Ketika hati kecil bicara, tiada pernah ia berdusta. Ketika akal sehat mengarah, mustahil memberi arah terserah.
Bentang wilayah di tempat Gunung Pranama berdiri gagah, terdapatlah suatu kearifan lokal mengenai arti sebuah gunung. Yaitu guru nu ageung, atau berarti 'guru yang agung'. Falsafah ini tanpa disadari telah menjadi landasan bagi orang-orang yang memiliki hobi mendaki gunung.
Benar, meski tak mereka sadari.
Sila tanyakan kepada siapa saja inshan yang suka haiking; Apa sih yang dicari hingga mau bersusah payah untuk mendaki gunung? Maka sebagian besar dari mereka akan sangat sulit untuk mendefinisikan jawabannya secara gamblang.
Ya. Itu karena ada semacam perasaan aneh yang mengalir di dalam diri mereka, kemudian memberikan semacam kepuasan yang sulit dijelaskan.
Dalam falsafah tersebut, diri seorang manusia adalah buana alit, atau alam kecil, sedangkan jagad raya merupakan buana ageung, atau alam semesta. Batin atau kalbu manusia selaku sentral yang menggerakkan tubuh, akan selalu memanifestasikan wujud simbolis dari apa-apa yang ada di alam semesta ini.
Misalnya, seorang manusia ada yang bersifat seperti matahari yang menyinari, bulan yang meneduhkan, langit yang menaungi, atau bintang yang memberikan arah. Manusia juga bisa bersifat seperti bumi yang memberi lahan bertumbuh, lautan yang berpandangan luas serta menampung segala ilmu, atau hujan yang menghidupkan lagi menyejukkan. Pun manusia memiliki sifat api, air, tanah, angin, pohon, batu, atau bahkan binatang, jin, dan iblis. Intinya, seluruh isi alam semesta dapat menjadi simbolis dari sifat seorang manusia, atau bahasa gampangnya, semua ada di dalam kalbu manusia.
Guru nu ageung. Hakikat gunung adalah titik sentral antara buana alit dengan buana ageung. Gunung ibarat simbolis kehidupan yang lebih kecil dari jagad raya, dan simbolis kehidupan yang lebih besar dari kalbu seorang manusia. Fase kehidupan yang ada di gunung bisa saja baik, tenang, damai atau sentosa. Bisa pula menjadi buas, liar, kejam, atau menghancurkan. Persis seperti persifatan manusia dan 'sistem sosial' yang terjadi pada masyarakat dunia. Karena itu untuk mendalami falsafah tersebut seorang manusia harus lebih dahulu bersifat Silas —silih asih, silih asah, silih asuh. Yakni saling mengasih, saling mengasah, dan saling mengasuh, yang pada intinya menerapkan cinta pada dirinya, sesama, dan makhluk apa pun dalam laku kehidupan yang dijalani.
Gunung memang menjadi nuansa tersendiri di hati banyak orang. Para pendaki gunung, tentunya. Bagi mereka yang mengerti akan hakikat gunung, mereka senantiasa mengikuti hati kecil yang bicara, dan juga akal sehat yang mengarahkan. Menjadikan hati kecil sebagai 'guru yang agung'.
"Ah ... iya, Lash. Ayo kita lanjutkan perjalanan." Aradhea berkata pada Kaylash dengan perasaan semangat.
"Oh, ya, gue pinjem handphone lo yaa," pinta pemuda berjiwa pemimpin itu.
Kaylash mengeluarkan ponsel lalu memberikan padanya. Aradhea bahkan ponsel pun belum memiliki, kecuali hanya simcard-nya saja.
Mereka kemudian bergegas menjauhi arah Curug Runting, menelusuri aliran air dan mencari lereng yang agak landai agar dapat menyeberangi punggungan tebing. Tak lupa pula mereka mengeluarkan senjata tajam beserta warangka yang diletakkan di pinggang guna membuka jalan.
Kelembaban tanah di Gunung Pranama begitu tinggi, hingga menyulitkan kedua pemuda itu tatkala mendaki area terjal yang tidak terdapat semak belukar dan akar-akar pohon. Bahu membahu. Menaklukkan diri sendiri. Saling meraih dan menyangga demi tercapainya pejuangan kala menyeberangi tebing.
Aradhea sungguh-sungguh fokus memperhatikan kondisi sekitar. Setiap waktu sepuluh menit perjalanan, ia mengambil objek gambar yang menurutnya cukup penting dengan ponsel milik Kaylash.
"Kita musti nyebrang lewat sana, Lash. Kalau enggak, bisa habis kita."
Sesampainya di medan yang cukup landai, Aradhea menunjuk pada hutan rotan yang berada di depan mereka. Segila-gilanya pemuda tegar itu berkelana, tak sampai hati ia menyakiti tubuhnya dengan infeksi tusukkan duri-duri.
Kaylash mengacungkan ibu jari, tanda setuju dengan instruksi sahabatnya itu. Semenjak keberangkatan, ia memang memosisikan diri sebagai ajudan. Di mana Aradhea akan menuju, di sana ia akan mengawal. Tanpa komplain sedikit pun.
Mereka lantas mencari celah jalan, agar dapat melampaui hutan rotan. Menggasak semak belukar yang tertutup rapat.
"Perjalanan yang lumayan."
Aradhea mengembuskan napas panjang, bertopang pada sebuah batang pohon di area dengan kemiringan tiga puluh derajat. Ia paham, Gunung Pranama meski bukan gunung yang terbilang tinggi —apabila dibandingkan dengan gunung-gunung yang ada di Pulau Jawa— namun mempunyai wilayah pendakian yang ekstrem. Maka itulah ia tidak sedikit pun berani meremehkan.
"Lash ... lihat," serunya, dengan tangan menunjuk pada satu area yang agak jauh. Mereka melihat tiga buah padma raksasa —Rafflesia Arnoldii— pada medan terjal di bawah pohon berlumut hijau. Letaknya berderet segaris lurus dengan pohon di atasnya. Masing-masing mungkin berukuran satu setengah meter.
"Wah, luar biasa, De. Masya Allah." Kaylash bergeleng-geleng sambil mengatur napas, pula bersandar pada batang pohon di sisi Aradhea.
"Oh, ya, nanti di depan sana, kita ambil garis lurus ke arah timur. Beliau bilang, kita jalan ke arah timur sampai melihat sebuah batu besar," ujarnya sambil melihat mimik Kaylash yang sedang tersenyum.
"Oke, De. Tapi gimana kalau kita istirahat dulu? Aku mau makan dan salat."
"Oke, siap ... siap."
Mereka kemudian mencari zona kecil yang agak datar dan terbuka untuk beribadah sekaligus santap siang. Pesona asri alami dari rimbun belantara terasa menemani istirahat mereka di atas matras.
"Cuacanya agak mendung, De." Mereka bercakap sambil menikmati hidangan
"Iya. Di sini juga kabutnya tebal banget, Lash."
"Sekarang jam ... satu lewat." Kaylash melihat jam tangan. "Tapi kayak udah sore."