Bilamana terdapat sebuah negara yang mewakili kebhinekaan dari dunia itu sendiri, negara tersebut tidak lain adalah Indonesia. Wilayahnya bernama Nusantara. Penduduknya beraneka ragam, dari suku, ras, bahasa, kebudayaan, agama, sistem sosial, serta banyak lagi hal dan perbedaan lainnya.
Saking istimewanya ihwal akan keindahan Indonesia, bangsa-bangsa lain pun menyebutnya sebagai zamrud khatulistiwa, atau serpihan surga yang terbuang. Tanah airnya seolah-olah mencerminkan keelokan dari alam dunia dan segala isinya.
Namun, apabila ditelaah lebih jauh, perihal di dalamnya tidaklah seanggun apa-apa yang telah dititipkan Tuhan. Tidaklah seindah apa-apa yang tertuang dalam literasi.
Ada apa dengan Indonesia?
Ada apa dengan Nusantara?
Di siang hari yang penuh kedamaian, Romo Mugi —62 Tahun— sedang berbincang-bincang dengan beberapa warga desa, beserta anaknya, Raden Kaylash Himalaya —18 Tahun. Mereka meriung di saung sambil menikmati bermacam-macam makanan ringan serta minuman hangat.
"Harta karun Nusantara memang ada, dan sudah diwariskan sama leluhur-leluhur kita di masa lalu," ujar pria yang merupakan pimpinan padepokan itu, melirik pada salah seorang warga yang bertanya.
"Tetapi keberadaannya saja yang belum banyak diketahui oleh orang-orang," lanjutnya. Sejak tadi obrolan mereka mengalir, seperti air sungai yang membelah wilayah perbukitan.
Suasana dusun di sekitar padepokan amatlah hijau, subur, sejuk, dan teduh. Pepohonan cengkeh tumbuh besar dan terawat layaknya di hutan kota. Tampak sangat asri. Area persawahan dan pegunungan pun terhampar pada beberapa angle. Menjadi dambaan bagi para penduduk metropolis untuk melepas penat dari sugesti kesibukan yang tiada henti. Rutinitas mencari penghidupan yang seakan-akan membelenggu seseorang dalam satu lingkaran yang berkesinambungan.
Namun demikian, bagi para penduduk desa, suasana alami seperti itu bukan berarti mereka cukup berleha-leha menikmati hidup belaka. Semua ada kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Seperti halnya di kota, faktor finansial juga menjadi masalah utama yang terjadi di desa. Malahan lebih parah. Perputaran uang sungguh-sungguh tidak merata. Hasil komoditi hanya berkisar pada sektor agraria. Itu pun dikuasai oleh segelintir orang yang memiliki modal besar. Selebihnya, mayoritas dari mereka hidup susah. Bahkan bisa lebih susah ketimbang hidup di kota.
Ya. Roda zaman sekarang sedang bergulir pada satu titik, ketika manusia cenderung terikat pada uang. Putaran waktu seolah-olah mengondisikan siapa saja menginginkan banyaknya nominal alat tukar. Keniscayaan pikiran tentang; segalanya butuh uang.
Atas dasar itulah tidak sedikit orang-orang yang 'menuhankan materi' tanpa disadari. Yakni mereka yang terlampau bernafsu atas perihal duniawi. Mengganggap uang sebagai 'dewa penyelamat' bagi dirinya, hingga menghalalkan segala cara demi ambisi untuk bisa menjadi orang yang kaya raya. Orang yang kebal hukum. Orang yang merasa hidupnya bebas melakukan apa saja.
Menyimak pembahasan tentang harta karun, raut wajah dari beberapa warga desa yang mendengar tampak keheranan. Pikiran mereka seakan melayang, mengkhayal, berhasrat memiliki, hingga menumpuk banyak pertanyaan yang hendak diajukan nanti ketika Romo Mugi selesai bicara.
"Banyaknya luar biasa. Harta itu nantinya diperuntukkan untuk kejayaan Bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia kelak akan jadi negara mercusuar dunia. Hidup masyarakat kita akan sejahtera. Gemah ripah loh jinawi." Romo Mugi menyeruput kopi, lalu melanjutkan bicaranya.
"Beberapa pihak menyebutnya sebagai 'harta amanah'. Karena akan ada anak cucu yang dipilih untuk menerimanya. Entah kapan, yang pasti para Leluhur sudah menyiapkan ...."
"Assalammulaikum."
Terdengar suara dua orang laki-laki yang berdiri di muka saung. Bicara Romo Mugi pun terhenti sejenak.
"Waalaikumsalam," balas mereka semua yang berada di dalam saung.
"Ade ... Masya Allah. Masuk, De" Raden Kaylash menengok dan terkejut melihat kedatangan Aradhea bersama Arman. Air mukanya sungguh merasa senang. Mereka bertiga merupakan sahabat bermain semenjak Sekolah Dasar.
"Romo ... ada Ade, sama Arman," sambungnya, seraya menengok pada sang ayah.
Romo Mugi mengangguk-angguk dengan mata melirik tajam. "Oh, iya, mari masuk,” balas pria bercitra religius itu, diikuti oleh Aradhea dan Arman yang memasuki ruangan saung, terus duduk berdekatan dengan Kaylash.
Saung tersebut berukuran sekitar dua puluh meter persegi, dengan bahan yang terbuat dari bambu. Terdapat beberapa atribut, foto-foto, ukiran, dan juga ornamen bertema spiritual yang tergantung di dinding saung.
Romo Mugi lantas melanjutkan percakapan.
"Jadi. Para Leluhur sudah memberi tugas pada sosok khodam untuk menjaga harta karun tersebut. Hanya orang-orang terpilih yang dapat dikenali oleh sosok khodam yang menjaganya. Yaitu tokoh yang akan mengemban harta amanah tadi. Lokasinya tersebar pada beberapa titik di Pulau Jawa. Salah satunya ada di bukit yang ada di jawa tengah ini."
Beberapa orang manggut-manggut mendengar penuturannya. Kaylash terlihat menuangkan minuman ke dua cangkir.