Senja-senja jingga terpancar semburat matahari barat, sementara bulan sabit malu-malu muncul perlahan dengan senyum lebarnya. Tatap nanar memancar permadani kuning dan memori masa lalu melayang. Dan ketika dia terbangun karena anjing melolong di malam hari, maka bulan dan langit bertahta bintang menemaninya menghabiskan malam-malam panjangnya.
“Terimakasih Tuhanku, atas kesempatan yang Kau berikan untukku. Ya Tuhanku izinkanlah di sisa umurku ini untuk menebus segala kesalahanku di masa lalu. Ya Tuhanku jauhkan aku dari murka Mu dan dekatkanlah aku pada kasih-Mu. Jadikan aku dalam golongan orang-orang yang senantiasa bersyukur atas nikmat-Mu. Aku berserah diri sebelum waktuku tiba,” ucap Tommy dalam doanya di penghujung malam.
Melihat kondisi mushola yang sepi dan sunyi dari aktivitas keagamaan yang sudah sekian lama ditinggalkan membuat Tommy merasa prihatin. Untuk menebus semua dosa dan kesalahannya selama ini, ada suatu tanggung jawab moral untuk menghidupkan kembali mushola itu seperti dulu lagi. Dia ingin membuka kenangan lama bersama orang-orang yang dicintainya dengan lembaran baru yang lebih bermakna. Akhirnya, satu tahun kemudian, tepatnya setelah dia dibantu beberapa warga kampung merenovasi mushola tersebut, dengan ketetapan hati Tommy mengajar mengaji, memberikan pertanda akan kehidupan musholla tersebut seperti dahulu kala.
Dan tak disangka anak-anak kampung mulai banyak yang datang ke mushola dan mengaji. Lambat laun namun pasti dalam waktu yang tidak lama jumlah anak-anak yang kembali melakukan aktivitas mengajinya semakin bertambah banyak. Sebagai seorang mantan preman, Tommy merasa bersyukur karena mereka tidak mempermasalahkan apapun latar belakangnya. Bahkan mereka sangat bersyukur karena masih ada orang yang peduli untuk menghidupkan kembali mushola itu.
Lebih baik sebagai mantan preman yang kemudian membaktikan diri di jalan kebaikan daripada mantan kyai yang mengatas namakan dan bersembunyi di balik kedok agama demi keuntungan duniawinya, seperti itulah yang sering mereka katakan sebagai bentuk dukungan moril untuk Tommy.
Waktu terus berganti. Saat itu pula, dengan bimbingan Tommy, mereka kembali menyemarakkan musholla dengan aneka ragam aktivitas keagamaan. Kobaran semangat mereka tunjukkan lewat keistiqomahan untuk mengisi setiap jengkal aktivitas mereka dengan ilmu. Tak lama kemudian banyak anak-anak dari kampung sebelah yang menghendaki belajar di mushola tersebut. Dengan membludaknya jumlah santri yang kian banyak, tak ayal, musholla kecil di tengah kampung itu tidak cukup menampung santri yang ada.
Untuk menyiasati masalah ini, santri yang tidak tertampung ditempatkan di dalam dan halaman rumah Tommy yang dulu pernah juga dijadikan pondokan Mbah Salim. Itupun masih belum mencukupi. Bagi mereka yang berada di halaman rumah cukup dengan beralaskan tikar dari bambu yang mereka buat sendiri. Di atas tikar bambu ini, mereka duduk tenang melakukan pengajian selama berjam-jam.
Terkadang mereka pun tidur di situ. Tatkala pagi datang, mereka bangun dan melakukan aktivitas ngaji lagi. Bahkan saat tidur, tubuh santri harus rela diterpa embun. Lebih menyedihkan lagi saat hujan mereka harus berlarian mencari tempat perlindungan yang aman. Hal ini dikarenakan belum ada atapnya.
Melihat kondisi itu, Tommy berniat untuk membangun pondok pesantren. Bersama warga semangat untuk membangun pondok nampaknya sudah bulat. Meski tidak ditopang dengan biaya yang memadai, namun mereka tidak kekurangan akal. Tidak butuh tembok megah, cukup dari bambu. Para santri dibantu beberapa warga sedemikian giat. Tanpa kenal lelah, tiap pagi, siang dan sore mereka mengerjakan aktivitas pembangunan ini. Hampir semua proses pembangunan dari awal hingga akhir mereka kerjakan sendiri, tentunya dengan bantuan beberapa tukang bangunan.
