“Silahkan masuk, Mas. Nggak usah malu-malu, ayo…. masuk saja. Lho… kenapa hanya berdiri di luar pintu, ayo masuk… !”ucap wanita itu kepada Tommy sambil menarik tangannya untuk masuk ke dalam kamar.
“I-iya, mbak… terimakasih,” jawab Tommy sedikit gugup.
“Masuk M… M.. Mbak.. ?!” ucap Tommy terbatah-batah.
“Iya, masuk saja. Jangan sok udik dech..!” sahut wanita itu.
Di dalam kamar, matanya bergerak kesana kemari, menjelajah ke seluruh ruang yang ada. Terlihat hanya ada satu ranjang yang cukup besar, sebuah lemari pakaian yang sekaligus merangkap sebagai meja rias. Lalu dari arah kaki ranjang, ada sebuah meja dengan sebuah kursi yang tertata rapi. Asbak, vas bunga, pernak-pernik, gelas minuman serta piring yang berada di atasnya. Poster-poster wanita setengah telanjang terpajang hampir di semua dinding kamar.
“Hmm.. beginikah ruang kerja sekaligus kamar mereka?” gumam Tommy.
“Mas.. !” tegur sapa wanita itu lagi kepada Tommy.
“Fransisca, panggil saja Sisca!” ucapnya lagi, memperkenalkan namanya. Entah nama samaran atau asli. Sepertinya Tommy tidak begitu peduli soal itu.
“Eh, iya, maaf , aku hanya mengantar temanku saja kok,” kata Tommy.
Namun Fransisca mencoba untuk menggodanya dengan mengedipkan matanya dan menggerakan tubuh gemulainya. Sementara itu, pakaian yang dikenakannya memang sangat terbuka. Dengan wajah cantiknya, pria manapun pasti akan tergoda. Tommy segera menggelengkan kepala dalam gugup. Wajahnya memerah seketika. Beberapa kali menelan ludahnya sendiri.
“Yakin.. beneran nggak mau?” goda Fransisca lagi.
Membuat Tommy semakin salah tingkah. Meskipun dia sudah malang melintang dalam dunia premanisme yang penuh dengan kekerasan namun tak pernah sekalipun dia pergi ke lokalisasi. Dan ini pertama kalinya Tommy mendatangi lokalisasi. Jadi semua serba baru dan sedikit membuatnya risih dan serba salah. Maklum, dia juga masih laki-laki normal.
“Ya-yakin,” jawab Tommy masih sedikit gugup.
Keringat mulai terlihat membasahi wajah dan pakaiannya karena ruangan yang pengap, udara yang panas serta situasi yang membuat gerah dirinya. Memaksa butir-butir peluh sebesar biji jagung itu keluar.
“Sisca, maaf. Sebenarnya kedatanganku kemari karena diajak Kak Jefry,” kata Tommy.
“Yaaa, rugi saya sebenarnya kalau begini aja, Mas..” seloroh Fransisca terlihat sedikit enggan ketika mengetahui bahwa niat Tommy tak berubah meski dia telah mencoba untuk menggodanya.
“Tenang, Mbak. Saya booking untuk satu hari satu malam pokoknya. Langsung saya bayar cash nanti, gimana?” Tommy coba menenangkan hati Fransisca.
“Waaah, kalo begitu boleh, Mas. Nggak apa-apa deh!” Fransisca kembali bersemangat setelah mendengar ucapan Tommy yang berniat membooking dirinya satu hari satu malam, hanya untuk berbincang-bincang.
Kemudian Tommy duduk di kursi dekat meja, sementara Fransisca duduk di pinggir ranjang tepat di hadapannya. Sebatang rokok terselip di sela jari-jari tangannya yang lentik.
Pada awalnya Tommy hanya basa-basi dengan sedikit canggung. Pertanyaan klasik yang biasa dilontarkan seperti para aparat dalam sidang tipiring seperti.. sejak kapan jadi pelacur? Kenapa jadi pelacur? Bagaimana dengan keluarga dan masa depannya? Apa rencana kamu setelah tua? Namun Fransisca sepertinya sudah terbiasa dengan semua pertanyaan itu. Dijawabnya tanpa ada ekspresi penyesalan ataupun sedih terlihat di wajahnya. Bahkan dia sesekali tertawa cekikian geli saat bercerita tentang pengalaman pahit getir hidupnya sebelum dan sesudah menjadi seorang pelacur.
