"Lo bawa parang milik Romo lo nih, Lash."
"Lho, memangnya kenapa, De?"
"Kita tukar, buat jaga-jaga aja. Parang Romo lo ini bahan dasarnya dari besi keris yang asli, luar biasa tajamnya."
"Oh ... pantesan kamu jalannya cepat sekali. Ya udah, sini."
Aradhea dan Kaylash berbincang ketika bersiap memasuki lubang di dalam pohon besar penyangga. Mereka pun telah melihatnya bersama-sama dari pinggiran batu besar. Untuk menuruni lubang tersebut tidaklah butuh perlengkapan panjat tebing. Ruang di dalamnya tidak sampai tertembus ke akar pohon, melainkan berbelok arah ke dalam batu. Terdapat pula undakan-undakan yang tersusun rapi seperti anak tangga.
"Headlamp ini tahan berapa lama, Lash?" Aradhea berdiri, mengunci tali headlamp di kepalanya.
"Bisa dua hari," jawab Kaylash, sembari mengecek lampu LED portabel.
Awan hitam makin menutup sinar matahari, gumpalannya bagai menggelayut di ufuk, pada segala arah mata angin.
"Kira-kira perjalanan kita butuh waktu berapa lama lagi ya, De?"
"Hmmm ... gue juga enggak tahu, Lash. Tapi, Insya Allah stok konsumsi kita masih aman. Yang penting siapkan mental kita aja."
"Oke, De." Kaylash memanggul ransel miliknya, "Ayo," dan mempersilakan Aradhea masuk lebih dahulu.
Tubuh langsing dua pemuda itu tampaknya memberi banyak kemudahan bagi keseluruhan perjalanan yang mereka lalui. Mulai dari efisiensi waktu, medan terjal menanjak ataupun menurun, memanjat akar, hingga perlahan-lahan memasuki lubang pohon lalu menuruni undakan demi undakan di tengah-tengah ruangan sempit, pengap, dan gelap. Situasinya bagaikan melewati lorong rahasia sebuah benteng kerajaan abad pertengahan.
Seiring langkah menunduk, kondisi gelap pun kian menghampiri. Namun dinding bagian atas, kiri dan kanan dari ruang jalan di dalam batu besar tersebut terlihat berkilauan ketika terpantul cahaya senter.
"Ah, ternyata batu besar ini fosil kayu, Lash. Pantas aja tadi gue enggak bisa bikin pasak di batu ini," kata Aradhea. Suaranya terdengar keras karena memantul dari ruang jalan yang ukurannya tak sampai oleh bentangan kedua tangan.
"Wah, Masya Allah, De."
Kaylash menyoroti permukaan datar dinding dengan tatapan menelaah. Pikirannya tidak mampu mencerna lebih jauh. Raut wajahnya begitu heran dan takjub pada dinding hitam yang berkerlip titik-titik cahaya tersebut.
"Sebentar, Lash." Aradhea menghentikan langkah.
"Ini anak tangganya beda," serunya, sambil memberi penerangan pada undakan yang cukup lebar menuju ke bawah. Anak tangga di depannya itu tidak lagi pipih seperti yang mereka pijak, tetapi berbahan batu kali dan tanah.
"Ini kayaknya batas akhir batu, Lash." Jemari tangannya mencongkel-congkel pinggiran antara fosil kayu yang sudah membatu dengan batuan cadas berwarna cokelat gelap.
"Iya, De, ruangan di sana juga agak lebar." Kaylash menyoroti bagian atas, bebatuan yang telah lapuk termakan usia. Sedangkan latar belakang ruang tidak terlihat apa pun.
"Lo jalan di belakang gue ya, Lash."
Dengan langkah hati-hati, mereka bergerak menuruni anak tangga sejauh lima belas meter, sampai langkah mereka menginjak undakan terakhir yang berbatasan langsung dengan celah oval mendatar. Celah seperti lubang masuk gua yang berbentuk mata. Tinggi celah sekitar satu meter dan memiliki lebar tiga meter. Posisinya berhadapan langsung dengan anak tangga.
"Ini mulut gua yang sebenarnya, Lash," ujar Aradhea agak terkejut.