Gue gak percaya kalau hari ini bakal terjadi sama gue. Hari di mana gue searching ke internet tentang cara menolak cowok agar tidak sakit hati. Ya, gue sedang menyiapkan amunisi untuk bicara sama Mas Rio. Sosok yang udah tiga hari ini gue tungguin kehadirannya lewat dua belas digit nomor asing di layar ponsel. Tapi gak ada.
“Aduh, jadi anak kuliahan gini amat ya. Enakan gue tinggal nikah deh ini para dedemit tugas.”
Belakangan ini kalau dengar kata ‘nikah’ telinga gue jadi sensitif. Gue pun langsung memelototi Salma yang duduk di hadapan gue.
“Calonnya ada?”
“Ada. Gue tinggal nyusulin my oppa ke Korea terus ajakin nikah deh.”
Wah. Gue makin gak ngerti sama diri gue sendiri yang mampu bertahan sahabatan sama manusia sejenis Salma. Perempuan yang gak mau pacaran karena menganggap semua cowok itu berengsek, tapi dia masih punya pacar haluan yang tiap hari nampang di layar ponselnya sebagai wallpaper. Gue bukan tipe orang yang suka ngomong karena bicara itu melelahkan, jadi gue memilih tidak menanggapi Salma lebih lanjut.
Di kafe yang dipenuhi pasangan kasmaran ini tiba-tiba gue merasa jadi alien. Ketika meja-meja lain diisi sepasang anak manusia berlawanan jenis, gue malah duduk dengan makhluk sejenis yang sebenarnya sifatnya sangat bertolak belakang dengan gue. Niatnya sih kita mau nongkrong, tapi yang ada malah Salma sibuk nyicil tugas kampusnya dan gue masih berkutat dengan halaman blog tentang cara menolak cowok. Kalau Salma sampai tahu apa yang gue cari tahu, udah pasti gue bakal mampus diledekin terus.
Lalu tiba-tiba ponsel gue bergetar menampilkan pesan dari nomor tak dikenal. Untungnya ini bukan pesan penipuan dari pinjaman online, judi online, maupun santet online. Ini dari Mas Rio.
+6281234567890
Assalamualaikum. Ini Mas Rio.
Pesan singkat yang tanpa perlu berpikir panjang langsung gue balas seadanya.
Gue
Waalaikumsalam. Ini Tari.
Dan selanjutnya pertanyaan basa-basi standar terjadi. Pertanyaan semacam lagi apa, di mana, sama siapa, dan udah makan atau belum. Benar-benar tak perlu dibahas. Gue jadi geregetan karena Mas Rio gak juga membahas hal yang ingin gue selesaikan. Gue pun berinisatif memulai karena gak mau terlalu banyak buang tenaga untuk hal yang gak penting.
Tapi...
“Lo lagi chat sama cowok? Siapa?”
Si Salma kumat dengan kehebohannya.
“Bukan siapa-siapa.”
“Bohong. Lo tuh gak pernah bales chat cowok mana pun kecuali waktu dapat tugas kelompok jaman sekolah dulu. Itu siapa, Tar?”
Gini nih nasibnya sahabatan bertahun-tahun. Gue gak bakal bisa bohong ataupun menyembunyikan sesuatu dari orang yang jadi tong sampah gratisan akan unek-unek gue selama ini. Begitu pun sebaliknya. Salma sangat mengenal gue, bahkan dia tahu tentang gue jauh lebih baik dari diri gue sendiri. Kalau dipikir-pikir, orang tua gue kayaknya juga kalah.
“Ini Mas Rio. Orang yang bapak gue harapkan jadi menantunya.”