TRIAD

DENI WIJAYA
Chapter #18

PULANG #18

Tidak terasa sudah tiga belas tahun Tommy meninggalkan kampung halamannya. Entah kenapa Tommy selalu ingin kembali pulang, di tempat inilah banyak kenangan masa kecilnya bersama orang-orang yang dicintainya, bapaknya, mendiang ibunya, guru ngajinya dan teman-temannya.

Di senja itu, dari balik tirai hujan, pelepah-pelepah pohon pisang di sepanjang sungai Metro itu seperti mempunyai daya hidup. Batang-batang yang ramping dan meliuk-liuk oleh hembusan angin seperti tubuh semampai yang melenggang tenang dan penuh pesona. Namun saat angin secara tiba-tiba bertiup lebih kencang, pelepah-pelepah itu serempak terjulur sejajar satu arah, seperti tangan-tangan penari yang mengikuti irama hujan.

Pohon-pohon pisang itu tumbuh liar di tanah pinggir sungai di antara semak perdu yang rimbun. Kelandaian sungai membuat pemandangan seberang sungai yang cukup luas dengan semburat warna merah kekuningan di sore hari seperti sebuah lukisan alam yang memukau terpapar di dinding langit.

Selain pohon kelapa yang memberi kesan lembut, batang pohon beringin dengan cabang-cabangnya seperti cakar-cakar harimau yang kokoh dari terpaan angin kencang. Dalam sapuan hujan panorama di seberang sungai itu terlihat agak samar. Namun cuaca pada musim pancaroba sering kali mendadak berubah. Lihatlah, sementara hujan tetap turun dan angin makin kencang bertiup tiba-tiba awan tersibak dan sinar matahari sore langsung menerpa dari barat.

Kilau cahaya matahari semakin memudar. Bingkai langit pun mulai tersamar. Perlahan meninggalkan lembaran biru yang sudah memucat. Entah bentuk apa yang terjadi sekarang. Yang jelas masih mengandung unsur seni yang tinggi. Pepohonan mulai lesu, meninggalkan cerita siang di sore itu.

Matahari telah bergeser ke arah barat. Sinarnya tampak surut tergores waktu. Meninggalkan cahaya kuning kemerahan. Menyepuh wajah langit senja. Tak lama, semburat warna merah kekuningan di angkasa pun perlahan sudah digantikan warna hitam. Rembulan pun tampak malu-malu mulai menampakkan sosoknya sebagai sang penguasa malam dari balik bukit Buring.

Senja itu telah berlalu, tetapi Tommy masih berada di sana, mengenang cerita masa lalu. Lama terpaku dalam diam, seiring berlalunya detik-detik jam meninggalkan siang. Hingga senja merambat tua, Tommy masih belum juga beranjak, ia masih berdiri dan mematung. Bahkan sepertinya ia tidak mendengar seruan adzan Maghrib dari balik surau di bawah lereng bukit itu.

Ketika dengan tiba-tiba pula matahari lenyap ditelan waktu, suasana kembali samar. Digantikan oleh penguasa malam. Apalagi hujan pun berubah deras menyusul ledakan guntur yang bergema di dinding-dinding bukit. Angin kembali bertiup kencang sehingga pohon-pohon pisang itu seakan hendak rebah ke tanah. Suasana menjadi sunyi dan hening di tengah guyuran hujan yang sangat lebat. Tetapi beberapa saat kemudian hujan pun berangsur-angsur reda kembali, tinggallah gerimis yang mengundang siapa saja untuk mengambil selimut tebal untuk sekedar menghangatkan tubuh yang terbalut udara dingin.

Merangkai jalinan cerita senja yang syahdu, menukikkan jiwa yang merindu. Senja selalu punya cara merekam setiap jejak manusia dan pergumulannya, menyimpannya dan untuk kemudian menyampaikannya kembali di lain waktu sebagai kenangan yang tidak pernah terlupakan. Pada senja ada cerita dengan derai tawa dan air mata. Sungguh senja adalah harmoni hidup.

