Suatu saat, angin berhembus dalam kesunyian pagi hari, sementara hujan gerimis membasahi tanah kota Jakarta yang kotor dan menyisakan bau-bau debu kering, matahari pun sepertinya masih enggan tersenyum, cahayanya mulai menyengat daun-daun kering pinggir jalan. Selepas subuh, Tommy telah ada di dalam kamar Jefry.
Kamar yang tak pernah terkunci, namun dapat dipastikan tidak akan ada siapapun anak buahnya yang berani memasukinya, kecuali Willy dan Tommy. Dia membangunkannya. Sejenak Jefry menggeliat, dan terkejut melihat kehadirannya secara tiba-tiba di dalam kamarnya. Namun Jefry berusaha untuk menguasai kesadarannya.
“Tommy.., kamu kabur dari penjara ya?” sapa Jefry.
“Iya Kak Jefry, aku kabur!“ sahut Tommy.
“Lalu apa maksud kedatanganmu kemari? Aku tidak ingin berurusan dengan polisi. Aku tidak mau kehadiranmu di sini akan menyeretku masuk ke dalam masalahmu!” ucap Jefry.
“Kak, aku ingin meluruskan sesuatu,” kata Tommy.
“Kita dikhianati,” katanya pelan. Wajahnya menunduk tak berani menatap mata Jefry.
Walau masih dibebani rasa kantuk, matanya tajam menatap Tommy. Dia pasti tahu dan hafal dengan sifatnya. Seandainya bukan Tommy yang ada di hadapannya, orang itu tentunya sudah lemas dan terkencing-kencing.
”Kita? Kita siapa? Bukankah kamu yang berkhianat!” kata Jefry.
”Tapi….” sanggah Tommy.
”Bukan kita! Kamu yang jalan sendiri!” sambung Jefry.
“Kak Jefry, aku telah dijebak!” lanjut Tommy.
“Sudah kamu tidak perlu lagi mencari alasan,” sahut Jefry.
“Kak Jefry harus percaya padaku. Sudah bertahun-tahun kita bersama, pastilah Kak Jefry sudah tahu siapa aku, apalagi selama itu pula kamu selalu baik padaku. Percayalah... “ argumen Tommy tetap berusaha untuk meyakinkan Jefry.