Aradhea dan Kaylash sungguh tertatih-tatih tatkala keluar dari medan sempit serta batuan cadas lorong gua nomor satu. Embusan napas mereka terdengar jelas, mendesis di sela-sela kesunyian empat lubang gua yang tertampak sorot cahaya senter.
Bising di luar, hening di dalam. Seharusnya demikian apabila bicara tentang perumpamaan kondisi seseorang. Namun kondisi itu justru terbalik. Hening di luar, bising di dalam.
Ya. Gejolak hati dan pikiran yang dirasakan Aradhea amat bergejolak. Rasa penasaran tergenang dalam satu wadah bersama perasaan resah tak keruan. Sungguh jauh berbeda dengan kondisi hening aula gua yang ke-empat.
Ia pun segera memanggil sosok yang dianggap menjadi penuntunnya.
"Wahai, Panembahan ... sekarang, lorong mana yang harus kami lalui?" ujarnya, kala pria bersorban putih itu telah hadir.
Saat itu juga Kaylash benar-benar dapat melihat wujud sang pemilik harta karun. Sesosok tubuh bersinar putih yang membelakangi dinding keempat lubang gua sambil menatap tajam dengan aura wajahnya yang teduh. Namun ia belum mampu mendengar suaranya.
Panembahan Suryadiningrat pun berkata.
"Anakku ... jika demikian, engkau tidak berbeda seperti manusia pada umumnya. Di mana engkau lebih takut pada apa-apa yang engkau pikirkan, bukan mengikuti apa kata hatimu. Tidakkah jalan yang aku tunjukkan padamu sudah engkau yakini, bahkan sebelum engkau bertanya?"
Suaranya lembut berirama mengalun, bagai desing halus yang terasa dari kejauhan. Namun kesunyian suasana membuat suaranya terdengar keras. Kaylash tertegun heran menyaksikan pertemuan antara sahabatnya dengan sosok penunjuk jalan itu.
"Tidak, Panembahan. Aku memang sewajarnya manusia biasa, tidak tahu apa-apa, dan juga, tidak ada yang spesial dari diriku ini. Itulah mengapa aku minta ditunjukkan jalan yang benar yang harus aku tempuh."
"Baiklah ... sekarang, kalian lewatilah lorong yang ini," ucapnya dengan tangan kiri menunjuk pada lorong gua sebelah kiri. Yakni lubang sebelah kanan dari hadapan mereka, lorong gua nomor tiga.
Seketika Aradhea merasakan ambigu yang serius, antara sadar dan tidak sadar, jika benaknya sedari awal keberangkatan sampai detik itu memang sudah paham akan semua arah jalan yang ditunjukkan.
Panembahan menatap dalam padanya.
"Dengarlah ... aku sudah mengantar kalian sampai di sini. Sekarang, engkau hanya dapat memanggilku dengan satu kali panggilan lagi. Assalamualaikum."
Tak lama ia pun memudar bersama kegulitaan abadi ruangan aula yang ke-empat.
Aradhea terbengong kosong, kemudian menyalakan senter dan menengok pada Kaylash.
"Ada apa, De? Ayo kita lanjutkan perjalanan," ujar sahabat kecilnya itu, dengan rasa letih yang bercampur semangat.
Melihat raut wajah Kaylash, Aradhea merasakan kesedihan karena perasaan bersalah telah mengajak dirinya turut serta. Ia jelas tidak mau mengecewakannya. Padahal, Kaylash juga tak menampakkan raut kecewa sama sekali. Benar-benar ikhlas mengikuti ke mana pun Aradhea akan melangkah. Di sisi lain, Kaylash tengah merasakan suatu gelombang menderu bernada rendah yang terdengar sangat berat. Terkadang datang dan terkadang hilang.
"Ayo, Lash. Kita tempuh jalan yang ini. Nanti aku ceritakan." Aradhea melangkah gontai, seakan-akan hilang semangat dalam dirinya.
"Ayo," pemuda yang tidak mengenal kata menyerah itu pun mengikuti langkah.
Mereka kembali menempuh batuan cadas sepanjang lorong ke-tiga yang sempit dan terjal. Sampai kemudian mereka berhasil keluar dari lorong tersebut, dan menemui gelanggang bertanah datar yang memiliki atap tinggi mengerucut.
Aula ke-lima. Beserta tiga pintu gua yang ada di hadapan mereka.
Aradhea jelas sudah menduga, bahwa dirinya memang harus memilih dengan benar, satu dari tiga lorong tersebut. Bagaimanapun, ia merupakan sosok pria sejati yang pantang tidak komitmen terhadap dirinya sendiri. Napas panjang pun berembus seiring posisinya yang duduk berjongkok. Ia coba tetap bertahan kendatipun secara lahir batin tenaganya sudah mulai banyak terbuang.