"Ade mohon doa restu ya, Om," tutur Aradhea sebelum memasuki kamar.
Bagaimanapun masa dahulu tidak sependapat, ia tetap punya rasa sopan santun dan menganggap jika Romo Mugi merupakan orang tua yang berhak untuk dimintai pangestu.
"Aamiiiin ... amiiiin ... silakan," kata pemilik kamar itu, tersenyum seraya membuka pintu. Bukan sekadar mempersilakan tentunya, tetapi tercakup sebuah niat dan harapan yang baik.
Aradhea lantas menutup kembali pintu setelah berada di dalam ruangan pribadi tersebut.
Aroma wewangian serta-merta menyengat indra penciumannya, seolah memberitahukan bahwa ada 'penghuni ruangan' yang bersemayam pada beberapa pusaka yang tergeletak rapi di sisi dinding.
Kondisi kamar terlihat bersih, juga terasa dingin dan sunyi, menawarkan kesan terputusnya hubungan dengan dunia luar. Pencahayaannya remang berbayang lantaran lampu lima watt yang hampir usang. Tidak ada tempat tidur, lemari pakaian, jendela atau ventilasi. Hanya ada benda-benda pusaka dan rak kecil tempat menyimpan beberapa kitab di sudut ruangan. Lantainya didominasi oleh karpet tebal berwarna hijau, tertekuk sudut dengan kain putih berenda yang menutup keempat dinding kamar.
Aradhea lantas melaksanakan salat Zuhur, menyembah Tuhan atas waktu dan kehidupan yang telah diberikan. Setelah itu ia salat dua rakaat, guna meminta keselamatan atas apa-apa yang akan ia lakukan. Selanjutnya ia matikan lampu, dengan maksud menjadikan keadaan tak tampak kecuali wujud kegelapan. Ia lalu duduk bersila, persis di tengah ruangan.
Kisaran waktu lima menit kemudian, ia merasakan bumi berguncang-guncang, tak ubahnya gempa lokal di dalam kamar. Namun sikapnya tetap tenang. Ia paham kondisi demikian bukanlah terjadi bencana gempa yang sesungguhnya, melainkan sebuah reaksi rohani ketika seseorang melakukan relaksasi spiritual makin ke dalam. Makin ke dalam.
Kondisi berputar-putar kemudian datang begitu kuat, hingga Aradhea merasakan pening. Rasa pening tersebut bukanlah seperti sakit kepala atau migrain, akan tetapi seperti menerima sesuatu yang amat berat di dalam jiwa. Ia lalu menarik napas panjang dan menahannya, mengalirkan oksigen ke seluruh bagian tubuh, mengembuskannya secara perlahan-lahan. Berupaya mengheningkan hati dan pikiran, sehening situasi gelap di dalam kamar.
Pada tahapan akhir, ia merasakan tubuhnya naik beberapa hasta, dan seketika itu juga terlontar ke bawah. Terus ke bawah. Bagaikan berada pada sebuah lift terputus yang mehujam lantai dasar.
Kondisi yang ia rasakan kini berangsur-angsur menjadi normal. Pemuda itu telah siap untuk mengingat sosok dalam mimpinya, yakni Syekh Suryadiningrat.
Dalam keadaan yang tak terlihat, cahaya tipis berwarna putih kekuningan tiba-tiba hadir dan membentuk wujud manusia yang berdiri persis di depannya. Semerbak mewangi datang menutup udara dingin yang bersemayam memenuhi ruangan, mengalahkan bau harum yang sebelumnya sudah menempel pada dinding-dinding kamar.
"Assalammualaikum."
Di tengah-tengah kesunyian alam sekitar, sepenggal kalimat pun terucap.
"Waalaikummussalam."
Aradhea langsung menjawab sambil melirik wajah sosok yang bercahaya. Kepekatan yang ada sedikit membias berkat secercah cahaya yang keluar dari tubuhnya.
"Segala puji bagi-Nya, kau telah memanggilku." Suara tersebut terdengar berat, lembut dan perlahan. Adapun wajahnya seakan-akan tersenyum tipis, walaupun Aradhea belum mampu melihat dengan jelas.
"Sebagai seorang pewaris, sudah semestinya kau melakukan ini."
"Melakukan ini?" Aradhea mengangkat kepalanya, memandang fokus. "Apakah aku melakukan ini untuk diriku sendiri?"
Sosok yang bukan merupakan seorang manusia itu lalu berkata tegas.
"Usahlah engkau memperkenalkan dirimu padaku. Aku lebih mengenalmu ketimbang dirimu sendiri." Garis wajahnya masih belum terlihat lataran kilauan cahaya yang berpendar.
Aradhea menjawab. "Kenapa harus dengan cara seperti ini?" Aku jelas cuma ingin masalahku selesai, bukannya terlibat oleh urusan harta karun."
"Semua tidaklah semata kepentinganmu, dan engkau bukanlah seseorang yang egois."
Aradhea agak terkesima mendengar jawabannya. Raut wajahnya tersenyum tipis, tertampak dari berkas cahaya yang terpancar.
Pria Misterius itu kemudian memegang kepalanya. "Kenapa harus dirimu?"
Aradhea sedikit terperangah. Baru saja terbesit pertanyaan seperti itu di dalam pikirannya.
"Saat ini, engkau adalah satu-satunya manusia yang memenuhi syarat. Berbuat seriuslah wahai Aradhea. Jangan lagi engkau bersenda gurau dalam bersikap. Kenakanlah pakaian terbaik dari dirimu. Sudah menjadi ketetapan dari kami sejak masa lalu, jika dirimu yang nantinya akan menerima. Sekaranglah waktunya."
Satu tetes air mata tiba-tiba mengalir di pipi Aradhea. Emosinya membuncah, lantaran rasa hati dan beban kehidupan yang lama tertahan. Namun, ia berusaha untuk tetap tenang.
"Apa yang harus aku lakukan?"
Pria itu melepaskan belaiannya.
"Datanglah ke Curug Runting di Gunung Pranama, hari ini, atau esok. Sesampainya di sana, engkau akan kutunjukkan jalan."
Aradhea tertegun sejenak. Ia hanya pernah mendengar nama Gunung Pranama, boro-boro pernah menginjakkan kaki di gunung tersebut, apalagi untuk mengetahui di mana lokasi Curug yang disebutkan.