Dalam keheningan malam, Tommy dikejutkan oleh suara tangis. Tangisan itu semakin lama semakin besar yang semakin mengusik hatinya untuk mengetahui asal tangisan tersebut. Tommy pun menoleh.
“Sisca!” celetuk Tommy.
“Kenapa kamu menangis? Kapan kamu datang? Kok tiba-tiba sudah disini?” tanya Tommy.
Nampak sesosok wanita muda duduk terpekur dalam tangis. Seluruh tubuhnya bergetar. Dan sebelum dia memberikan jawaban kepada Tommy, wanita tersebut jatuh lemas dan pingsan.
Tidak berapa lama wanita itu sudah siuman.
“Mas Tommy..” panggil wanita itu.
“Iya Sis, aku disini. Katakan apa yang sebenarnya terjadi?” balas Tommy. Kemudian Fransisca menceritakan apa yang terjadi pada dirinya.
“Mas Tommy, lebih baik aku mati!” kata Fransisca seraya menyeka air matanya. Wajahnya masih bergetar. Sementara tangannya menggenggam pisau.
“Fransisca, yang sudah berlalu biarlah berlalu. Kamu sudah menyadari kesalahanmu dan mau mengubah jalan hidupmu. Tak ada dosa bagimu. Kita harus membebaskan diri. Meninggalkan tempat ini. Bunuh diri sama saja dengan membunuh harapan orangtua kita dan merupakan perbuatan yang sia-sia!” kata Tommy berusaha untuk menenangkan hati Fransisca. Kata-kata yang sarat dengan harapan.
“Seandainya aku disuruh memilih untuk hidup, aku tidak akan memilih. Hidup itu beban!” timpal Fransisca lagi.
“Pikiran semacam itu akan berubah jika kamu mau mengubah cara hidupmu. Di dunia ini pun kita bisa menciptakan surga, kedamaian, ketenangan, kasih-sayang dan pengharapan. Percayalah, kamu tidak sendirian. Aku akan selalu ada di sampingmu. Aku berjanji. Sisca, kita akan melewatinya bersama-sama!” kata Tommy.
“Sekarang, kembalilah. Jangan sampai Mami mengetahui kau kemari, nanti akan semakin memperumit masalah. Jaga dirimu baik-baik ya…..” lanjut Tommy.
Beberapa minggu pun berlalu. Tangisan dan permohonan Fransisca telah menyentuh hati Tommy. Dengan segera Tommy berpakaian dan menemui Fransisca di sebuah kafe atau lebih tepatnya tempat karaoke. Dia duduk di sofa dengan kaki menyilang, mengedipkan matanya yang indah dan sedang tidak melakukan apa-apa. Saat Tommy datang dia segera meloncat dan berlari menghampirinya. Memperhatikan sekeliling, menutup pintu, dan dengan gembira, kedua tangannya memeluk lehernya.
"Apa yang kamu pikirkan saat ini?" tanya Tommy.
“Ah, tidak begitu penting. Aku sedang bosan semalam dan merasa kesal karena tak tahu harus memutuskan apa. Mas, kamu telah mengombang-ambingkan hati dan pikiranku. Aku mulai menangis karena rasa bersalah, jadi tidak mudah bagiku untuk menjelaskan semuanya padamu?" ucap Fransisca.
"Sudahlah! Lupakan saja!” kata Tommy.
"Mas, kau telah membuat aku mengerti. Mengapa? Karena kau memang pria sejati. Bisa bergaul dengan banyak orang dan kau tahu titik kelemahan wanita. Hahaha… aku bodoh sekali! Ketika hanya satu kata yang diperlukan, aku menggunakan banyak kata," celoteh Fransisca.
“Mas, aku masih ragu. Ada banyak pertimbangan, jika aku memutuskan untuk meninggalkan Mami!“ sambung Fransisca, sambil memalingkan wajahnya dari hadapan Tommy.
Fransisca bangkit dari duduknya dan mendekati jendela, matanya jauh menerawang, sesekali asap rokok keluar dari mulut dan hidungnya. Tommy mencoba untuk membujuk Fransisca, tapi Fransisca seolah tak bergeming sekalipun.
“Sisca, aku mencintaimu. Apakah kamu tidak mencintaiku?” tanya Tommy.