Duduk menikmati pertunjukan warna langit yang Tuhan pertontonkan saat menjelang malam. Pertunjukan langit yang saling berharmonisasi dalam lukisan alam. Meskipun seringkali Tommy lewati hari dengan menikmati senja, tak secuil pun ada rasa bosan karena sepertinya Tuhan begitu cekatan meramu pertunjukan senja dengan cerita yang tak pernah sama.

Senja di pelupuk mata Tommy mengantarkan warna kelabu dalam sanubarinya. Tommy sangat mencintai mereka, tapi kali ini dia masih saja menikmati ketidaktahuan nya tentang apa penyebab dari semua peristiwa kelam dalam hidupnya dan sahabat-sahabatnya. Tommy bahkan tak percaya dengan kepergian Willy dan Jefry untuk selamanya. Semua telah berubah dan berlalu, menorehkan kenangan kelam di sepanjang hidupnya. Kenangan yang tak seindah masa-masa yang begitu banyak melukis canda tawa di antara mereka. Entah bermula dari siapa dan darimana sehingga semua peristiwa itu harus terjadi.

  Terkadang kerinduan itu hadir seperti suatu magnet besar yang menarik seluruh tubuhnya, untuk kesekian kalinya Tommy menatap rumah tua yang tampak kusam itu, hanya garis-garis tua membujur dari ujung atas ke bawah memperlihatkan umur kayu yang sudah menua, di kejauhan anak-anak kampung, baru pulang dari kebun ataupun sawah ikut ambil bagian dari pekerjaan orang tua, ini sangat berbeda sekali dengan anak-anak di kota besar yang sepanjang harinya justru bermain dengan mainan baru mereka, atau anak-anak warga miskin kota yang juga harus berpeluh keringat dengan koran-koran bekas mencari rezeki di bawah jembatan layang atau mengamen di lampu merah, mereka harus rela dengan sebutan anak jalanan.

Selintas kembali pandangannya mengarah ke mushola tua di tengah hamparan sawah di perkampungan, yang sebentar lagi mungkin akan roboh dimakan usia. Tiang-tiangnya pun sudah mulai lapuk dan tak beraturan, dindingnya sudah mulai menipis dimakan rayap-rayap liar, sementara lantainya sudah dipenuhi lubang-lubang aneka bentuk, tak ada suara adzan berkumandang sekedar mengingatkan waktu sholat sudah tiba, tak ada warga kampung yang melaksanakan ritual ibadah, tak ada suara anak-anak kampung yang belajar mengaji, tak ada lafadz ayat suci yang dikumandangkan imam sholat, tak ada apapun yang bisa di temui di mushola ini.

Namun kini tinggallah hanya sebuah bangunan kosong yang hanya dipenuhi debu-debu yang dibawa angin bukit yang setiap harinya turun, entah berapa lama lagi musholla tersebut dapat berdiri kokoh di tempat itu, mungkin sebentar atau besok ia tak dapat menyaksikan musholla tersebut, hanya akan menjadi cerita masa lalu yang seolah ikut terkubur bersama kelamnya masa lalu Tommy.

Dia merasa sedih, karena kebersamaannya bersama saudara-saudaranya, Jefry dan Willy harus berakhir karena keserakahan dunia. Dan kini hanya meninggalkan kisah kelam dalam hidupnya. Pikirannya pun melayang jauh entah ke mana, lebih jauh dari pandangannya di senja itu, perasaan kesal pun hilang dibawa hembusan angin yang sepoi-sepoi, menenangkan hati yang sudah mulai resah, tersadar akan kehadiran malam yang mulai menyapa. Sesaat kemudian Tommy membasuh wajah dengan air wudhu seraya ia panjatkan doa untuk mereka. 

Lihat selengkapnya