Sore itu, terlihat seorang gadis berparas cantik berjalan dengan langkah gontai, dia mencoba untuk menerobos kerumunan pengunjung yang sedikit berjubel sesaat setelah pameran lukisan dibuka. Selain itu, penampilannya terlalu kasual untuk mengunjungi salah satu galeri lukisan bergengsi di pusat kota Jakarta.
Gadis itu mengenakan baju rajutan ketat selutut berwarna merah muda yang dipadu legging hitam yang membungkus kakinya dan sepatu ket. Rambutnya yang diikat ke belakang menonjolkan dahi dan tulang pipinya. Kehadirannya sedikit membuat perhatian beberapa pengunjung pameran tersita hanya untuk tatapan mata penasaran akan sosok gadis itu.
Sementara itu, di antara keramaian pengunjung, nampak pemilik sebuah galeri lukisan bernama Antony meraba guci-guci antik dalam wadah kaca, untuk tetap memastikan kaca-kaca itu tidak kotor. Dengan teliti, pria itu memandang setiap detail barang-barang seni dan antik di setiap bagian stand pameran di galeri miliknya di lantai 7 sebuah apartemen elit di kawasan Menteng.
“Andre, coba kamu cek lagi kondisi ruangan pameran ini!” perintah Antony pada asistennya.
Mereka all out, totalitas dalam menginvestasikan waktu dan tenaga untuk mempersiapkan pameran malam ini. Karena itulah mungkin Antony tidak terlalu heran jika malam ini hasil jerih payahnya akan memanen decak kagum pengunjung terutama dari kalangan penikmat seni yang borjuis dan hedonis.
Begitupun dengan Andre, sang asisten juga nampak begitu bersemangat dan ramah menyapa kepada setiap pengunjung pameran. Di salah satu sudut ruangan, Antony terlihat sedang berbincang-bincang dengan dua orang pengunjung pertama. Mereka mengamati lukisan naga berwarna merah di tengah ruangan. Bila mereka benar-benar memperhatikan, warna naga itu dilukis dengan 25 warna merah yang berbeda.
“Luar biasa, untuk kolaborasi satu warna saja bisa berbeda menjadi beberapa warna dengan warna dasar merah. Boleh tahu mungkin ada referensi warna yang diberikan oleh pelukisnya?” tanya salah seorang pengunjung pameran.
Antony berusaha mengingat daftar nama warna merah yang telah diberikan oleh pelukisnya.
“Hmm.. ada merah magenta, merah fuchsia, merah maroon. Hanya ini yang saya ingat,” jawab Antony tersenyum.
Selain ke-3 warna tersebut, tidak terlintas satu warna lain pun di pikirannya. Namun, mendadak kehadiran seorang pengunjung yang baru memasuki ruangan telah mengganggu konsentrasinya. Antony memperhatikan gadis itu dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
“Tunggu, siapa gadis itu? Ada sedikit aneh dengan dia?” gumam Antony.
“Hmm.. apa yang sedang dilakukannya di sini?” pikir Antony dalam hati penasaran.
Pandangan Antony tak hendak lepas dari gerak-gerik gadis tersebut. Gadis itu mengitari ruangan seperti komidi putar. Langkahnya baru berhenti, ketika melihat jendela kaca di salah satu sisi galeri yang menghadap ke bagian depan.
Kaca yang berbingkai aluminium yang bisa dibuka. Dia mengamati pemandangan di luar, seperti layaknya seorang pengamat seni yang sedang menafsirkan makna sebuah objek lukisan. Bangunan dengan berbagai bentuk dan warna berdiri dilatarbelakangi langit senja.
Antony membatalkan niatnya untuk mengikuti gadis itu, ketika mendengar ponsel miliknya berdering. Belum sempat mengangkat ponselnya, dia merasakan hawa dingin menyeruak di segala penjuru ruangan. Angin menerbangkan kertas-kertas di atas meja. Antony bergegas menuju jendela yang sudah terbuka.
“Lho... kenapa kertas-kertas ini berterbangan, khan jendelanya tertutup!” celetuk Antony sambil menoleh ke arah jendela.
Dari ambang jendela, Antony melihat gadis itu sudah berada di sisi luar tembok gedung, berdiri di atas balkon tanpa pagar selebar 30 sentimeter. Dia merapatkan tubuhnya di dinding. Pemilik galeri itu tidak pernah menganggap balkon itu sebagai balkon. Namun dia lebih suka menyebutnya sebagai ornamen gedung bergaya baroque yang tidak ada gunanya selain menjadi toilet umum burung merpati. Sekarang Antony tahu bahwa pendapatnya tentang gadis itu salah.
“Nona apa yang kamu lakukan di sana? Demi Tuhan, Andre cepat hubungi polisi!” teriak Antony kepada asistennya, sambil mengusap titik-titik keringat di dahinya.
Seketika suasana ruangan pameran jadi kacau. Pengunjung berusaha untuk mendekati jendela, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Bahkan kabar gadis mau bunuh diri sampai ke telinga pengunjung pameran lainnya. Dengan rasa penasaran, Antony dengan tergopoh-gopoh bergegas berlari menuju ke jendela di mana gadis itu berdiri. Dengan sekuat tenaga menyeruak dan menerobos kerumunan pengunjung hingga dia melihat dengan jelas siapa gadis yang hendak bunuh diri itu.
“Nona! Apa yang akan kamu lakukan di sini? Stop, jangan diteruskan! Bahaya!” teriak Antony.
“Tidak! Lebih baik aku mati! Siapa kamu, percuma kamu membujukku!” teriak gadis itu dengan tatapan putus asa.