Pondok yang diidam-idamkan itu pun akhirnya jadi, tegak kokoh di hadapan mereka. Karena bahan dominannya dari bambu, maka perwajahan dari pondok ini pun khas bambu yang akhirnya dikenal dengan Pondok Bambu. Semakin lama santri yang mengaji di Pondok Bambu semakin banyak dan kawasan pondok pun semakin luas hingga mampu menampung santri putra maupun putri. Dari sinilah, Tommy sang mantan preman menjelma sebagai seorang dai. Dia ingin sekali mengajak saudara-saudaranya yang masih terjerumus ke dalam dunia premanisme agar bertobat dan kembali ke jalan kebaikan. Dan satu keinginan nya yaitu suatu saat Tuhan mengijinkannya kembali ke LP Cipinang.
Tigabelas tahun kemudian......
Sementara gadis itu beristirahat di asrama pondok putri, di lain tempat, Tommy turun dari mushola kecil di depan kediamannya. Memang mushola kecil itu dari dulu dibiarkan seperti itu, meskipun sudah berdiri sebuah masjid besar di kawasan Pondok Bambu, Tommy sering menghabiskan waktunya di musholla jika ingin menyendiri.
Di emper musholla, Tommy mengangkat wajah untuk sejenak menatap langit. Dan cahaya bulan purnama dan hembusan angin senja yang sepoi-sepoi, menerpa wajah serta-merta menyejukkan hatinya. Bunyi terompah yang teratur mengiringi langkahnya dan segera berganti nada ketika dia menginjak lantai rumah. Pintu berderit ketika dia masuk.
Dahlan, cantrik Tommy sudah menyiapkan teh hangat dan singkong rebus, kesukaannya, di meja ruang depan. Biasanya Tommy sering menghabiskan waktu malamnya, saat tidak sedang mengajar dengan duduk berlama-lama sambil menunggu mata mengantuk. Malam itu sepertinya dia tidak sedang mengajar mengaji.
Namun malam ini dia tak ingin duduk termangu. Kedatangan gadis itu ke pesantren, telah mengusik hatinya lalu menuntun langkahnya ke pojok ruang depan. Sejenak kemudian dia mengambil Alquran dan membukanya. Dia buka lembar demi lembar hingga sampailah pada surat Ar-Rahman. Dengan perlahan dia mulai membacanya. Ayat demi ayat mengantarkannya pada tangis rindu seorang hamba kepada Tuhannya, tangis seorang pengembara yang ingin menyatu kembali dengan asal mula dan tujuan akhir segala yang ada.
Maka bila dia sudah tenggelam dalam euphoria jiwanya, Tommy seolah lupa akan sekeliling, keringat membasahi tubuh, dan air matanya mengalir membasahi pipinya. Suara lantunan ayat-ayat suci Alqur’an menggema, menyeruak malam, menusuk langit malam yang luas, memecah kebisuan malam yang sunyi, terbawa dalam harmoni cinta, ya ketika cinta seorang hamba telah bersenyawa dengan Tuhannya.
Dan semuanya baru berhenti apabila Tommy tersadar oleh jiwa kemanusiaannya sendiri. Mengakhiri surat Ar-Rahman, Tommy menutup Alqur’an dengan perlahan. Kepalanya tertunduk karena dalam hati masih tersisa kemesraan berdekat-dekat dengan Yang Maha Kuasa. Kemudian dia bangkit meninggalkan bale bambu, duduk di bangku panjang untuk sekedar menikmati singkong rebus dan teh panas.
“Ustad! Ustad! Ada seorang gadis yang mau bertemu.” kata Dahlan.
“Siapa, Dahlan?” tanya Tommy.
“Hm.. tamu Ustad yang dari Jakarta, yang tiba di sini sejak siang tadi.” jawab Dahlan.
“Ya, suruh dia menunggu di pendopo teras!” ucap Tommy.
“Baik, Ustad!” sahut Dahlan bergegas keluar menghampiri wanita yang sedang menunggu di luar.
Setelah beberapa saat menunggu di pendopo teras depan, nampak derit pintu terbuka. Tommy menghampiri gadis itu.
“Assalamu’alaikum, Ustad!” salam gadis itu sambil tersenyum.
“Wa’alaikum salaam!” jawab Tommy.
Untuk sesaat Tommy terpukau dengan gadis yang ada di hadapannya itu. Dia hanya berdiri mematung, namun pandangannya seolah tak mau lepas dari gadis itu. Merasa dirinya diperhatikan secara berlebihan seperti itu, membuat gadis tersebut menjadi salah tingkah.
“Maaf Ustad. Apa ada yang salah dengan saya?” tanya gadis itu.