Keesokan hari Intan berpamitan kepada Ustad Tommy untuk kembali ke Jakarta. Nampak matanya masih bengkak dan merah, mungkin dia menangis semalaman.
“Ustad, Intan pamit dulu,” kata Intan.
“Ya, hati-hati. Intan, kamu baik-baik saja khan?” tanya Tommy khawatir.
“Intan baik-baik saja. Terimakasih,” jawab Intan.
“Jangan khawatir. Insyaallah, akan kupenuhi undangan dari LP Cipinang,” lanjut Tommy.
“Terimakasih,” sahut Intan.
“O iya, Intan, tolong sampaikan salamku pada ibumu,” sambung Tommy.
“Baik, ustad. Intan mohon diri, assalamu’alaikum… ” ucap Intan.
“Wa’alaikum salam. Hati-hati di jalan,” jawab Tommy.
******
Sepanjang perjalanan menuju bandara Juanda, Surabaya, Intan hanya bisa melamun. Pikirannya masih diliputi sejuta misteri tentang masa lalu ibunya. Dalam kegalauan hatinya, Intan seolah ingin berteriak keras, meluapkan semua emosi jiwanya. Udara mulai sedikit membuat gerah, menandakan bahwa mobil yang Intan tumpangi mulai masuk ke wilayah Surabaya. Beberapa saat kemudian sampailah dia di bandara Juanda. Setelah menunggu beberapa jam, akhirnya tiba juga keberangkatan pesawat yang menuju ke bandara Soekarno Hatta, Jakarta.
Sesaat setelah pesawat landing di bandara Soekarno Hatta, Jakarta, Intan menuju lobi bandara. Sesampainya di area meeting point bandara sudah menunggu seorang pemuda, dan segera menyambut kedatangannya. Bergegas pemuda itu meraih koper dan perbekalan milik Intan dan bergegas keluar bandara.
Mereka tidak mau menunggu lama hingga hujan reda, dengan menggunakan payung mereka menunggu kedatangan taksi bandara. Dengan wajah sembab karena terlalu lama menangis, Intan gelisah menunggu taksi yang tak kunjung datang.
“Intan, apa kamu baik-baik saja? Sepertinya kamu sedang kurang sehat ya?” tanya Indra.
“Aku baik-baik saja kok,” jawab Intan.
“Tapi kedua matamu sembab, kamu baru saja menangis?” tanya Indra lagi.
“Aku baik-baik saja, sudahlah saat ini jangan tanya macam-macam kepadaku. Maafkan aku. Aku harap kamu mengerti,” jawab Intan dengan nada kesal.