Romo Mugi sedang menggosok sebilah keris luk sembilan dengan potongan jeruk nipis. Ia memiliki tiga buah keris. Dua lainnya berada dalam baskom berisi air kelapa, masing-masing ia letakkan di pojok bilik saung. Sikapnya amat tenang, memperlakukan benda pusaka selayaknya merawat anak sendiri.
"Waalaikummussalam."
Pria yang seringkali dimintai pendapat dan wejangan oleh penduduk desa itu menjawab salam, kemudian menengok pada Kaylash dan Aradhea yang tengah berdiri di depan undakan saung.
"Romo, maaf, mengganggu waktunya. Ada sesuatu yang harus diceritakan Ade, kepada Romo," ucap Kaylash.
Romo Mugi menatap Aradhea. Wajahnya terbesit sedikit keberatan dengan permintaan tersebut. Bukan apa-apa. Dahulu dia dan Aradhea pernah silang pendapat, meski apa-apa yang mereka diskusikan sebenarnya mengerucut pada satu titik yang sama. Kala itu Romo Mugi agak memaksakan diri, supaya Aradhea mau mengikuti jalur keilmuannya, serta ingin menjadikannya murid. Sedangkan, pemuda ramping berotot itu adalah seorang yang berkepribadian idealis, bebas, teguh, tegak, juga tidak bisa terpengaruh oleh siapa pun. Pembahasan mereka dahulu mengenai hakikat Tuhan dan Islam. Tentu saja Aradhea memegang erat pemahaman sendiri seakan-akan mencengkeram dengan gigitan gerahamnya.
Romo Mugi masih mengingat jelas akan hal tersebut.
"Yah, silakan masuk." Pria bergamis biru muda itu mengangguk. Bagi orang-orang seperti dirinya, melawan diri sendiri adalah hal yang biasa. Tanggung jawab atas kaidah-kaidah kehidupan sudah pasti diemban dalam laku perbuatan. Dengan, atau tanpa paksaan.
Kaylash dan Aradhea bergerak masuk, lalu duduk bersila di depannya.
"Romo. Ade semalam mimpi tentang harta karun. Tapi, Ade justru menganggap kalau mimpinya itu cuma kembang tidur," seru Kaylash, langsung tertuju pada konteks pembicaraan.
Romo Mugi sedikit terkejut, kemudian meletakkan keris dan potongan jeruk nipis. Vibrasi spiritual tentang kebenaran mimpi Aradhea langsung dapat ia rasakan. Ia sungguh tidak menyangka, maksud mereka bertemu akan mengarah pada sesuatu yang ia sampaikan kemarin.
"Hmmm ... mimpinya seperti apa, De?" Gerak sikapnya menjadi sangat serius.
"Gini, Om." Aradhea membuka cerita. satu tangannya memegang dagu.
"Awalnya Ade mimpi ketemu sama seseorang di sebuah ruangan, kayak di perpustakaan, gitu. Orang itu tinggi besar, Om. Wajahnya bercahaya, memakai sorban dan iket kepala seperti seorang Syekh. Terus, Ade diajak kenalan sama dia. Tiba-tiba ruangan perpustakaan itu berubah menjadi gelap. Ade dibawa ke tempat menyimpan harta karun. Orang itu bilang, kalau Ade merupakan sosok yang berhak memiliki harta karun. Bagaimana mungkin mimpi itu bukan cuma sekedar kembang tidur?"
Sepanjang Aradhea bicara, Romo Mugi menilik dalam matanya. Beberapa kali ia merasakan bergidik, pertanda bahwa hal yang diceritakan bukanlah sesuatu omong kosong.
Ia pun mengembuskan napas panjang. "Tidak diragukan lagi, itu adalah mimpi yang benar. Apakah kamu diberi-tahu, siapa nama orang itu?"
Aradhea mengangguk. "Iya, Om, namanya Suryadiningrat."
Mendengar nama tersebut, pria religius itu terbengong. Sorot matanya tampak kosong.
"Masya Allah," bisiknya setelah beberapa saat. "Bahkan beberapa kelompok rela melakukan tirakat yang sangat berat hanya untuk mendapatkan info terkait hal ini, De. Sementara, kamu mendapat mandat langsung dari pemiliknya. Apakah kamu diberi tahu di mana lokasi persisnya?"
Aradhea menggeleng. "Enggak, Om. Pemilik harta itu cuma bilang, pejamkan mata selama beberapa detik, nanti dia akan datang untuk membimbing," jawabnya.
