Treasure of Nusantara

Rudie Chakil
Chapter #3

Sosial Marhaen

Seperti para remaja broken home yang tengah dirundung masalah, atau selayaknya pemuda pengangguran yang sedang putus cinta. Aradhea tercenung di tongkrongan warung di pinggir jalan. Duduk sendirian di kursi panjang sambil memperhatikan kondisi sekitar tempat tinggalnya. Sore hari menjelang Magrib.

Ketika orang yang lewat menyapa, ia tersenyum sembari menyapa balik. Sesaat kemudian orang tersebut berlalu, ia kembali menatap kosong. Namun kebanyakan air mukanya datar, bagaikan langit sore sebelah barat yang sunyi berwarna abu-abu kebiruan. Terkadang malahan murung, seperti cakrawala bagian timur yang berdesing dan penuh dengan awan mendung. Bilamana ditilik lebih jauh, meski hanya terlihat sedikit ekspresi, wajahnya akan cenderung mengundang banyak makna. Seolah-olah menyiratkan perpaduan antara diam tenang dengan riuh gelisah.

Pemuda itu terus memikirkan bagaimana nasib rumahnya kelak. Lekat terkait ingatan pada masalah moneter yang menyabot impiannya untuk dapat bekerja di kota besar Jakarta.

Dari mana aku bisa dapat uang? Apa aku harus meminjam? Tapi, sama siapa?

Suara hati Aradhea menyeruak menembus lembah kalbu, bercampur perasaan geram pada dirinya sendiri. Ia merasa tiada berdaya mencari jalan keluar. Ibarat berkelana di tengah-tengah gurun gersang, tanpa seorang pun yang menemani, pula tak tahu ke mana kakinya akan melangkah.

"Bu ... Ibu Raka ... hey," tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggil.

Aradhea menengok, melihat wanita paruh baya yang melangkah dengan terburu-buru. Seseorang yang dipanggil olehnya itu tengah berbelanja di warung.

"Saya cariin dari kemarin ke mana aja?" tanyanya, dengan lirikan sinis.

Wanita yang dipanggil dan seolah enggan untuk bertemu itu hanya bergeming. Mimik wajahnya berubah masam.

"Gimana, udah bisa bayar belum?" sambung wanita terlihat glamor yang memanggil itu dengan pertanyaan bernada menyerang.

"Hmmm ... Bu Haji, enggak percaya banget sih jadi orang. Emangnya gua mau nipu apa?" jawab wanita tersebut dari dalam warung.

"Lho ... saya enggak bilang seperti itu, tapi memang situ sendiri kan yang janji mau bayar hutang sama saya. Buktinya, sampai sekarang masih belum dibayar."

"Ya udah, nanti juga gua bayar!"

"Kapan?"

"Nanti, kalau gue udah dapat uang dari Bu Natali."

"Jangan ingkar lagi yaa, Bu Raka."

"Tenang aja, Bu Haji."

Wanita yang dipanggil Ibu Raka itu pun berlalu sembari merengut.

Aradhea hanya menyimak obrolan mereka seiring argumen di dalam hatinya. Mengimplikasikan kejadian tersebut sebagai pantulan atas permasalahan yang tengah ia alami. Yakni tentang keterlibatan uang dalam kehidupan. Dominan bukan hanya pada dirinya, tetapi juga pada banyak orang-orang yang ia temui.

"Kenapa, Bu Haji?" tanya pemilik warung dari belakang etalase. Aradhea masih juga mendengar obrolan, kendati sikapnya tampak begitu cuek.

"Itu ... Ibu Raka udah tiga bulan enggak bayar hutang sama saya, satu juta."

"Waduuuh."

"Giliran minjem aja, ngemis-ngemis kayak orang paling santun sedunia. Giliran ditagih malah galakan dia!"

Lihat selengkapnya