TRIAD

DENI WIJAYA
Chapter #22

PENGORBANAN SEORANG IBU #22

“Intan, sungguh begitu besar pengorbanan mama kamu bahkan mungkin nyawa pun akan beliau berikan asalkan kamu bahagia,” ucap Indra.

“Iya mas, aku tahu akan hal itu tapi hati ini jadi sakit saat mengetahui semua ini…” ujar Intan lirih.

“Intan, di hatimu mungkin saat ini keburukan mamamu telah membuatmu melupakan sesuatu…” sambung Indra.

“Apa itu mas?” sahut Intan.

“Kebaikan mamamu. Seburuk apapun yang dilakukan ibu pasti tidak akan mampu mengalahkan kebaikan ibu yang diberikan kepada kita. Intan….., sewaktu diperut ibu, sembilan bulan kita menghisap darahnya. Saat itu, ibu pasti sulit berdiri dan sangat berat untuk berjalan, bahkan berbaring pun terasa sakit. Tiga bulan pertama ibu mual dan muntah karena ada kita dalam perutnya!” kata Indra dengan nada lembut dan berat, sepertinya dia mulai terbawa perasaannya, nampak butiran-butiran bening memenuhi kelopak matanya.

Dengan mengambil nafas panjang, sejenak kemudian Indra melanjutkan ucapannya, “Saat kita akan terlahir ke dunia, ibu meregang nyawa antara hidup dan mati, meski bersimbah darah dan sakit yang tiada terperi tapi beliau tetap rela dengan kehadiran kita di dunia. Setelah lahir, satu persatu jari jemari kita beliau belai dan beliau hitung. Dan di tengah menahan rasa sakit itu, ibu tiba-tiba tersenyum dengan lelehan air mata bahagia melihat kita terlahir dengan selamat. Dan saat itu pula beliau pasti menyangka akan terlahir dari rahimnya seorang anak yang berbakti dan memuliakannya!”

Intan hanya tertunduk membisu, sesekali terdengar isak tangisnya.

“Saat kita masih bayi, beliau pasti hampir tidak tidur semalam suntuk menjaga kita, sepertinya beliau tidak rela jika ada seekor nyamuk pun yang menggigit tubuh kita. Ketika kita kecil mulai nakal, ibu bahagia memamerkan kita kepada tetangga-tetangganya. Walaupun untuk itu beliau begitu direpotkan, berutang sana-sini agar kita punya sepatu dan berpakaian layak. Ketika menjelang sekolah, orang tua kita sungguh-sungguh membanting tulang mencari nafkah, agar kita bisa bersekolah seperti anak-anak yang lain. Walaupun mereka harus menahan lapar namun puas asalkan kita bisa kenyang. Setiap saat beliau sebut nama kita dalam setiap doanya. Sungguh pengorbanan beliau tidak sebanding dengan kebaikan yang telah lakukan untuknya. Bahkan jika tubuh ini dikupas pun tidak akan bisa menandingi perih pahitnya penderitaan ibu kita. Takkan ada kata–kata yang mampu menumpahkan segala kebajikan dan cinta yang telah beliau berikan kepada kita,“ lanjut Indra.

Mendengar penuturan Indra semakin membuat Intan merasa bersalah, dia tak kuasa untuk membendung tangisannya. Untuk sesaat dia menangis tersedu-sedu dalam pelukan Indra. Untuk beberapa saat mereka terbawa dalam suasana haru. Kesunyian dan keheningan, hanya sesekali terdengar suara deburan ombak yang seolah turut larut dalam perasaan mereka. Isak tangis Intan perlahan mulai mereda.

“Intan, ada sesuatu yang belum kamu ketahui tentang diriku,” kata Indra.

“Apakah itu mas?” tanya Intan lirih.

“Sebenarnya aku ini seorang anak yatim piatu, selama ini aku dibesarkan di sebuah panti asuhan. Sejak kecil aku tidak tahu siapa bapak ibuku bahkan sampai kini aku tidak tahu apakah mereka masih hidup ataukah sudah meninggal. Ada saat dimana aku sangat merindukan kehadiran mereka. Intan, selama ini ada yang hilang dalam hidupku, yaitu kasih sayang seorang ibu. Terkadang aku merasakan hidupku sunyi dan sepi,”  ujar Indra seraya menatap Intan dalam-dalam.

“Sungguhkah yang mas Indra katakan?” tanya Intan lirih seraya membenarkan posisi duduknya untuk menghadap Indra.

“Iya, jujur aku merasakan ada keteduhan dan kasih seorang ibu yang selama ini kurindukan saat dekat dengan mama kamu. Tutur katanya yang lembut dan bijak telah membuat dahagaku sedikit terobati. Intan, mama kamu adalah sosok figur ibu yang baik. Janganlah kamu membencinya. Hanya kamulah satu-satunya pelita dan harapan hidupnya!” jelas Indra.

“Iya, terimakasih mas telah menyadarkanku. Sungguh aku merasa semakin bersalah kepada mamaku,” ucap Intan lirih menatap lekat pada Indra.

“Mas, apakah mas Indra selama ini merasa bahagia?” tanya Intan lagi dan semakin menatapnya intens. Sepertinya dia benar-benar telah mendengarkan ucapan yang terlontar dari bibirnya.

“Ya, karena menurutku itu yang terbaik Intan. Buat apa kita harus bersedih dan menyesali tentang apa yang terjadi dengan nasib kita karena semua itu adalah kehendak Tuhan. Lebih baik kita selalu bersyukur dan berpikir positif dengan hidup kita. Mungkin Tuhan mempunyai rencana yang baik untuk hidup kita. Intan, kebahagiaan itu letaknya di hati kita masing-masing,” suara Indra sedikit merendah dan terasa sangat bijak. Baru kali ini Intan merasakan kedekatan perasaan kepada Indra begitu dalam.

 “Intan, jika saat ini kamu belum merasakan kebahagiaan, cobalah untuk mengenali dirimu sendiri,” ujarnya santai seraya melempar pandang pada laut lepas yang menyajikan pertunjukan yang sangat sayang untuk dilewatkan.

“Mengenali diri sendiri? Mas, aku masih belum mengerti?” sahut Intan.

“Intan, rasakan dari hati, apa yang bisa membuatmu bahagia? Keinginan apa yang benar-benar ingin kamu raih dalam hidupmu?” ucapnya dengan tatapan datar dan tetap lurus menghadap ombak.

“Apa kau memiliki impian?” tanyanya kemudian.

“Ada, bukankah kita hidup untuk mewujudkan impian? Dan itu yang bisa buat kita bangga bukan?” tanya Intan.

Lihat selengkapnya