"Bajingan kalian semua!" Dava menggeram dengan suara bergetar karena amarah yang meluap. Kedua tangan mengepal erat, giginya bergemeretak saat ia menatap tajam ke arah Rio. "Kamu akan mati, Rio!" teriaknya.
Dengan tekad membara, Dava melesat maju, tombaknya teracung tinggi, siap menancapkannya ke tubuh Rio. Namun, Rio dengan kelincahan luar biasa, menghindar dan berlari menjauhi Dava.
Di sisi lain, wanita yang terikat di kursi dengan leher hampir dipotong gergaji, menatap Dava lamat-lamat. Ada kegembiraan yang berbaur dengan kesedihan di matanya—sebuah kerinduan yang bertahun-tahun tertahan. Meskipun tubuhnya dipenuhi luka dan kotoran, sorot matanya tetap menyimpan kasih sayang tak tergantikan.
"Dava ...." Suaranya parau, nyaris tak terdengar, tapi cukup mengguncang hati Dava.
Dava terdiam, matanya terbuka lebar, tak percaya. Ia menatap wanita itu, wanita kumal dengan rambut kusut yang bahkan lebih mirip arwah. Rasa kaget dan kebingungannya mencengkeram dada, seolah waktunya terhenti sesaat. Ia tahu siapa wanita itu, tapi tubuhnya menolak menerima kenyataan. Ibunya, yang seharusnya sudah lama hilang, kini muncul kembali dalam keadaan yang sangat jauh dari bayangan yang ia harapkan.
Dada Dava terasa sesak, napasnya terengah-engah, tapi ia tidak bisa hanyut dalam emosi itu. Ia tahu, untuk memastikan keselamatan ibunya dan mengakhiri penderitaan ini, ia harus menghentikan Damar dan Rio terlebih dahulu.
Air mata tak tertahan jatuh di pipinya, tapi dengan cepat ia menyapu wajahnya, menepis keraguan dan kembali berfokus pada tugasnya. Ia mengejar Rio yang semakin menjauh, berlari di antara ruangan gelap, berkelit dengan cepat, hampir seperti makhluk tak nyata.
Ketika Dava gagal menangkap Rio, tombaknya justru ditujukan pada Damar yang tampak muncul kembali. Tanpa ragu, ia menancapkan ujung tombak ke dada Damar, tapi Damar dengan mudah menghilang dalam sekejap, seolah tubuhnya tak lebih dari bayangan.
“Bajingan! Keluar kamu, Iblis!” Dava berteriak keras, matanya terbakar api amarah yang tak terpadamkan. Ia sudah lelah dengan permainan ini, dan tak akan berhenti sebelum semua ini berakhir.
Sementara itu, di dekat pintu, Roni dan Lisa sedang berjuang melepaskan wanita yang terikat di kursi. Mereka berusaha dengan segala cara, tapi tak berhasil, karena tiba-tiba Rio melemparkan kepala salah satu korban yang telah tewas ke arah mereka. Kepala itu jatuh tepat di depan mereka, menyebabkan mereka tersentak mundur dan kehilangan kesempatan melepaskan wanita itu.
Damar muncul kembali, kali ini di belakang pintu. Dengan kecepatan luar biasa, ia sudah berada di belakang Lisa, mengacungkan golok tajam ke lehernya. Mata Dava membelalak penuh ketegangan. Tanpa pikir panjang, ia berlari sekuat tenaga, berusaha menangkap Damar sebelum terlambat, hatinya penuh niat membalas semua kebiadaban yang telah terjadi.
“BERHENTI!” teriak Damar, suaranya memecah keheningan dan membuat langkah Dava terhenti seketika. “Jika kau bergerak sedikit saja, leher wanita ini akan putus,” tambahnya dengan senyum menyeringai, penuh kemenangan.
Dava menahan diri dengan susah payah. Amarahnya yang menggelegak hampir tak tertahankan, tapi ia tahu satu langkah keliru bisa berakibat fatal bagi Lisa. Di hadapannya, Lisa terbelenggu, mata beningnya mulai meneteskan air mata, tanda ketakutan yang semakin dalam.
Roni yang berdiri di depan wanita paruh baya itu tak mampu berbuat banyak. Meski hatinya penuh dengan rasa takut, kebenciannya terhadap Damar jauh lebih besar. Damar sudah mengancam keselamatan Lisa, dan ia merasa terperangkap dalam dilema yang tak bisa ia selesaikan sendirian.
