Apabila Tuhan yang menurunkan cinta pada diri setiap manusia, maka Tuhan pula yang menurunkan hujan pada alam mayapada.
Bersamaan dengan angin yang berembus kencang, hujan lebat belum juga reda mengguyur Dwipa Pranama pada waktu siang menjelang sore. Seakan-akan menampar permadani vegetasi yang tumbuh di atasnya. Selendang kabut tebal terkadang datang dan sebentar kemudian hilang, menjadikan jangkauan pandang hanya sebatas lima meter ke depan.
Romo Mugi dan Paklik Supa sedang berteduh di bangunan pos pintu masuk objek wisata air terjun paling tinggi di lokasi gunung tersebut. Baru saja mereka menuruni jalur pendakian via Curug Runting, yang notabene bertabir mistis bagi kalangan makulat.
Cukup lama mereka berbincang-bincang dengan petugas jaga, menunggu hujan yang masih belum rida untuk membuka jalan.
Sejak suara keras angkasa terdengar beberapa menit yang lalu, perasaan Romo Mugi terus bergejolak lantaran teringat akan Kaylash dan Aradhea. Benaknya merasa terpanggil-panggil untuk kembali ke atas gunung.
"Demi Allah, perasaan saya sungguh tidak keruan," bisiknya pada Paklik Supa yang sudah dianggap sebagai adik sendiri.
"Terus, apa yang harus kita lakukan, Kangmas?" tanya pria yang usianya sedikit di bawah sosok gurunya itu.
"Kita kembali ke atas," ujarnya.
"Sekarang?
"Ya, sekarang. Batin saya mengatakan demikian."
Romo Mugi kemudian bilang pada petugas jaga untuk melakukan sebuah ritual di salah satu area Gunung Pranama. Tak diragukan lagi memang, ketika pria itu harus berdialektika dengan orang awam, ia benar-benar mampu menghipnotisnya secara perlahan. Petugas jaga pun mempersilakan mereka untuk kembali ke atas, meskipun curah hujan masih lebat dan teriakan awan gelap terus bersahut-sahutan.
Setengah jam kemudian, mereka sampai di Curug Runting, di tempat perpisahan mereka dengan Aradhea dan Kaylash.
Mereka melihat beberapa pengunjung tengah berteduh di sebuah bangunan yang letaknya di atas tebing, arah masuk menuju kawasan Curug Runting.
"Kangmas ... sungguh. Seumur hidupku belum pernah melihat Panjenengan merasa resah seperti saat ini. Aku menjadi sangat takut, Kangmas. Ada apa sebenarnya?" Paklik Supa berkata dengan niat membantu sosok Gurundanya tersebut.
"Entahlah, Pa." Tatap mata Romo Mugi mengawang pada salah satu puncak Gunung Pranama dari kejauhan. Ia kemudian menoleh.
"Kamu tunggu sebentar di sini. Saya mau melakukan ritual penerawangan," kata pria berbusana gamis yang telah basah itu.
Namun baru saja Romo Mugi hendak melangkah, Paklik Supa memanggilnya lagi.
"Kangmas, tunggu."
"Ada apa?"