I close my eyes, only for a moment, and the moment's gone.
All my dreams, pass before my eyes, a curiosity.
Dust in the wind.
All they are is dust in the wind.
Siang hari cakrawala menampakkan keteduhan suasana yang hampir tak berbeda dengan saat-saat menjelang senja. Awan pekat hanya bergerombol, dan tidak sedikit pun menitikkan rintiknya menuju bumi.
Aradhea duduk di kursi ruang tamu dengan sikap santai serupa orang dewasa.
Pikirannya kembali teringat pada Kaylash dan Romo Mugi yang berpisah dengannya sejak dua hari lalu. Kala itu Aradhea meminta untuk diturunkan di Jakarta, meskipun Romo Mugi tidak mengizinkan, Aradhea sangat keras kepala dan memohon untuk menepikan kendaraan di pinggir jalan.
Ia lantas mengambil satu dari dua cangkir teh yang ada di meja, meminumnya dengan sikap yang sangat menikmati rasa. Setelah itu ia meletakkannya kembali, di samping ponsel yang baru saja dibeli.
Pikirannya kemudian teringat pada Mbah Sayyidi, yang menurutnya akan datang pada hari itu. Mungkin ada urusan, atau apa pun. Tapi sebentar lagi pasti akan pulang. Seperti itulah praduganya pada sang kakek.
"Assalammualaikum."
Beberapa saat kemudian, terdengar suara berat seorang pria yang disambung dengan terbukanya pintu rumah.
"Waalaikummussalam."
Aradhea menjawab sambil tersenyum, lalu menggapai tangan Mbah Sayyidi. Pria sepuh itu duduk di depannya, lalu meminum teh yang masih hangat. Ia pun mengembuskan napas panjang.