“Ayo, kita beli buku!” ajak Handoko tanpa menjawab kebingungan Arini. Arini yang terdiam kebingungan itu masih berusaha mencerna apa yang dimaksud Handoko sebelumnya. “Ayo, Rin…” Handoko mendorong Arini agar segera pergi untuk mencari buku.
Mereka berdua berjalan-jalan melewati tiap rak sambil melihat-lihat buku apa yang hendak mereka beli. Mereka melihat bagian belakang buku itu, membicarakan apakah buku itu menarik, melihat beberapa isi halamannya, dan melakukan hal-hal lain seperti kencan mereka di masa muda.
“Aku pernah baca buku yang ini, bagus. Ceritanya juga menarik. Aku suka permasalahan setiap tokohnya yang kompleks tapi gak bikin bosan,” jelas Handoko sambil memperlihatkan sebuah buku.
“Wah aku juga udah baca buku itu, sangat bagus,” sahut Arini menimpali.
Setelah itu, mereka lanjut berjalan dan Handoko memperlihatkan buku lain. “Kamu ingat buku ini, Rin?” tanyanya.
Arini tersenyum. Ia menganggukkan kepalanya. “Ingat. Buku yang pernah dikasih pinjam sama pacarku dulu.”
Handoko terkekeh. “Pacarmu siapa kalau boleh tahu? Apa dia pacar yang paling kamu sayangi, Rin?”
Arini hanya menggelengkan kepalanya. “Kita udah tua. Jangan coba-coba buat gombal. Udah gak cocok.”
Handoko hanya terkekeh malu mendengar Arini berkata begitu. Sepertinya, usia 45 tahun bukanlah hal yang dapat menghalanginya untuk memberi gombalan remeh temeh.
Setelah berkeliling melihat-lihat buku, Arini pun menemukan buku yang ia mau. Setelah itu, Handoko mengambil buku itu dua buah dan membelinya sebelum kemudian Arini mempertanyakan kembali kebingungannya.
“Jadi… apa maksud ucapan kamu sebelumnya?” tanya Arini.
Handoko mengajak Arini untuk duduk. Lalu ia mengeluarkan pulpen di dalam tas selempang kecil yang dibawanya. Setelah itu, ia menuliskan sesuatu di buku milik Arini.
08xx xxxx xxxx
Hubungi kekasihmu, Handoko.
Tulis Handoko di buku itu. “Aku menulisnya di halaman tengah. Aku takut tas kita digeledah ketika kita hendak pulang. Kalau mereka menyadari hal ini, aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Jadi aku usahakan untuk tersembunyi,” jelas Handoko sambil menunjukkan tulisan yang sudah ia tulis di salah satu halaman buku itu. “Sekarang, tulis alamat rumahmu di bukuku,” sambungnya sambil memberikan buku dan pulpen miliknya.
Arini pun menuliskan alamatnya dan memberikan buku itu kembali.
Jl. xx nomor x xxxxx
Temui kekasihmu, Arini.
“Kita akan pulang. Dan kalau pun nanti kita saling melupakan, aku harap takdir dapat menghubungkan kita kembali bagaimana pun caranya,” tutur Handoko diakhiri senyuman tipis.
Arini mengangguk. “Aku akan menghubungimu. Aku harus menghubungimu bagaimana pun caranya. Dan kita akan bertemu lagi.”
Arini menatap Handoko dalam-dalam. Handoko balas menatapnya. Handoko mendekatkan wajahnya pada Arini dan mencium bibirnya lembut. Sebuah ciuman perpisahan yang akan mengakhiri semua hal yang sudah terjadi di antara mereka di masa lalu. Sebuah ciuman penuh harapan semoga mereka dapat bertemu kembali dan memulai hal baru di masa depan.
****
Menjelang pukul lima sore, orang-orang mulai berdatangan ke halte bus tempat mereka turun sebelumnya. Terlihat orang-orang itu memakai gelang yang sama dengan yang dikenakan oleh Handoko dan Arini. Beberapa orang yang datang ke halte berwajah sedih. Ada yang tidak siap dengan perpisahan, ada juga yang sulit menerima takdir yang terjadi di masa ini.
“Ibu…” sapa Arini pada perempuan tua yang sebelumnya sempat ditemuinya.
“Eh Arini…”
“Ini siapa, Rin?” tanya Handoko.
“Tadi aku sempat ketemu sama ibu ini di perjalanan.”
“Namaku Sari, aku sempat bertemu dengan Arini dan berbincang dengannya tadi,” ucap Sari. “Gimana? Sudah ketemu sama keluarganya?” tanyanya kemudian.
“Ya… begitulah.” wajah Arini terlihat muram.
Semua orang yang sedang menunggu bus itu melihat ke arah mereka yang sedang saling bercakap. Mungkin mereka keheranan kenapa orang-orang ini saling berbicara padahal aturan mengatakan bahwa hal itu tidak boleh dilakukan.
“Kalau ada apa-apa, kamu boleh menceritakannya. Lagipula kita akan saling melupakan nanti,” ucap Sari ketika melihat wajah sedih Arini.
“Saya gak bisa ketemu sama mereka. Tapi saya senang bisa ketemu sama kekasih saya ketika masih muda,” jelas Arini sambil menatap Handoko. “Meski pun pada akhirnya kita akan saling melupakan, tapi saya tetap senang hari ini,” sambungnya.
“Ya… kadang melupakan sesuatu itu memang terasa menyedihkan. Apalagi kalau hal itu mengenai orang-orang yang amat berharga.”