Sebagian besar penduduk dari tiap-tiap negara berkembang pasti merasakan bagaimana pahitnya hidup. Harga bahan pokok begitu mencekik, lapangan pekerjaan sulit didapat, biaya pendidikan tak terjangkau, urusan medis berujung tangis, serta segudang masalah yang berkaitan dengan mental dan finansial.
Semua terjadi sekarang ini.
Pada dirinya, saudaranya, sahabatnya, pun pada banyak orang lainnya.
Jarum panjang pada jam dinding di atas kusen pintu kamar telah bergeser teratur sebanyak seribu lima ratus kali, dan tentu saja akan terus bergerak. Kontinuitas, tanpa mempedulikan apa pun. Terbilang waktu, sudah dua puluh lima menit suara detiknya menemani Aradhea Dananjaya yang terus termenung di tempat tidur.
Kamarnya cukup rapi meskipun sederhana.
Berdinding putih agak kusam dengan cermin bundar tergantung di samping pintu, lemari cokelat tua berlubang pada beberapa bagian, kipas angin kecil di sudut ruangan yang menghadap ranjang dipan lawas berseprai biru muda, serta kusen pintu kamar yang hanya tertutup oleh kain hijau panjang.
Suasananya juga terasa nyaman untuk merenung, lumayan lega, cerah dan berhawa segar lantaran jendela dua sisi yang terbuka lebar.
Laki-laki belia berkaus hitam celana Levis itu terus bergeming sembari menatap ke atas. Bingung, resah mencari jalan keluar. Tatapannya seakan membias pada langit-langit kamar yang lapuk termakan usia, bercorak gunungan wayang dengan garis-garis berwarna gelap, ditambah gambar purnama hitam akibat tetesan air hujan.
Kendati masih berusia delapan belas tahun, pola pikir Aradhea sudah terbilang matang. Ia merasa turut bertanggung jawab terhadap masalah yang tengah menerpa kehidupan kakeknya, Mbah Sayyidi.
Bagaimana nasib rumah ini?
Aradhea berpikir sambil membayangkan wajah pria yang seharusnya tersenyum menikmati masa senja itu. Garis-garis kesedihan yang jelas ditutupi dengan ekspresi senyuman apabila berbincang dengannya.
Terbayang awal mula kejadian, dua tahun lalu, ketika beberapa orang kenalan Mbah Sayyidi menawarkan keuntungan besar akan sebuah produk dagangan. Tertarik dengan mulut diplomasi mereka yang menjanjikan, Mbah Sayyidi sampai berani mengambil risiko dengan meminjam uang pada bank sebagai modal. Sertifikat rumah pun dijadikan agunan angsuran atas tempo pembayaran selama sepuluh tahun.
Ternyata, semuanya berjalan tidak seperti apa-apa yang diharapkan. Usaha yang mereka rintis bersama harus pupus di tengah jalan. Bertahan hanya selama dua puluh bulan.
Pernyataan sang rekan-rekan akan 'tanggung jawab bersama' hanyalah manis madu yang mengandung racun. Sebatas ucapan 'janji' dari lidah tak bertulang.
Mbah Sayyidi pun menanggung risiko seorang diri. Usaha yang telah dirintis selama bertahun-tahun miliknya sendiri juga ikut terkena dampaknya, hingga pria tua itu tak kuasa untuk mengembalikan pinjaman.
Pada saat itu Aradhea masih bersekolah, belum dapat berbuat apa-apa kecuali sekadar merasakan kesedihan dari belakang layar. Kala ini, ia sudah lulus sekolah. Ia punya keyakinan bisa bekerja keras untuk membantu sang kakek mengembalikan pinjaman yang sudah menunggak empat kali pembayaran.
Aradhea merasa enggan terus-terusan melihat Mbah Sayyidi kepikiran, meski pemuda itu paham jika kakeknya adalah sosok yang penuh tanggung jawab serta berkomitmen tinggi. Ia jelas ingin memberikan sumbangsih dalam wujud konkret. Namun peristiwa tak terduga dalam dunia usaha benar-benar membuat semuanya menjadi berantakan. Tiada lagi mereka punya penghasilan, yang bahkan berimbas pada dirinya tak pegang uang sekadar membuat lamaran.
Bagaimana aku bisa cepat membantu Simbah? Pikiran Aradhea kembali berputar. Sorot matanya menatap dalam.