“Bajingan kalian semua!” Dava mengepal erat kedua tangan sambil menggertakkan gigi dan menatap tajam pada Om Rio. “Kamu akan mati, Rio!”
Lelaki berambut gondrong itu berlari sembari mengacungkan tombak untuk segera menancapkannya pada tubuh Om Rio, tetapi dengan lugas Rio menghindar dan menjauh dari Dava.
Sementara itu, sang wanita yang sedikit lagi akan segera dipotong lehernya menggunakan gergaji oleh Damar, lantas menatap lamat pada Dava. Tatapan itu merupakan pancaran sebuah kerinduan yang bertahun-tahun lamanya terpendam. Tatapan wanita itu adalah ekspresi kegembiraan yang bercampur dengan kesedihan karena akhirnya berhasil melihat sang anak baik-baik saja.
“Dava …,” ucap wanita itu dengan suara parau dan lirih.
Dava kemudian menoleh ke arah si wanita, ia bergeming seakan tidak percaya wanita kumal dengan rambut acak-acakan itu adalah ibunya. Dada lelaki itu kembang kempis dan napasnya menderu hampir sesak. Meski begitu, ia belum mampu melepaskan kerinduan pada sang ibu. Ia terlebih dahulu harus melenyapkan Damar serta menghabisi omnya sendiri.
Kedua netra Dava berlinang air mata. Namun, ia langsung menyapunya dengan tangan dan kembali mengejar Rio yang berlari memutar di sekitar ruangan. Karena tidak dapat menangkap sang paman, maka Dava mencoba menancapkan tombak ke arah Damar, tepat di dada. Sayangnya, Damar mampu menggunakan jurus menghilang.
“Bajingan! Keluar kamu, Iblis!” Dava telah terlahap api amarah sehingga tak ada tempat lagi untuk rasa sabar.
Sementara itu, Roni dan Lisa yang masih berada di pintu dengan cepat menuju ke tempat sang wanita paruh baya sedang diikat. Kedua insan itu coba melepaskan sang wanita. Akan tetapi, Om Rio mengambil kepala salah satu korban dan melemparkannya ke arah Roni dan Lisa sehingga keduanya belum berhasil membuka ikatan sang wanita.
Damar muncul lagi di belakang pintu. Dengan jurus menghilangnya, ia tiba-tiba berada di belakang Lisa sambil mengacungkan sebuah golok ke leher perempuan itu.
Dava membelalak, ia berlari untuk segera menangkap Damar.
“BERHENTI!” Damar berteriak yang kemudian membuat langkah Dava terhenti. “Kalau kau bergerak sedikit saja, leher wanita ini akan putus,” lanjut Damar dengan seringai yang terkembang.
Dava menahan amarah yang meledak-ledak. Lisa di belenggu Damar telah meneteskan cairan bening, bergelantungan di kelopak matanya.
Roni yang berada di depan sang wanita paruh baya tidak mampu berbuat apa-apa. Ia sebenarnya begitu takut, tetapi juga sangat benci kepada Damar yang mengancam nyawa Lisa.
“Apa sebenarnya tujuan kalian?! Rio! Dan kamu, Iblis Keji!” teriak Dava.
“Dava, sudahlah. Ikhlaskan saja nyawa ibumu. Ommu ini akan menghidupkan tantemu dengan menukar nyawa ibumu.”
“Apa?!” Dava mengarahkan tatapan pada Rio. “Menukar nyawa ibuku?! Bajingan laknat!”
Dava tak dapat menahan luapan amarah sehingga melemparkan tombak ke arah Rio, tetapi sayang meleset dan tertancap pada pilar kayu.
“Selamanya kamu tidak akan bisa membunuhku, Dava. Aku punya banyak peliharaan jin.” Rio tergelak karena melihat ekspresi Dava yang geram.
“Rio bajingan! Lepaskan aku! Aku ini kakakmu!”
Suasana semakin tegang. Dava dan dua kawannya tak dapat melakukan apa pun. Bergerak sedikit saja, leher Lisa pasti akan terpotong oleh Damar. Dava sangat tahu bagaimana kejamnya dokter hantu itu sesuai dengan apa yang pernah ia lihat pada penerawangan.
Om Rio tak henti-hentinya tertawa renyah. Pria itu sudah merasa menang dari Dava dan sang kakak. Ia hanya harus memerintahkan Damar untuk memotong leher perempuan yang sedang ia jadikan sandera.
“Damar! Eksekusi!” perintah Om Rio penuh penekanan.
Damar menyeringai, perlahan ia gerakkan golok yang ada di genggamannya.
“Da … va,” kata Lisa lirih. Air matanya semakin deras mengalir. Tangisnya semakin jadi, menciptakan sesenggukan yang menandakan ketakutan luar biasa membalutnya.
Jantung Dava memompa sepuluh kali lebih cepat. Seolah kepalanya dipaksa untuk berpikir, berpikir, berpikir bagaimana caranya menyelamatkan Lisa dan ibunya. Roni juga seperti itu, ia tenggelam dalam kekalutan.
Apa yang harus aku lakukan?! Ayolah, berpikir!, kata Dava dalam hati.
Sedetik kemudian, sesuatu yang aneh Dava rasakan. Hawa keberadaan sesosok makhluk begitu jelas, kemudian pikiran lelaki itu seolah menciptakan bayangan. Sesosok pria gagah perkasa dengan sebuah tombak dan tameng di tangan.
Dava ingat tombak yang tertancap pada pilar itu merupakan milik Sulthan Rinjani sesuai dengan apa yang pernah ia saksikan dalam penerawangan. Dengan mata tertutup, Dava dapat membayangkan dengan jelas sosok agung yang dipenuhi dengan aura kebijaksanaan. Sulthan Rinjani.
“Sulthan Rinjani! Tolong kami!” teriak Dava yang seketika itu sebuah pusaran angin muncul di dalam ruangan memporak-porandakan perabotan yang ada.
Dava menutup kedua matanya untuk menghalangi debu masuk sambil melihat pusaran angin itu mengelilingi seluruh sudut ruangan.
Damar dan Om Rio tak tahu apa yang akan datang, tetapi perasaan keduanya tidak enak. Semakin lama angin itu berputar, Damar semakin merasa bahwa kehadiran yang sangat dikenalinya mulai muncul ke permukaan.
Damar melepaskan cengkeramannya pada Lisa sehingga gadis itu berlari, berlindung di sebelah Dava meskipun angin mengembus, hampir menerbangkannya.
Ruangan yang cukup luas itu tampak berantakan.