"Subhanallah ... aku kagum sekali, De."
Tak henti-hentinya Kaylash mengagungkan kebesaran Tuhan, sampai-sampai tubuhnya gemetar. Bukan gemetar karena rasa takut, melainkan karena rasa takjub. Selama beberapa saat tatapan mata jernihnya tidak berpaling dari sebuah batu besar berwarna hitam pekat di antara hijaunya panorama yang ada. Jarak sekitar empat ratus meter di seberang tebing.
Begitu pula dengan Aradhea. Raut wajahnya tampak serius sebab merasakan sesuatu yang fenomenal di depan mata. Ia menjawab pernyataan Kaylash dengan satu anggukkan kepala
"Benar, Lash, Subhanallah. Gunung Pranama emang luar biasa," balasnya, kemudian melihat kompas yang arahnya sesuai dengan posisi batu.
Tempuhlah jalan ke arah timur.
"Arahnya benar-benar tepat, Lash." Aradhea tersenyum sembari menggelengkan kepala.
"Ya, sejak awal aku bilang kalau mimpi kamu memang sesuatu yang benar, De. Oh, ya. Terima kasih yaa, sudah mengizinkan aku untuk ikut menemani kamu."
"Hah!" Aradhea menengok. Ia bagai baru kali pertama mendengar pernyataan yang begitu tulus dari Kaylash. Emosi dan esensi dari apa yang dikatakan pemuda itu sungguh berbeda ia rasakan. Seolah-olah tiada lagi ego dan 'sifat merasa' yang menyerta di dalam hubungan pertemanan mereka.
"Justru gue yang terima kasih sama lo, Lash. Mungkin gue bisa jalan sendiri, tapi rasanya emang beda kalau gue udah jalan bareng sama lo. Jadi, gue yang seharusnya bilang terima kasih."
"Iya, De. Ini kesempatan yang sangat jarang. Dari dulu, kalau kita yang merencanakan, enggak pernah terjadi. Antara kamu yang sibuk, atau aku yang enggak bisa. Hahaha."
"Yah, Alhamdulillah." Aradhea menepuk pundak Kaylash. "Ayo, kita ke sana."
Perlahan namun pasti, mereka amat berhati-hati menggasak jalan menuruni lembah. Aradhea senantiasa menjejakkan tumit pada tumpuan yang aman, sambil sesekali mencari celah terbuka untuk dapat melihat posisi batu hitam abnormal yang menggantung di kemiringan tebing itu.
Mereka kemudian sampai di dasar lembah, menyebrangi aliran air sembari mencari area yang terbuka lebar, supaya bisa melihat kecocokan antara arah kompas dengan batu besar yang dituju. Keduanya pun menaiki batuan setinggi dua meter yang membelah aliran air.
Di hadapan mereka terpampang batu yang dimaksud, jarak kisaran dua ratus meter ke depan dan empat puluh meter ke atas.
Suara gemuruh bernada rendah mulai datang secara berkesinambungan. Langit berubah mendung. Binatang-binatang hutan bernyanyi dengan irama yang saling bersahut-sahutan.
"Ayo, Lash, kita lanjutkan perjalanan," seru Aradhea, merasa yakin dengan posisi garis lurus imajiner menuju batu besar.
Mereka pun bersegera angkat kaki, menggasak semak belukar dan memanjat akar-akar yang menjorok dari medan tempuh yang cukup terjal. Terus bergerak dalam waktu sekitar dua puluh menit.
Di balik hijaunya rerumputan, tumbuhan paku-pakuan dan batang pepohonan, tersibaklah keberadaan sebuah batu besar yang menggantung di kemiringan lembah.
Setengah pangkal batu terbenam di area tanah yang agak datar, sedangkan sisi sebelahnya ditopang satu batang pohon raksasa yang hampir mati. Di setiap sudut batu terdapat dua akar vertikal memanjang seukuran bambu betung yang juga menahan batu supaya tidak menggelinding. Adapun panjang batu tersebut secara keseluruhan berkisar enam meter, lebarnya hampir tiga meter, dan tinggi tiga setengah meter. Bagian bawah batu berbentuk agak bulat, sementara bagian atasnya persegi panjang. Persis seperti mobil truk molen dalam posisi terjungkir.
Mereka amat terkesima, mengamati setiap jengkal suasana sekitar. Tak habis pikir dengan pengalaman yang baru saja mereka dapatkan.
Aradhea seketika merasa kedatangan sosok misterius pemilik harta karun. Pemandangan yang ia lihat pun nyaris sama dengan kehadirannya ketika di Curug Runting.
"Naiklah kamu ke atas batu ini," ujarnya di tengah-tengah kabut tebal yang menyelimuti pangkal pohon penopang batu.
"Baik, Panembahan."
Secara tak sadar Aradhea menjawab perkataannya. Kaylash hanya dapat mendengar suara Aradhea, tanpa mampu mendengar apalagi melihat lawan bicara sahabatnya itu. Namun ia tidak bertanya lantaran paham akan perihal tersebut.
Aradhea menengok pada Kaylash yang memperhatikan. "Kita disuruh naik ke atas batu ini, Lash," ujarnya.
"Yaa Allah." Kaylash tertawa kecil, melihat kondisi batu besar, lalu meletakkan ransel dan mencari-cari sesuatu.
"Lo mau ngapain?"
"Ambil peralatan."