Romo Mugi pun berdecak kagum.
"Selama saya mengikuti perkembangan mengenai harta karun, belum pernah saya menemukan ada orang yang diberi isyaroh sampai detail seperti mimpi kamu ini, De," ujarnya, mengambil cangkir kopi hitam dengan aroma yang khas. "Mungkin saja benar, kamu merupakan salah satu orang yang bisa memilikinya."
"Ah, Ade enggak percaya sama sekali, Om. Serius. Ade tetap menganggap, mimpi semalam itu cuma kembang tidur," timpal pemuda berkaus hitam celana Levis biru itu, bahkan sebelum bibir Romo Mugi menyentuh lingkaran cangkir.
"Ya, itu tetap akan jadi kembang tidur, kalau kamu sendiri enggak membuktikannya," tukas pria berambut sepunggung atas itu, lalu meminum kopi.
Aradhea tampak berpikir. Dalam benak ia merasa bahwa apa yang disampaikan Romo Mugi ada benarnya. Memang, kenyataan adalah jawaban yang akan membuka tabir waktu tentang benar dan salah, atau tentang baik dan buruk. Kenyataan pula yang nantinya akan menjadi dinamika kehidupan yang lebih penting dari apapun.
Perbincangan siang hari itu hanya diisi oleh Romo Mugi dan Aradhea. Sementara Kaylash tetap duduk diam menyimak.
"Terus, apakah Ade harus membuktikannya?" Aradhea menengok dengan wajah polos dan bingung, bagai seorang anak kecil yang bertanya tentang rasa penasarannya.
"Menurut saya, harus! Mimpi yang benar itu adalah empat puluh enam cabang kenabian. Allah Ta'ala enggak akan mengilhamkan sesuatu lewat mimpi, kalau enggak ada hubungan sama apa-apa yang terjadi di dunia ini, De," jelas Romo Mugi.
"Tapi, tapi, itu kan ada dasarnya, Om. Nah, Ade sendiri, dasarnya apa?"
"Enggak semua hal bisa didefinisikan dengan akal, De. Termasuk masalah ini. Mengapa kamu yang mendapatkan mimpi untuk bisa memiliki harta amanah itu, hanya Allah Yang Maha Tahu."
Romo Mugi kembali menyeruput kopi, lalu terdiam sejenak. Beberapa saat kemudian ia melanjutkan bicaranya.
"Bangsa kita itu bangsa yang besar. Sayangnya sekarang dikuasai oleh orang-orang egois. Berapa banyak anak-anak muda seperti kalian yang harusnya bisa berkreatifitas tapi terhalang sama urusan perut? Berapa banyak penduduk kita yang hidupnya gak tenang karena butuh makan, tempat tinggal, dan kehidupan yang layak? Berapa banyak pengangguran di negara ini, De? Dengarkan. Dengarkan ini, De! Bangsa kita sekarang hanyalah bangsa budak, seperti semut pekerja. Sampai kapan kita bisa benar-benar merdeka seperti yang didengungkan sama bapak pendiri bangsa, Presiden Soekarno? Sampai kamu menyesal nanti, karena enggak membuktikan mimpi benar yang kamu terima tadi malam? Tolong kamu pikiran hal ini!"
Pria matang berkulit sawo matang itu terlampau semangat, hingga tubuhnya agak bergetar. Bagaimanapun, niatnya baik, inginkan kehidupan yang lebih sejahtera dan merdeka secara menyeluruh.
"Ade paham, Om ... tapi, Ade, memang merasa enggak pantas," balas Aradhea.
Romo Mugi menarik-embuskan napas panjang sembari memperhatikan pemuda seumuran anaknya itu dengan pandang takzim. Raut wajahnya seperti orang yang ingin menangis. Lingkar matanya pun tampak berkaca-kaca. Ia baru benar-benar mengenal sosok pemuda yang duduk berhadapan dengannya itu lebih jauh. Menurutnya, sifat Aradhea yang ia lihat keras kepala, egois, sok aksi, dan seakan tak peduli, rupanya hanyalah sebuah kamuflase. Ia merasa, di dalam hati, Aradhea merupakan seorang pemerhati yang serius, amat empati, lemah lembut, pengasih dan penyayang. Saat itu juga raut wajah, sikap, bahkan arah hati Romo Mugi berubah menjadi simpatik pada pemuda beralis mata tebal itu. Padahal, hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Aradhea merupakan sosok yang benar-benar tidak bisa ditebak.