Keakraban mulai terlihat di antara mereka, sedangkan Tommy sendiri juga sedikit mulai tenang, dia sedikit bisa menguasai emosi jiwa mudanya, jauh dari perasaan grogi sebagaimana awalnya. Dari sorot matanya, Tommy menyimpan rasa simpati akan sosok Fransisca yang sepertinya menganggap semua kejadian yang menimpa kehidupannya adalah hal-hal bodoh yang memang perlu ditertawakan. Seolah semua kepahitan hidupnya hanyalah sebuah lelucon. Meskipun Tommy sendiri sedikit meragukan kebenaran ceritanya, namun dia tak peduli dengan semuanya itu.
“Fransisca, kenapa kamu tidak pernah mencoba mencari pekerjaan lain ? Menjadi TKW misalnya.. ” tanya Tommy.
Mendengar pertanyaan itu, Fransisca yang baru saja hendak menghisap rokoknya, sejenak melirik ke arah Tommy. Mata genitnya mulai lagi menggodanya. Mulutnya sudah menganga, rokok telah berada tepat di depan bibirnya. Namun gerak tangannya berhenti.
”Aduh… Mas ini seperti tidak tahu saja, bagaimana nasib para TKW di negeri orang. Daripada berada di negeri orang tapi disiksa, diperkosa, melacur bahkan sampai dihukum mati. Yaa, mending ngalamin itu semua di negeri sendiri, Mas.. ” kata Fransisca.
Setelah berkata itu, gerak tangannya yang memegang rokok dilanjutkan. Tidak lama kemudian, asap keluar dari sela bibir dan juga hidungnya.
“Hmm.. ada benarnya juga. Tapi.. apa kamu tidak ingin keluar dari sini ?” tanya Tommy.
“Siapa sih mas yang mau kerja beginian. Mungkin aku akan sulit keluar dari sini?” sahut Fransisca sambil matanya menerawang jauh entah kemana.
“Kenapa sulit?” Tommy melanjutkan pertanyaannya, dia sedikit penasaran.
“Aku masih terlilit hutang sama Mami. Dan mungkin selamanya takkan bisa membayarnya!” balas Fransisca.
“Hutang apa sih?” lanjut Tommy.
“Kata Mami hutangku padanya sangat banyak termasuk semua fasilitas yang kugunakan disini juga harus kubayar, belum lagi bayaranku harus dipotong oleh Mami dengan berbagai alasan ini dan itu lah… “ jawab Fransisca.
“Sudahlah mas, tidak perlu dibahas hal itu. Aku disini yang penting kerja sesuai perintah Mami, aku tak mau cari masalah dengannya. Ya...semua sudah terlanjur, nasi sudah menjadi bubur. Entahlah sampai kapan aku akan disini, mungkin hanya waktulah yang akan menjawab semuanya!“ lanjut Fransisca.
“Mas sudah menikah?” tiba-tiba Fransisca melempar pertanyaan balik membuat Tommy sedikit gelagapan untuk menjawab.
“Be.. Belum. Belum laku. Masih belum ada yang mau denganku.. ” jawab Tommy dengan sedikit gugup.
Kembali Fransisca tertawa cekikikan, mirip kuntil anak yang mendapat kesenangan setelah berhasil menakut-nakuti manusia. Disisa tawanya, Fransisca kembali bertanya kepada Tommy.
“Jadi.. mas ini masih bujangan, toh? Bohong, mas ini masih muda lho.. ganteng lagi !” puji Fransisca.
Tommy tertunduk malu. Hanya menggelengkan kepala yang menjadi jawaban untuk diberikan kepada Fransisca. Kamar itu mendadak menjadi riuh oleh tawa Fransisca. Sedangkan wajah Tommy mendadak memerah menahan malu.
“Ah, kenapa mesti malu menjadi bujangan?” gumam Tommy dalam hati, mencoba untuk menenangkan dirinya.