Delapan tahun kemudian……..
Setelah beberapa waktu menjalani hukuman sebagai seorang pesakitan di dalam penjara Batu, Nusakambangan, akhirnya Tommy bisa merasakan kembali udara bebas.
Anggoro, lelaki itu, ya sang kepala sipir penjara Batu, Nusakambangan, berhenti di sebuah pintu gerbang. Oh, kini Tommy menyadari bahwa dirinya sudah berada di ujung terluar kompleks penjara Batu, Nusakambangan, tempat yang selama ini dia tinggali untuk menjalani semua hukuman. Sebuah belenggu pintu gerbang besar akan terbuka, pertanda kebebasan sudah di depan mata.
Tommy berdiri di muka pintu, dan dia menyadari inilah saatnya untuk pergi. Tommy tak tahu apa yang sedang dia pikirkan, karena semuanya ini telah membuatnya seperti mayat hidup dan dia tak peduli lagi. Tommy melangkahkan kakinya mendekati pintu, lalu melewatinya dengan pelan. Sejenak Tommy melirik sebuah jam dinding, jarum jam menunjuk angka 3.15. Sepertinya baru kemarin sore dia masuk Nusakambangan namun di sore ini juga dia harus pergi meninggalkannya.
Tommy masih sempat menoleh ke belakang, sesaat sebelum dia pergi meninggalkan sang sipir yang berdiri terpaku di balik pintu besar. Tommy mengambil nafas panjang dan menghembuskannya secara perlahan.
Anggoro tersenyum padanya, mungkin senyuman pertama dan terakhir yang dia berikan. Dengan senyuman itu, Anggoro tampak sangat ramah dan simpatik.
“Pak, terkadang aku sendiri tak mengerti kenapa aku harus melewati semuanya ini di sini,” kata Tommy.
Anggoro dengan tenang menjawab, “Kamu tak bisa menghindarinya.”
”Mengapa?” tanya Tommy.
“Karena itu bagian dari perjalanan hidupmu!” jawab Anggoro
“Bisa kah aku menghilangkan semua perasaan bersalahku agar hal itu tak pernah lagi menggangguku?” ucap Tommy.
“Bisa saja, karena kini dan seterusnya kau akan menjadi seseorang yang lain, dan aku berharap kau akan menyukai dirimu yang baru.” balas Anggoro.
“Kenapa begitu?” tanya Tommy.
“Karena kau akan berada dalam ruang dan waktu yang tumpang tindih. Apakah arti kehidupan seorang manusia yang tak memiliki masa lalu dan masa depan?” jawab Anggoro.
“Aku masih tak mengerti?” timpal Tommy.
“Masa lalu, sepahit apapun itu, kau tak bisa melewatkannya atau menghapusnya dari ingatanmu. Bagaimanapun, ia akan terus menghantuimu Namun satu-satunya yang harus kau lakukan adalah mendamaikan jiwamu!” jelas Anggoro.
“Jadi, menurutmu aku harus memaafkan semua yang terjadi, termasuk diriku sendiri?” tanya Tommy.
“Kurasa kamu lebih tahu. Pergilah, orang-orang yang mencintaimu pasti telah mengharapkan kedatanganmu dan lakukan sesuatu agar kedamaian tetap menjadi penerang langkahmu. Selamat jalan, semoga kau akan menemukan kehidupan barumu yang lebih baik!” kata Anggoro.
“Iya pak, terimakasih. Sudah saatnya aku pergi, selamat tinggal pak.“ balas Tommy seraya pergi meninggalkan sang sipir yang perlahan menghilang di balik pintu gerbang yang perlahan mulai tertutup.
******
Sore ini tampak cerah, walau tadi sempat datang mendung sejenak yang mendatangkan gerimis-gerimis kecil yang turun tidak begitu lama. Matahari di sebelah barat memancarkan sinarnya dari balik-balik awan putih yang menutupi sebagian tubuhnya. Angin sepoi-sepoi terkadang lewat dan masuk melalui jendela ke dalam kamar kostnya disaat Tommy sedang berkemas diri untuk pulang ke kampung halaman. Setelah tujuh tahun merasakan derita jeruji besi di Nusa Kambangan dan setahun lagi di Cipinang, kini Tommy ingin mengubur semua kisah kelamnya bersama berlalunya waktu.
Setelah di rasa semua sudah siap. Tommy segera meluncur ke Stasiun Senen. Jam di tangannya sudah menunjukkan pukul 15.00 WIB. Setelah sejenak menunggu di halte, akhirnya bus yang akan mengantarkannya ke Stasiun Senen datang juga. Setelah satu jam perjalanan, akhirnya sampai juga di stasiun.
Tampak banyak orang keluar-masuk dari stasiun. Tommy bergegas menuju loket kereta Matarmaja untuk membeli tiket. Tanpa menunggu lama, tiket sudah dia dapatkan, karena kebetulan saat itu antrian di loket tidak begitu banyak. Di dalam tiket tertulis jadwal keberangkatan Kereta Matarmaja dari Stasiun Senen pada pukul 20.30 WIB dan akan sampai di Stasiun Semut pukul 10.00 WIB.
Tommy sengaja datang lebih awal dengan maksud agar masih mendapatkan tiket yang bertempat duduk. Karena apabila tidak mendapatkan tempat duduk, maka penumpang harus berdiri atau duduk di sela-sela gerbong dan ini sangat tidak mengenakkan. Apalagi lama perjalanan membutuhkan waktu kira-kira dua belas jam, sebuah hitungan waktu yang lumayan lama.
Waktu terus berjalan. “Teng-tong….teng-tong, ting-ting…..ting-ting……”. Terdengar suara dari alarm stasiun.