TRIAD

DENI WIJAYA
Chapter #2

DEPRESI #2

Gadis itu sepertinya sudah sulit untuk bergerak karena udara dingin yang membekukan semua tulang persendiannya. Dengan sedikit khawatir, Ronald berinisiatif harus segera mendapatkan tubuh gadis itu, jika terlambat maka dapat dipastikan gadis itu akan benar-benar terjatuh seperti bongkahan es.

Ronald mencari pegangan supaya bisa lebih menjangkau gadis itu. Dia meraih lengan yang kaku seperti sepotong kayu. Ketika menariknya untuk berdiri, tubuh gadis itu gemetar tidak terkontrol. Dia merengkuh dan mendekapnya erat. Gadis itu membenamkan kepalanya dalam-dalam di bahu Ronald. Dengan serta merta Ronald membawanya masuk ke dalam ruangan pameran.

Dari bawah gedung terdengar suara tepuk tangan. Orang-orang yang tadinya bergerombol seperti koloni lebah, mulai memisahkan diri. Satu per satu mereka meninggalkan tempat itu. Lalu lintas mulai bergerak perlahan. Semuanya berjalan kembali seperti semula, seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

“Pekerjaan yang baik, Pak!” kata Antony memuji.

“Terima kasih juga, tanpa laporan Anda mungkin semua ini tidak akan terjadi. Terima kasih atas kerjasamanya,” kata Ronald balas memuji Antony.

“Saya harap kita semua kembali baik,” sahut Antony bergegas pergi.

Ronald hanya mengangguk, pikirannya masih tertuju pada gadis itu hingga dia sedikit tak menghiraukan kepergian Antony.

“Oh ya, siapa nama Anda, Nona?” tanya Ronald.

“Fransisca, panggil saja Sisca,” jawab gadis itu yang masih nampak kedinginan.

Ronald berusaha menghibur Fransisca yang masih saja menangis dan terus mendekapnya seakan tak mau lepas dari pelukannya. Untuk beberapa saat Fransisca sudah bisa tenang seraya duduk di sofa, sementara Andre menyajikan minuman hangat untuk mereka berdua.

Ronald masih khawatir dan cemas akan kondisi psikologis gadis itu.

“Nona, apa yang membuatmu melakukan tindakan seperti ini? Begitu beratkah hingga kamu ingin melupakan semuanya?” tanya Ronald.

Namun bukannya jawaban yang diperoleh, melainkan hanya tatapan kosong gadis itu. Trauma atau depresi. Mungkin untuk sementara waktu, gadis itu enggan untuk bicara.

*Satu hari sebelumnya….

“Minta tolong Bill-nya dong!” teriak A Hong sambil melambaikan tangannya pada salah seorang pelayan restoran.

Menyadari dirinya dipanggil, bergegas sang pelayan restoran pun menghampirinya dan memberikan tagihan untuk semua menu makanan yang dipesan A Hong.

Kemudian A Hong menyerahkan beberapa lembar uang kepada pelayan restoran tersebut, “Kamu ambil saja kembaliannya.”

“Terima kasih, Om!” sahut sang pelayan restoran.

Saat mereka hendak meninggalkan restoran, A Hong menghampiri Bonny yang masih disibukkan dengan ponselnya.

A Hong membisikkan sesuatu di telinga Bonny, “Bon, ayo kita lanjut ke Rose Night Club ya... nanggung masih jam segini!”

“Buat apa kita ke sana, bos?” tanya Bonny lirih.

Kini A Hong sudah duduk di samping Bonny. Perlahan kedua tangannya memegang bahu Bonny, dia mencoba memalingkannya persis berhadapan dengannya. Kedua bola matanya menatap tajam ke arah Bonny, menghujam hingga menembus relung hati yang paling dalam. Tatapan mata A Hong membuat jantung Bonny berdebar, berdetak semakin cepat hingga aliran nafasnya tidak teratur.

“Kita akan bersenang-senang,” bisik A Hong dengan mimik wajah serius.

Bonny memandang A Hong dengan tatapan mata tajam, ada gejolak rasa yang bergemuruh dalam rongga dadanya. Jantungnya mendadak berdegup lebih kencang. Sementara A Hong membalas pandangan Bonny dengan tatapan mata penuh makna.

“Mau?” desak A Hong lagi.

“Bos, kamu serius mengajakku??” tanya Bonny serius.

“Iya serius!” kata A Hong.

“Boleh, aku mau,” sahut Bonny.

Lihat selengkapnya