TRIAD

DENI WIJAYA
Chapter #4

PREMAN PASAR SENEN #4

Dalam perjalanannya menuju Pasar Senen, mereka terkagum-kagum memandang deretan gedung pencakar langit yang tinggi dan megah. Mall-mall besar dan ruko-ruko berjejer sepanjang jalan. Pemandangan yang begitu asing karena sangat berbeda dengan daerah asal mereka.

Apa yang sudah mereka saksikan telah menggumpalkan api yang membara dalam diri mereka. Entah apa yang ada di benak Jefry, Willy dan Tommy masing-masing saat itu.

“Hai Jakarta, aku berjanji… aku akan menaklukkanmu!” teriak Tommy

Sementara itu di pasar Senen.....

Siang itu, di pasar Senen terjadi sedikit kekacauan. Beberapa pedagang pasar menghentikan kegiatannya. Para pembeli, yang kebanyakan ibu rumah tangga, berlari ke pinggir lalu masuk ke sela ruang menjual para pedagang. Beberapa orang mengejar seorang pria kekar dengan kulit tubuhnya penuh tato.

Beberapa dari mereka, menghunus dan mengacungkan pisau. Orang-orang berteriak-teriak. Suasana jadi ricuh. Beberapa meja pedagang sayuran hampir saja terjungkal karena ruas jalan pasar yang cukup sempit.

“Hei jangan lari, dasar pecundang!” teriak salah seorang pengejar.

“HaI, jangan lari!” sahut yang lainnya.

“Kita harus kompak!“ teriak yang lain.

Pria kekar itu terus lari menuju luar kawasan Pasar Senen. Meski dia harus menerobos beberapa orang yang berdesakan rapat. Apapun yang ada didepannya, yang menghalanginya dia terjang, yang penting bagaimana dia harus bisa lolos dari kejaran para pedagang.

Namun bagi orang-orang yang sudah mengenalnya memilih untuk tak menggubris. Tak menghiraukannya. Tak memperdulikannya. Dalam hitungan detik dia sudah masuk ke sisi Barat pasar. Setelah itu lenyap hilang dalam lorong-lorong panjang.

Orang-orang itu mendadak menghentikan pengejaran terhadap pria itu. Sejenak sepertinya mereka sedang berpikir untuk melanjutkan pengejaran atau tidak. Sebelah barat pasar adalah wilayah kekuasaan preman bernama Bara. Beberapa pedagang menyebutnya ‘penguasa Pasar Senen’. Sudah sejak lama dia dijadikan kaki tangan pengamanan bagi pengelola swasta ini bila ada kebijakan yang hendak dijalankan seperti menggusur segelintir pedagang di kawasan pasar Senen.

Mereka berhenti mengejar pria itu, bagi yang mengenalnya, dialah Bara. Mereka memutuskan untuk kembali ke pasar. Mereka mungkin bertanya-tanya, ada apa gerangan mereka mengejar Bara. Namun para pedagang tak memberi jawaban memuaskan, meski sebenarnya mereka tahu, mungkin Bara hendak mulai mengusik para pedagang lagi, mungkin pula dia mau menggusur beberapa pedagang.

Dan yang pasti Bara akan mendapat perlawanan dari mereka. Sedangkan dari dulu Bara sangat enggan dan harus berpikir dua kali untuk mengusik kawasan itu karena mereka menolak untuk tunduk kepadanya.  

******

Sementara itu ada sebuah heritage kopi yang berada di sudut luar pasar tepatnya di depan sebuah ruko kosong yang sejak lama tidak digunakan untuk berjualan. Lokasi itu kerap ditongkrongi para preman senior pasar.

Beberapa preman senior seperti Boireng, yang dikenal orang paling kekar, yang disegani tidak hanya oleh preman tua tapi juga preman muda. Dia dikenal tak banyak bicara. Tapi jangan sekali-kali sok jago di hadapannya kalau tak mau dihajar di depan orang banyak. Namun sudah lama dia berhenti dari dunia premanisme. Kini dia berjualan sayuran tepat di depan lokasi bangunan tua itu.

Mereka, seringkali berbicara seputar masalah yang mengatasnamakan nyali, kekuatan fisik, dan tentu saja untuk sebuah sebutan jagoan. Di mata mereka Bara lebih dikenal pedagang maupun ‘pemain luar’ yang mencari peruntungan di pasar ini.

Namun mereka enggan menyebut Bara sebagai seorang preman karena mereka menganggap kriteria seorang preman tidak ada dalam dirinya meskipun dia kerap menebar ketakutan kepada para pedagang kaki lima.

Sebuah perusahaan daerah telah memberinya wewenang untuk mengawasi penarikan retribusi dan ‘pungutan’ lainnya serta ruang berjualan. Begitu juga dengan pengelola pasar dari pihak pengembang juga pernah menggunakan jasa Bara untuk melaksanakan pembongkaran paksa kepada para pedagang yang dianggap tidak menguntungkan mereka. 

Karena itulah, Bara dapat berbuat apapun yang berkaitan dengan hubungan sosial antar pedagang, antara pembeli dan pedagang, sampai antara pedagang dan satu perusahaan daerah, maupun antara dengan pihak developer. Dia bisa menentukan pedagang mana yang boleh berjualan.

Dia juga seenaknya sendiri menyerahkan kepada siapa untuk menjadi petugas parkir di kawasan tertentu di pasar Senen dan menentukan jumlah setoran parkiran itu. Bara pun bisa memberi tempat berjualan kepada para pedagang tertentu dengan bayaran yang cukup tinggi bahkan dia juga bisa meminta setoran-setoran dan setoran bulanan sekian banyak dengan berbagai alasan. 

Ya begitulah, siapa kuat dialah yang ditakuti. Tapi sayangnya, ada banyak preman di pasar ini dan sebagian dari mereka tak takut kepada Bara. Kalangan itu terutama di antara mereka yang kerap ngopi di warung kopi itu. Menurut mereka Bara itu bagaikan seorang pecundang yang menyebalkan yang tidak pantas untuk disegani sebagai seorang preman.

“Hai… Coky, Ramon, mampir sini.. ngopi dulu!“ sapa Bondan kepada Coky.

“Ya kesini dulu… nggak usah terburu-buru,” sahut Boireng.

Coky dan rombongan menghampiri Boireng.

“Terimakasih, Bang. Nanti sore saja. Kami masih ada perlu nih... O iya, Bang, lihat Bos Romli nggak?“ tanya Coky.

Lihat selengkapnya