“Apa sebenarnya tujuan kalian?!” Dava berteriak penuh kebencian. “Rio! Dan kamu, Iblis Keji!” Suaranya menggema di ruangan itu.
Rio yang berdiri diam dengan tatapan sinis, membalas dengan suara dingin, “Dava, sudahlah. Ikhlaskan saja nyawa ibumu. Aku akan menghidupkan tantemu dengan menukar nyawa ibumu.”
“Apa?!” Dava hampir tak percaya kata-kata itu. Ia menatap Rio dengan mata penuh kemarahan, lidahnya terasa kering. “Menukar nyawa ibuku?! Bajingan laknat!”
Tanpa bisa menahan lagi, Dava melontarkan tombaknya dengan segenap tenaga ke arah Rio, tapi tombak itu meleset, hanya tertancap pada pilar kayu di dekat mereka. Kegagalan itu semakin menambah kepedihan dan kemarahan Dava.
“Selamanya kamu tidak akan bisa membunuhku, Dava.” Rio tergelak lebar. “Aku punya banyak peliharaan jin yang melindungiku.”
Dava semakin geram mendengar ejekan itu.
Suasana semakin mencekam. Dava dan dua kawannya kini terjebak dalam posisi yang sulit. Mereka tidak bisa bergerak sedikit pun, karena setiap gerakan kecil bisa mengakibatkan kematian Lisa di tangan Damar. Dava tahu betul bagaimana kejam dokter itu, berdasarkan apa yang pernah ia lihat dalam penerawangannya.
Rio, di sisi lain, tampak semakin puas. Tertawa renyah, ia sudah merasa kemenangan ada di tangannya. Hanya satu perintah yang dibutuhkan untuk menyelesaikan semuanya—memerintahkan Damar memotong leher wanita yang sedang ia jadikan sandera.
“Damar! Eksekusi!” perintah Om Rio dengan suara yang penuh penekanan, membuat suasana semakin tegang.
Damar menyeringai, matanya bersinar kegirangan saat ia perlahan menggerakkan golok yang ia genggam.
“Da … va ....” Suara Lisa terdengar lirih, hampir terhenti oleh isaknya. Air matanya semakin deras mengalir, sesenggukannya semakin kuat, menggambarkan ketegangan yang tak dapat dipadamkan kata-kata.
Jantung Dava berdetak lebih cepat dari biasanya, seolah-olah detakannya mengalahkan waktu itu sendiri. Kepalanya dipenuhi ribuan pertanyaan, pikirannya berputar mencari cara menyelamatkan Lisa dan ibunya. Roni juga tampak hilang dalam kegelisahan yang sama. Apa yang harus aku lakukan? Apa yang bisa aku lakukan untuk mengubah ini? Dava berpikir dengan panik.
Tiba-tiba, sesuatu yang aneh terasa. Suasana ruangan berubah, hawa keberadaan sesosok makhluk terasa sangat jelas, begitu kuat dan menakutkan. Dalam sekejap, bayangan mulai terbentuk dalam pikirannya. Seorang pria gagah perkasa dengan tombak dan tameng, sosok yang sangat ia kenal. Sulthan Rinjani.
Dava ingat tombak yang tadi meleset dan tertancap pada pilar kayu. Itu milik Sulthan Rinjani, sebagaimana yang pernah ia lihat dalam penerawangannya. Tanpa membuka mata, Dava membayangkan sosok agung itu, dipenuhi aura kebijaksanaan yang menenangkan, tapi penuh kekuatan.
“Sulthan Rinjani! Tolong kami!” teriak Dava, suaranya dipenuhi harapan.
Tiba-tiba, pusaran angin besar muncul di tengah ruangan, meliuk-liuk dengan kekuatan yang menggetarkan, memporak-porandakan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Dava menutup matanya rapat-rapat, menghindari debu yang beterbangan, sementara angin itu berputar semakin cepat, menghentak setiap sudut ruangan.
Damar dan Rio tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi perasaan tak enak mulai merayap dalam diri mereka. Angin yang semakin kencang dan berputar cepat membuat Damar merasa seperti ada sesuatu yang telah mengintai, sesuatu yang sangat dikenalnya. Ketegangan memuncak.