga mikir gitu, Dav. Kok bisa ya kita terus-terusan balik ke gunung ini?" Roni pun mulai merasakan keanehan yang sama, matanya menatap bingung sekeliling mereka yang tampak semakin tidak dikenal.
"Dokter anjing! Tunjukkan dirimu! Jangan bersembunyi kayak pengecut!" Dava berteriak keras, kata-katanya dipenuhi kebencian. Ia menambahkannya dengan serangkaian umpatan yang lebih kasar, kecewa dan geram dengan keadaan yang semakin tidak menentu.
Lisa, yang semakin ketakutan melihat situasi yang membingungkan dan menegangkan, mendekatkan diri pada Dava, hampir tak ingin melepaskan genggaman tangan lelaki itu. “Jangan takut, Sa. Aku bisa mengatasi semuanya,” ujar Dava, berusaha menenangkan Lisa yang cemas.
“Tombaknya, Ron,” kata Dava dengan nada tegas, matanya penuh tekad.
Roni segera mengeluarkan tombak dari dalam tasnya dan menyerahkannya pada Dava. Begitu tombak itu berada di tangan Dava, suasana semakin menegangkan. Tiba-tiba, suara tawa dokter itu terdengar memekakkan, seolah penuh kemenangan, mengolok-olok kelelahan mereka.
“Bajingan! Keluar kamu!” Dava berteriak marah, sambil mengacungkan tombak tinggi-tinggi. Wajahnya yang penuh amarah itu menunjukkan bahwa dia sudah siap menghadapi apa pun yang akan datang, tak peduli betapa kuat lawan mereka.
“Ini baru permulaan, Dava. Ke depan, kau akan merasakan penderitaan yang jauh lebih besar dari ini.” Suara Damar terdengar semakin pelan, semakin jauh, hingga akhirnya hilang sepenuhnya.
Suasana semakin menyesakkan, dan Dava merasa ketegangan semakin menyelimuti dirinya. Lisa, yang sejak tadi diam saja, akhirnya berbicara. “Dav, daripada kita terus diam di sini, sebaiknya kita tetap jalan sambil berdoa,” saran Lisa dengan suara lembut, tapi penuh keteguhan.
Dava mengangguk setuju, merasa itu keputusan terbaik. Ketiganya melanjutkan perjalanan dengan langkah hati-hati, dan dalam hati mereka melantunkan doa. Meski demikian, mereka merasa semakin aneh dengan setiap langkah yang diambil. Langkah mereka tidak menuju tempat yang diinginkan, malah membawa mereka ke pantai. Di sana, mereka terhenti sejenak. Pemandangan yang mengerikan terbentang di depan. Bangkai manusia berserakan di sepanjang pantai—mayat tanpa kepala, tubuh yang bolong di bagian dada, dan berbagai bentuk kehancuran yang tak sanggup mereka hadapi.
“Aku benar-benar muak ...,” kata Dava pelan, tak bisa lagi menahan perasaan jijik dan takut yang bercampur aduk dalam dirinya.
Namun, yang lebih mengejutkan lagi adalah saat Dava menyadari sesuatu yang aneh. Lisa—yang selama ini berjalan di sampingnya—tidak lagi menggenggam tangannya. Dava menoleh cepat dan melihat Lisa berjalan ke bibir pantai, mengejar seorang lelaki yang tampaknya berusaha menenggelamkan dirinya.
“Lisa! Hei, Lisa! Jangan!” teriak Dava, panik. Tanpa pikir panjang, dia langsung mengejar Lisa, diikuti Roni yang juga terkejut melihatnya.
Dava berhasil meraih tangan Lisa, tetapi dengan cepat Lisa menepis tangannya dan melangkah lebih jauh. “Jangan halangi aku, Dav!” kata Lisa dengan nada penuh penekanan, seolah ada kekuatan yang memaksanya bergerak maju.
Dava merasa jantungnya berdegup kencang. Sesuatu yang tak beres sedang terjadi. Sepertinya Lisa telah terpengaruh dunia ilusi yang diciptakan Damar. Dava melihat dengan jelas bagaimana Lisa melangkah menuju lelaki yang sepertinya ingin mengakhiri hidupnya, seolah-olah itu adalah kekasihnya yang sedang terperosok dalam keputusasaan. Padahal, semuanya ilusi, sebuah jebakan yang bisa membunuh Lisa jika dia terus terlarut dalam bayangan itu.
“Lisa! Kamu jangan percaya dengan apa yang kamu lihat! Semua ini nggak benar! Kamu harus membuka matamu!” Dava berusaha keras, menarik lengan Lisa untuk membawanya kembali.
“Dava! L-Lepasin aku ....” Lisa berontak, berusaha melepaskan diri dari genggaman Dava, matanya dipenuhi kebingungannya sendiri.
“LISA! KAMU HARUS DENGARKAN AKU!” Akhirnya, Dava membentak dengan suara yang keras, membuat Lisa terdiam sejenak, hatinya pun berhenti sejenak untuk memproses kata-kata Dava.
Dava melihat setitik cairan bening menetes dari mata Lisa, seperti air mata yang menandakan kebingungannya. Namun, Dava tidak punya waktu bertanya. Dia harus segera menyadarkan Lisa dari dunia yang diciptakan Damar, dunia yang bisa menjerumuskan mereka lebih dalam.
“Lihat aku,” kata Dava dengan suara lembut, tapi penuh tekad, “dunia ini ciptaan dokter itu. Kamu harus membuka matamu, Lisa.” Tangannya mengelus lembut tangan Lisa, mencoba menenangkan sekaligus memberi harapan. Merasa usahanya belum cukup, Dava menarik Lisa ke dalam pelukan penuh kasih sayang, seolah ingin menyerap semua kesedihan yang tengah membebaninya.
Lisa terisak dalam pelukan itu, air mata mengalir deras, tapi seiring tangisan itu, perlahan semuanya mulai kembali normal. Dunia yang penuh ilusi itu pun memudar, dan mereka kembali berada di Gunung Trawang.
Dava menenangkan Lisa dengan lembut, melepaskan pelukan setelah beberapa waktu. “Ayo, kita lanjutkan perjalanan. Aku mengerti perasaanmu. Tapi kamu juga harus mengerti bagaimana perasaanku.”
Lisa mengangguk pelan, air mata masih menetes, tetapi kini ada secercah keyakinan yang muncul di matanya. Mereka melanjutkan perjalanan, kaki mereka menapaki jalan dengan tekad yang lebih kuat.