Gerak perlahan mereka sudah melewati tapal batas kedua ruangan gua. Sorot cahaya dari dua lampu senter mulai meraba beberapa titik yang ada pada ruangan besar, bak mencari-cari sesuatu dalam kegelapan.
Suara kesunyian seakan berbisik melalui pekatnya lorong sempit yang belum terjamah, perlahan-lahan besatu dengan suara aliran air yang mengalir melewati permukaan bebatuan.
Langkah lamban bagai menyeret kaki itu pun sontak menjadi setengah berlari, melihat sebelah kiri ruangan yang mereka terangi.
Namun hanya berjarak beberapa meter, langkah cepat dari kedua pemuda itu seketika terhenti. Mereka terperangah dalam pisisi berdiri. Menatap kosong pada mata air turunan dengan bebatuan karst putih yang bersusun-susun dan membentuk beberapa kolam bertingkat di bawahnya.
Ya. Ruangan gelap tersebut beratap sangat tinggi, dengan luas ruangan mencapai dua ratus meter persegi.
"Yaa Allah."
Kedua lutut Aradhea menumbuk tanah. Napasnya tersengal tak teratur dengan wajah yang sulit dilukiskan.
Rasa bersalah, lelah, gagal, merana, kecewa, menghunjam buas ke dalam benaknya. Posisi mereka jelas kembali ke ruangan besar pertama. Mereka paham, secuil pun tiada kondisi yang berubah. Persis seperti dalam ingatan mereka yang masih belum menguap sedikit pun.
Kaylash hanya bergeming tanpa bisa berkata-kata.
Aradhea. Tidak tahu lagi harus berbuat apa. Situasi ruangan besar hanya ada dua sorot senter yang tidak bergerak, serta suara kerucukan air di tengah-tengah kebekuan pikiran mereka.
"Yaa Allah ... kumohon, tolonglah kami."
Aradhea berbisik seraya meminta pertolongan. Arah pikirannya bukan lagi berharap akan harta karun. Namun khawatir jika mereka berdua tidak bisa pulang dengan selamat. Ia coba menguasai diri, memejamkan mata sembari mengheningkan cipta secara paripurna.
Beberapa saat, ia mampu merasakan kehadiran Panembahan Suryadiningrat, meskipun sosoknya tidak menampakkan diri. Sosok tersebut bagai menatap dari balik tabir kegulitaan seluruh lorong gua yang tersambung. Hati kecilnya merasa yakin, bahwa jalan yang mereka tempuh sudah benar dan sesuai.
Ia pun beranjak, mendatangi area air terjun kecil dan kolam-kolam yang ada di sudut ruangan. Kaylash segera mengikutinya, mendaki sedikit ke arah bebatuan cadas yang mengalirkan tumpahan air ke segala sisi.
Aradhea lantas meraba-raba dinding bebatuan di samping kerucukan air sambil meneranginya dengan cahaya senter. Terus meraba-raba ke arah kiri sampai sejauh tiga belas meter dari kolam-kolam air terjun. Ia kemudian menerangi beberapa titik di dinding berbatu cadas yang berhadapan dengan bebatuan karst aliran air.
Ia meletakkan ransel, mengambil bayonet dan martil, kemudian mencari celah kecil yang sesuai dengan arahan hatinya. Setelah itu ia menancapkan bayonet ke dinding dan memukul keras gagang bayonet dengan martil.
Tiba-tiba saja dinding gua mendadak runtuh. Menyibakkan cahaya kemilau dari balik reruntuhannya. Kondisi ruangan yang terdapat pancuran air dan kolam-kolam itu pun berubah menjadi terang benderang.
Pemandangan yang ia saksikan menjadi sama persis dengan visualisasi di dalam mimpinya.
Ia segera memasuki ruang reruntuhan. Melihat jelas rangkaian benda-benda bernilai tinggi. Lantakan emas, pusaka, intan, permata, logam mulia, serta batuan berharga.
"Kaylaaash ..." Aradhea berteriak. Suaranya menggema ke seluruh penjuru ruangan. Wajahnya terlihat jelas lantaran kemilau sinar cahaya yang berpendar memenuhi seisi ruang reruntuhan.
"Kaylash ..." Teriaknya lagi sembari menengok, tetapi tidak menemukan temannya itu masuk ruangan, atau bahkan sekadar tanda-tanda manakala mengikutinya.
"Laaash ..." Ia kembali berteriak. Namun tetap tidak ada jawaban. Tak lama ia segera berbalik badan dan bergegas kembali mendatangi ruangan besar.
Sungguh. Pemuda itu amat terkejut dan panik menemukan sahabatnya terkapar di sisi kolam pancuran air.
Seketika itu juga ia berlari mendekat, kemudian berjongkok dan menggoyang-goyangkan tubuh Kaylash sambil terus memanggil-manggil namanya. Sekuat mungkin melawan segala rasa yang ada. Berusaha untuk tetap tenang. Ia lalu melihat botol minuman yang dipegang Kaylash telah berubah warna menjadi agak gelap.
Di tengah kepanikannya, ia mengambil satu kotak korek batangan, menyelupkan satu batang korek api ke dalam kolam pancuran air selama beberapa detik. Setelah itu batang korek api tersebut digesekkan pada sisi pembakaran. Batang korek api itu pun terbakar. Ia melakukan hal tersebut sekali lagi, dan menemukan hal yang sama. Ia jelas paham, jika hal tersebut terjadi, maka sangat bisa dipastikan bahwa air yang diminum Kaylash mengandung racun.
"Aku harus berbuat apa? Yaa Allah. Aku harus berbuat apa?" bisiknya dalam kesendirian di tengah kesunyian. Napasnya kian memburu. Ia kembali duduk, dan melihat bibir Kaylash sudah mulai membiru.
Beberapa saat setelahnya, ia merasakan kehadiran seseorang yang berdiri di depannya. Berbayang-bayang terkena sinar cahaya harta karun dari balik reruntuhan.
"Yaa Allah." Ia meratap, seraya menatap sahabatnya yang terus saja memandangi dirinya.